Inter Sudah Tak seperti Dulu

26 September 2019 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Skuat Internazionale musim 2019/20. Foto: AFP/Marco Bertorello
zoom-in-whitePerbesar
Skuat Internazionale musim 2019/20. Foto: AFP/Marco Bertorello
ADVERTISEMENT
Ini mungkin agak sulit dipercaya. Sebelum Antonio Conte tidak pernah ada pelatih Internazionale yang bisa memenangi lima laga perdananya di Serie A, padahal dalam sejarahnya Inter pernah dilatih nama-nama besar. Helenio Herrera, Giovanni Trapattoni, Roberto Mancini, sampai Jose Mourinho pernah ada di sana.
ADVERTISEMENT
Prestasi itu jelas sangat pantas mendapat aplaus. Apalagi, Conte datang membawa perubahan radikal dalam sistem permainan tim. Selain itu, lawan-lawan yang mereka kandaskan juga tak sembarangan. Ada Milan dan Lazio dalam daftar korban mereka.
Lima kemenangan itu untuk sementara membuat Inter memuncaki klasemen Serie A. Jaraknya dengan Juventus memang tidak jauh; hanya dua poin. Namun, itu semua sudah cukup untuk menghadirkan sebuah pertanyaan serius: Apakah Inter benar-benar layak jadi kandidat juara Serie A musim ini?
Dua tahun lalu pertanyaan serupa pernah terlontar ketika Inter tampil brilian sepanjang paruh pertama musim. Kala itu mereka secara konsisten berada di tiga besar dan sempat memimpin klasemen dalam tiga pekan berbeda. Akan tetapi, saat pertengahan Desember tiba, semua buyar.
ADVERTISEMENT
Inter musim 2017/18 itulah Inter yang akrab dengan para pengikut Serie A. Inter yang hebat di awal, tetapi melempem di saat-saat krusial. Inter yang tidak bisa mengalahkan diri mereka sendiri. Inter yang tidak layak untuk masuk dalam daftar kandidat juara.
Pelatih Inter Milan, Antonio Conte. Foto: REUTERS/Daniele Mascolo
Maka, ketika Inter asuhan Conte memulai musim 2019/20 dengan penampilan gemilang, sentimen yang sama muncul kembali. Inter memang sudah biasa mengawali musim dengan baik, tetapi mereka tidak akan bisa mempertahankannya dalam maraton perebutan Scudetto.
Namun, benarkah demikian? Benarkah Inter yang ini sama dengan Inter yang dulu? Akankah mereka kembali kolaps di masa-masa kritis? Hmm, tunggu dulu.
Satu hal yang perlu dicamkan baik-baik di sini adalah Inter saat ini dilatih oleh Conte. Rekam jejak tidak bisa berbohong. Pria 50 tahun itu sudah pernah menjadi juara di dua negara dan itu adalah kredensial yang tak main-main. Dengan catatan itu, Conte layak disebut sebagai 'Faktor X' kebangkitan Inter.
ADVERTISEMENT
Conte sebenarnya bukan pelatih juara pertama yang datang ke Inter sejak Mourinho pergi. Ada Mancini, ada Rafael Benitez, ada Frank de Boer, ada pula Claudio Ranieri, walaupun nama yang disebut terakhir belum sempat jadi juara ketika membesut Nerazzurri. Namun, semuanya gagal.
Cara Inter mengembalikan kejayaan tak sampai di situ. Ada kalanya mereka memercayakan tim pada pelatih muda. Andrea Stramaccioni, eks pelatih tim junior, diangkat sebagai pelatih tim utama pada 2012. Pertimbangannya adalah karena Stramaccioni sebelumnya sukses membawa Inter junior juara NextGen Series (cikal bakal UEFA Youth League, red).
Kemudian, mereka juga pernah merekrut pelatih yang punya prestasi lumayan di Serie A macam Gian Piero Gasperini, Walter Mazzarri, Stefano Pioli, dan Luciano Spalletti. Namun, semua upaya itu gagal. Total, sejak Mourinho pergi sampai Conte datang, ada 12 pelatih yang pernah menangani Inter. Hasilnya? Nol besar.
ADVERTISEMENT
Andrea Stramaccioni, perjudian Inter yang gagal. Foto: AFP/Olivier Morin
Tentu ada penjelasan di balik kegagalan para pelatih itu. Benitez, misalnya, gagal karena pemain-pemainnya sudah hampir kedaluwarsa. Mazzarri tak berhasil karena skuat Inter begitu buruk saat dilatihnya. Lalu, tangan hampa Spalletti bisa dijelaskan lewat kegagalannya merawat morel skuat.
Di tangan Conte, segalanya disetel ulang. Sedari awal, dia sudah menegaskan apa yang dia inginkan. Pemain-pemain yang sudah tak satu hati dengan klub seperti Mauro Icardi dan Ivan Perisic dia tendang jauh-jauh. Sebaliknya, dia merekrut pemain-pemain yang benar-benar dia butuhkan dan inginkan.
Conte sendiri saat ini boleh dibilang beruntung karena Inter tak lagi kesulitan secara finansial. Mereka punya bekingan dana dari Suning Group yang operasinya terus membesar di China daratan sana. Namun, tentunya keberadaan Suning saja tidak menjamin apa-apa.
ADVERTISEMENT
Pasalnya begini. Suning sudah menjadi pemilik mayoritas Inter sejak 2016. Artinya, Conte adalah pelatih ketiga Inter di rezim ini. Di sini langkah terbaik Suning—yang diwakili Steven Zhang—adalah ketika mereka membajak Beppe Marotta dari Juventus. Ini jadi titik baliknya.
Marotta adalah orang yang dulu merekrut Conte untuk Juventus. Kedua orang ini sudah tahu watak satu sama lain. Hasilnya juga sudah terlihat saat Juventus asuhan Conte mampu menjadi juara Serie A tiga musim beruntun. Salah satunya bahkan dilalui tanpa terkalahkan.
Artinya, dalam kombinasi dua orang itu, Inter sudah menemukan formula kesuksesan. Conte sendiri bukan orang yang gampang dipuaskan. Perlu diingat, masa kepelatihannya di Juventus dan Chelsea berakhir karena dia tak henti-hentinya mengkritik manajemen yang pelit. Di Inter, sejauh ini, Conte masih tampak bahagia.
ADVERTISEMENT
CEO Inter, Beppe Marotta (kiri), bersama Chairman Inter, Steven Zhang (tengah), dan Presiden Inter, Alessandro Antonello. Foto: AFP/Tiziana Fabi
Conte yang bahagia adalah Conte yang bisa bekerja dengan sungguh-sungguh. Sebab, dengan begitu dia bisa fokus mengurusi hal-hal yang sudah semestinya dia urusi. Hasilnya, Inter terlihat seperti mesin yang diminyaki secara rutin. Mereka bermain seperti sebuah unit yang telah bersama dalam waktu lama.
Pertandingan melawan Milan bisa jadi contoh. Dalam laga derbi itu baik Inter maupun Milan sama-sama bermain di bawah pelatih baru. Akan tetapi, apa yang tampak di lapangan begitu kontras. Inter tahu persis apa yang harus mereka lakukan, sementara Milan belum bisa keluar dari rasa canggung.
Inter besutan Conte bermain dengan pakem dasar 3-5-2 yang fleksibel dalam mengeksekusi rencana permainan. Di saat menghadapi lawan yang lemah, mereka bisa menguasai bola. Kala berhadapan dengan tim yang relatif sama kuat, Inter tidak segan menunjukkan sisi agresifnya.
ADVERTISEMENT
Dalam tim itu semua pemain memiliki peran yang spesifik, khususnya di lini tengah. Ada Marcelo Brozovic yang bertugas jadi distributor bola, ada Nicolo Barella yang bertugas merusak permainan lawan, serta Stefano Sensi yang dipercaya menjadi pembawa bola. Namun, di saat-saat tertentu, peran spesifik itu bisa hilang sama sekali.
Contohnya bisa dilihat di laga melawan Milan tadi. Di situ Barella dan Sensi bersatu padu untuk mencekik pegerakan Lucas Biglia yang menjalankan peran sebagai distributor bola Milan. Dari sini bisa dilihat bahwa tim Conte ini punya teknik tetapi mereka juga berani bertarung. Dengan kata lain, fleksibel.
Di sini fleksibilitas itu bisa dilihat sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Conte bisa membuat pemain-pemainnya melakukan hal kotor dan ini membuat Inter jadi tim yang begitu kolektif. Hasilnya, sepuluh gol bisa mereka cetak dalam lima pertandingan. Dalam kurun waktu yang sama, La Beneamata cuma kebobolan sekali.
ADVERTISEMENT
Pemain Inter Milan, Stefano Sensi, merayakan gol ke gawang Udinese. Foto: REUTERS/Daniele Mascolo
Keberhasilan itu didapat karena Conte melakukan perbaikan dalam dua hal utama. Pertama, soal taktik. Dia merekrut pemain-pemain yang tepat dan bisa mengutilisasi pemain lawas dengan benar pula. Ambil contoh bagaimana Antonio Candreva dan Kwadwo Asamoah bersinar.
Kedua, soal mental. Sebenarnya yang dibawa Conte ke sini adalah spirit Juventus yang ada dalam dirinya. Bermain secara kolektif dan pantang menyerah adalah kredo Juventus. Bahkan pada saat ditahan imbang Slavia Praha sekalipun, grinta ini terlihat dalam gol penyama kedudukan di menit-menit akhir.
Dari sini bisa ditarik hipotesis bahwa Inter sudah berubah. Ini adalah Inter-nya Conte, bukan lagi Inter yang berusaha menyamai Inter-nya Mourinho. Ini adalah era baru yang diawali dengan sempurna. Segalanya mereka lakukan dengan begitu presisi.
ADVERTISEMENT
Bicara soal gelar juara, bukan mustahil itu bisa diraih jika Inter bisa terus menjaga konsistensi. Namun, memang ini bagian tersulitnya. Inter memang hebat saat ini, tetapi mereka masih terlalu bergantung pada pemain-pemain kuncinya.
Ada beberapa pelapis yang sampai saat ini belum tampak kualitasnya macam Valentino Lazaro dan Alexis Sanchez. Ada pula pemain-pemain yang tampak sudah habis, tetapi bisa saja mengejutkan seperti Borja Valero. Lalu, jangan lupakan pemain muda seperti Alessandro Bastoni dan Federico Dimarco.
Artinya, kedalaman skuat Inter sebenarnya tidak buruk. Untuk itu, Conte harus lebih berani berjudi, terutama di laga-laga 'mudah', demi mewujudkan manajemen skuat yang lebih baik. Jika formula untuk ini sudah ditemukan, gelar juara hanya tinggal perkara waktu.
ADVERTISEMENT