Jangan Larang Perempuan Iran Menonton Sepak Bola di Stadion

16 Juni 2018 12:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dukungan di laga vs Maroko untuk perempuan Iran. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez)
zoom-in-whitePerbesar
Dukungan di laga vs Maroko untuk perempuan Iran. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ini zaman edan. Era serbabisa. Semua bisa dilarang, semua harus bisa tunduk pada aturan. Yang tak masuk akal bisa disulap menjadi logis, termasuk melarang perempuan masuk stadion. Iran memasuki era serbabisa macam ini sejak 1980.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi orang-orang Iran, predikat serbabisa itu tak hanya layak menjadi milik negara. Semua harus bisa melawan supaya bisa bertahan. Semua harus bisa bersuara agar tetap utuh sebagai manusia.
Serupa manusia di belahan dunia lain, orang-orang Iran pun bisa bertindak. Kedatangan mereka ke Saint Petersburg Stadium, Rusia, tak hanya untuk mendukung para pahlawan mereka bertanding melawan Maroko di Piala Dunia 2018 -tapi juga untuk menyuarakan hak-hak perempuan yang direnggut oleh negara.
24 April 2006 menjadi salah satu hari yang paling bersejarah di Iran. Presiden mereka saat itu, Mahmoud Ahmadinejad, melontarkan satu kalimat sederhana yang intinya, mengizinkan perempuan masuk ke stadion dan menikmati pertandingan sepak bola secara langsung.
Iran bersorak. Ingatan mereka kembali ke tahun 1997, kala negara mereka menggelar pesta penyambutan para pahlawan lapangan hijau yang pulang dari tanah Australia. Partai kualifikasi Piala Dunia 1998 mempertemukan Iran dan Australia di Melbourne.
ADVERTISEMENT
Tampil di rumah sendiri, Australia menjadi unggulan. Namun, kejutan adalah nama tengah paling laras untuk sepak bola. Di pertandingan itu, Iran mengamankan kemenangan. Mereka lolos ke Piala Dunia, mereka bisa berlaga di Prancis memperebutkan gelar juara dunia. Akhirnya, Iran tak melulu dikenal dengan rudal dan konflik.
Ketika pasukan Timnas tiba di negeri mereka sendiri, pemerintah menyambut layaknya pahlawan, karena memang sudah demikian seharusnya. Tak tanggung-tanggung, mereka dijemput dengan helikopter ke Stadion Anzadi.
Manusia tumpah-ruah. Dalam bukunya yang berjudul How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer mencatat, setidaknya ada 120 ribu orang yang hadir di luar stadion.
Yang mengesankan, sekitar lima ribu perempuan mendesak masuk ke dalam Stadion Anzadi. Mereka menolak untuk tunduk pada imbauan pemerintah yang meminta mereka untuk tetap tinggal di rumah selama perayaan. Tak ada kata tunduk hari itu. Peduli setan dengan larangan masuk stadion.
ADVERTISEMENT
Penyelamatan Beiranvand di laga vs Maroko. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez TPX IMAGES OF THE DAY)
zoom-in-whitePerbesar
Penyelamatan Beiranvand di laga vs Maroko. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez TPX IMAGES OF THE DAY)
Takut dengan ancaman yang bisa saja timbul dari massa yang membludak, pemerintah memutuskan untuk tak melawan. Untuk satu hari, perempuan-perempuan Iran berhasil merebut kemenangan atas negaranya sendiri.
Sayangnya, kabar baik yang hadir di bulan April 2006 itu tak berlangsung lama. Ayatollah Ali Khamenei yang dikenal sebagai Pemimpin Agung Iran sejak 1989 dan memegang otoritas tertinggi di Iran, membatalkan kebijakan tersebut. Baginya, haram bagi perempuan untuk menyaksikan pertandingan sepak bola yang identik dengan laki-laki secara langsung.
Bila dipikir-pikir, aturan yang dicetus Iran untuk melarang perempuan menonton pertandingan di stadion tidak laras dengan sejarah sepak bola Iran itu sendiri. Menengok catatan sejarah, sepak bola pertama kali diperkenalkan di Iran pada zaman pemerintahan Mohammad Reza Pahlavi. Adapun, raja yang satu ini memperintah Iran selama 38 tahun sejak 16 September 1941.
ADVERTISEMENT
Di masa pemerintahannya, ia memintah tentara-tentara Iran untuk bertanding sampai ke pelosok desa demi mempromosikan sepak bola. Perlawanan terhadap kebijakan Syah Reza muncul dalam fatwa yang mengharamkan sepak bola. Hukuman dirajam batu menjadi ganjaran yang ditetapkan para mullah di masa itu.
Namun, fatwa tadi juga tetap dilawan. Syah Reza memfasilitasi rakyatnya dengan membangun lapangan-lapangan sepak bola. Lewat sepak bola, Iran menggapai modernisasi. Singkat cerita, kondisi politik Iran pada akhirnya mengalami goncangan yang begitu hebat.
Revolusi Iran pada 1979 menjadi awal kejatuhan pemerintahan Syah Reza. Franklin Foer lewat bukunya itu juga bercerita, Iran gencar menyerukan jihad. Masjid-masjid yang tadinya dirombak menjadi lapangan bola dikembalikan ke dalam bentuk aslinya.
Yang menjadi masalah, sepak bola terlanjur tumbuh sebagai kegemaran masyarakat Iran. akhirnya, pemerintah mengambil jalan tengah. Mereka memberlakukan delay pada siaran sepak bola. Tujuannya, agar pesan-pesan politik dari tribune tak sampai ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga memerintahkan agar para editor foto surat kabar untuk memburamkan bagian sponsor yang muncul di jersi pesepak bola. Menurut mereka, sponsor-sponsor itu mengarah ke budaya barat sehingga tak pantas dilihat oleh orang-orang Iran.
Selebrasi kemenangan Iran atas Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith TPX IMAGES OF THE DAY)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi kemenangan Iran atas Maroko. (Foto: REUTERS/Lee Smith TPX IMAGES OF THE DAY)
Bagi orang-orang Iran, batasan seperti ini jauh lebih ketimbang tidak bisa menonton sepak bola sama sekali. Toh, mereka tetap bisa menikmati sepak bola, baik lewat televisi maupun langsung hadir di stadion.
Namun, perempuan Iran tak punya keleluasaan. Mereka tak boleh datang ke stadion karena pemerintah menganggap kehadiran mereka memancing tindakan-tindakan tak terpuji para penonton pria. Patriarki.
Kecintaan yang mendalam pada sepak bola membikin perempuan-perempuan Iran cerdik. Mereka rela berpakaian seperti pria, menggulung dan menyembunyikan rambut mereka yang panjang, bahkan membebat payudara agar indentitasnya sebagai perempuan tak ketahuan sehingga diizinkan masuk stadion.
ADVERTISEMENT
Tindakan sembunyi-sembunyi macam ini semakin menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Iran tak merdeka dengan tubuhnya sendiri. Jika mengacu pada eksistensialisme perempuan, sejatinya tubuh adalah sarana aktualisasi diri. Ia begitu merdeka, begitu menunjukkan siapa dirinya.
Namun pada praktiknya, tubuh perempuan menjadi sasaran empuk bagi tangan-tangan otoriter yang memang gemar mengekang. Ada kontrol agama, ada kontrol adat-istiadat, ada kontrol norma – dan kontrol-kontrol abstrak lainnya. Akibatnya, tubuh perempuan hanya boleh beraktivitas selama tidak bersinggungan dengan agama, norma ataupun adat-istiadat tadi.
Suporter Iran di St. Petersburg. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez TPX IMAGES OF THE DAY)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Iran di St. Petersburg. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez TPX IMAGES OF THE DAY)
Wafat pada 2013, tampuk pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad berpindah ke Hassan Rouhani. Di tahun tersebut, FIFA yang masih dipimpin oleh Sepp Blatter mengadakan kunjungan ke Iran. Yang dibicarakan jelas soal larangan perempuan masuk stadion. Sayangnya, tak ada hasil apa pun dari kunjungan ini.
ADVERTISEMENT
Pada 2018, Gianni Infantino yang sudah memangku jabatan sebagai Presiden FIFA melakoni kunjungan ke Iran dengan tujuan serupa: mengupayakan kesetaraan gender, membiarkan perempuan menikmati dan melakoni sepak bola dengan leluasa.
Dalam pertemuan kedua ini, Rouhani menyebutkan bahwa pemerintah akan segera mengupayakan penghapusan aturan yang mengharamkan perempuan masuk stadion tersebut. Walau demikian, hingga kini, janji tersebut belum direalisasikan.
Perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Iran untuk menghapus larangan perempuan masuk stadion bukan cuma menyoal boleh atau tidaknya menyukai sepak bola. Ini adalah upaya mereka mengusahakan kemerdekaan yang utuh sebagai manusia.
Sejatinya, baik laki-laki atau perempuan, memiliki hasrat untuk merdeka. Kemerdekaan untuk mencari kenikmatan dan kepuasan. Kemerdekaan untuk tidak takluk pada otoritas norma atau wacana belaka. Tak peduli laki-laki atau perempuan, semuanya memiliki kebutuhan untuk menjadi subjek yang merdeka, menjadi subjek tak terbelenggu oleh apa pun.
ADVERTISEMENT
Lantas, inilah yang diperjuangkan oleh orang-orang Iran di tribune Saint Petersburg Stadium. Kalau Timnas Iran bisa merebut kemenangan atas Maroko, maka mereka pun sanggup untuk merengkuh kemenangan atas belenggu.