Jonathan Wilson: Boxing Day, Bisnis yang Membentuk Budaya

25 Desember 2017 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Boxing day (Foto: Jan Kruger)
zoom-in-whitePerbesar
Boxing day (Foto: Jan Kruger)
ADVERTISEMENT
I
Ini adalah kehidupan harian para pekerja. Bekerja seharian penuh. Bersopan-sopan dengan pemimpin. Berjalan dua mil walau hanya diminta satu mil. Semua cuma untuk satu: penghargaan.
ADVERTISEMENT
Di Inggris sana, mereka punya cara untuk menghargainya: Boxing Day. Memberi hadiah sehari setelah Natal.
Bagi orang Inggris, Natal tak cuma jadi perayaan keagamaan. Di satu sisi, ia menjadi tradisi. Beberapa hari menjelang Natal, kota-kota bakal meriah. Natal selalu bicara tentang kehangatan. Ia muncul dalam cerita Tuhan yang menjadi manusia. Mengambil wujud bayi Yesus, memilih palungan sebagai tempat kelahiran.
Sepak bola, entah bagaimana caranya, selalu punya tempat bagi orang Inggris. Ia menyusup pelan dalam kehidupan orang-orang Inggris. Sepak bola bukan hanya menyibukkan bintang-bintang lapangan. Ia menjadi alasan mengapa sekelompok keluarga berkumpul, bersama-sama menonton pertandingan ke stadion.
Sepak bola menjadi pangkal mengapa pekerja-pekerja kelas bawah Inggris beria-ria, menghabiskan sebagian besar upah mereka di pub-pub pada akhir pekan. Bagi masyarakat Inggris, sepak bola adalah permainan yang mengambil tempat sebagai tradisi dan pelarian. Satu hari menonton sepak bola adalah satu hari penuh kemenangan dari lima hari kekalahan.
ADVERTISEMENT
Lantas, pada waktu-waktu paling sakral, saat kisah Natal sedang khidmat-khidmatnya diperdengarkan, sepak bola hadir dalam bentuknya yang lain, barangkali, dalam rupanya yang paling garang: Boxing Day.
II
Kami cukup takjub dengan Boxing Day itu (kalau tidak bisa dibilang heran). Entah keajaiban macam apa yang bisa memindahkan pesta dari rumah berpenghangat ke tribune-tribune stadion di tengah hari yang bisa bikin menggigil.
Kami pun berbincang dengan jurnalis dan kolomnis The Guardian, Jonathan Wilson, menyoal Boxing Day di ranah sepak bola Inggris.
Wilson, yang pendukung Sunderland itu, sudah menulis lebih dari setengah lusin buku tentang sepak bola. Salah satu karyanya, ‘Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics’, menjadi pegangan bagi banyak orang yang mengibadahi (dengan kelewat serius) taktik bola.
ADVERTISEMENT
Boxing Day di Inggris menjadi bukti bahwa tradisi meja makan saat Natal dipindahkan ke stadion. Dalam pekan Natal, interaksi antara keluarga dan sahabat terjadi di stadion. Menghabiskan Boxing Day di stadion, lantas, menjadi budaya di Inggris.
“Saat Natal, orang-orang Sunderland yang pulang dari London (Wilson mengambil contoh Sunderland karena dia orang Sunderland, -red) akan menghabiskan hari Natal di rumah bersama keluarga. Itu tanggal 25. Akan tetapi tanggal 26, kami sekeluarga akan pergi ke stadion. Tidak peduli apakah kau benar-benar menyukai sepak bola atau tidak, yang pasti kami akan berangkat ke stadion,” jelas Wilson kepada kumparan.
Mengutip Wilson, tradisi Boxing Day di stadion bukan bermula dari budaya. Namun, bisnislah yang membentuk budaya tersebut. Ia menyebutnya sebagai bisnis yang membudaya. Bisnis yang dikemas sedemikian rupa hingga melahirkan budaya baru.
ADVERTISEMENT
Hal ini bisa dilihat dari pertandingan inaugurasi Liga Inggris, yang notabene merupakan pertandingan pertama di bawah naungan liga, yang ternyata juga digelar saat Boxing Day: Preston North End melawan West Bromwich Albion, tanggal 26 Desember 1888.
“Liga dibentuk karena sepak bola harus menjadi profesional. Profesional berarti memasukkan hitungan untung-rugi. Mereka tahu orang-orang suka menonton sepak bola dan Natal adalah hari libur. Makanya, di awal mereka sudah merencanakan bagaimana caranya tiket bisa terjual habis.”
Dalam Boxing Day, yang menjadi motor penggerak adalah mental orang-orang Inggris itu sendiri. Bahwa sedapat mungkin, pertandingan sepak bola harus ditonton. Dan di Inggris, sepak bola tak hanya jadi tontonan laki-laki dewasa, tetapi juga perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Kami orang-orang Inggris adalah orang-orang yang hidup dengan satu mental: Tontonlah sepak bola, maka kau akan terhibur. Natal adalah liburan, dan semua orang harus senang saat liburan. Maka, tontonlah sepak bola.”
Jonathan Wilson (Foto: Vox in The Box.)
zoom-in-whitePerbesar
Jonathan Wilson (Foto: Vox in The Box.)
Dalam ‘Football Counts as Culture Just as Much as Opera Does’, Germaine Greer menjelaskan bahwa budaya kerap disinggung-singgung sebagai unsur yang menghidupkan suatu aktivitas. Dalam sepak bola, contohnya, adalah Piala Dunia. Tahun 2014, Piala Dunia diselenggarakan di Brasil. Dunia tahu bahwa orang-orang Brasil lahir dengan bola di atas kaki mereka. Brasil menjadi surga para pencinta sepak bola. Jika di surga memang tidak ada sepak bola, bolehlah mampir ke Brasil dulu.
Piala Dunia 2014 bukannya tanpa masalah. Ia dibangun dengan mengesampingkan kemiskinan orang-orangnya. Bagi penyelenggara Piala Dunia waktu itu, sepak bola lebih penting daripada sekolah dan rumah sakit. Jika menyebut bisnis sebagai tujuan, maka tak ada yang bisa dimungkiri. Unsur-unsur budaya seperti sepak bola itu budaya orang Brasil atau orang Brasil lahir untuk bermain sepak bola adalah ragi yang digunakan untuk mengembangkan rencana Piala Dunia 2014. Budaya adalah unsur yang digunakan untuk membungkus suatu keburukan menjadi entitas yang rupanya tak buruk-buruk amat.
ADVERTISEMENT
Jika di kuil suci orang-orang bisa mengalami pengalaman religius, di dalam stadion, orang-orang bisa mengalami pengalaman sepak bola. Khusus saat Boxing Day, pengalamannya ditambah dengan atmosfer Natal. Lantas, pengalaman ini tumbuh menjadi budaya, menjadi kultus. Dan pembicaraan akan kultus, pada umumnya akan berbicara tentang hal yang layak untuk dipertahankan, dirawat agar tidak mati.
III
Di dalam pesta, tak semua orang ikut berpesta. Di sepanjang Natal, tak semua orang ikut berlibur, termasuk di ranah sepak bola Inggris.
“Seorang pemain Afrika yang saya kenal mengalami apa yang kamu sebut dengan culture shock tadi. Secara fisik, dia baik-baik saja. Namun, dia seperti tidak tahan bermain di Inggris. Buatnya, Natal itu di rumah, bukan menjadi gladiator lapangan,” kata Wilson.
ADVERTISEMENT
Ya, selain cedera, masalah yang muncul dari Boxing Day di Liga Inggris adalah culture shock. Kenyataannya, tidak semua yang bermain di Liga Inggris adalah orang Inggris. Artinya, tidak semua pesepak bola langsung terbiasa menghadapi pekan Boxing Day di Inggris.
Entah bagaimana awalnya, Boxing Day melahirkan mitos tentang momentum turning-table (membalikkan keadaan). Salah satunya dengan apa yang terjadi pada Manchester United era 1995/96. Terhitung sejak pekan Boxing Day, mereka kembali menggila. Hasilnya, mereka berhasil menjuarai liga, menyingkirkan Newcastle yang tadinya berdiri di puncak klasemen.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada United di musim itu bukan perkara mitos. Itu adalah hitung-hitungan teknis sepak bola biasa. Logikanya, di pekan Boxing Day, perhelatan liga menjadi jauh lebih sibuk daripada biasanya. Dalam sepekan, satu klub bisa melakoni empat sampai lima laga. Bayangkan jika satu tim kalah dalam pekan ini. Hitung pula berapa poin yang bisa mereka raup jika sukses melakoni Boxing Day.
ADVERTISEMENT
“Selain fisik, Boxing Day juga menyoal mental dan moral. Kalau pertandingan Boxing Day mereka tidak baik, biasanya, moral pemain akan anjlok setelahnya. Itu wajar, karena ada banyak pertandingan yang mereka hadapi langsung dalam sepekan. Kelelahan fisik dan jatuhnya moral adalah perpaduan sempurna untuk menghancurkan sebuah tim.”
Brendan Rodgers pernah mengalaminya saat Liverpool dikalahkan Stoke City di Boxing Day tahun 2012. Katanya, begitu sampai di rumah, ia melihat rumahnya penuh dengan keluarga dan sahabat terdekat. Bukannya ikut bersenang-senang dalam atmosfer Natal, ia malah masuk ke kamarnya dan tidak keluar-keluar sampai mereka pulang.
Hak siar juga sedikit-banyak memengaruhi keputusan liga. Ini terjadi pada pertandingan Liverpool melawan Chelsea. September lalu, Juergen Klopp sempat menyampaikan protes ke Sky Sports terkait rencana liga memindahkan pertandingan mereka melawan Arsenal ke malam Natal. Bagi Klopp, rencana ini tidak masuk akal. Ada yang lebih penting daripada sepak bola di malam itu. Bagi Klopp, berlaga di Boxing Day saja sudah cukup membebani anak-anak asuhnya, apalagi kalau sampai bertanding di malam Natal.
ADVERTISEMENT
Hiasan Natal di Stadion Old Trafford. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Hiasan Natal di Stadion Old Trafford. (Foto: Alex Livesey/Getty Images)
Banyaknya masalah yang disebabkan Boxing Day tidak serta-merta membuat gelaran ini dihentikan. Apa boleh bikin, ia adalah sumber pemasukan yang teramat baik bagi liga. Menurut Wilson, pada umumnya, 90% tiket terjual saat Boxing Day. Konsep awal memang berhasil, unsur budaya jadi digadang-gadangkan. Tak cuma liga Inggris, penyelenggara liga Italia pun dikabarkan mulai mempertimbangkan Boxing Day di gelaran kompetisi mereka.
Makanya, manajemen harus cerdik mengakalinya. Sewaktu menjadi manajer Manchester United, Louis van Gaal menjadi salah satu yang vokal dalam menyatakan ketidaksukaannya pada Boxing Day. Tak bisa berbuat apa-apa tentang keputusan liga, ia lebih memilih untuk menyelamatkan mental anak-anak asuhnya dengan meniadakan sesi latihan di hari Natal, walaupun besoknya harus bertanding.
ADVERTISEMENT
Alan Pardew yang sekarang menukangi West Bromwich juga punya cara sendiri perihal menyelamatkan atmosfer Natal, yang menurutnya menjadi hak anak-anak didiknya. Dari tahun ke tahun, West Bromwich selalu mengadakan acara makan malam Natal. Namun tahun ini lain cerita. Mereka sedang berada di zona degradasi, posisi 19 di klasemen sementara liga. Acara makan malam Natal diganti dengan makan siang bersama Kamis kemarin. Acara ini juga tidak digelar di restoran atau hotel mewah, tetapi di kantin di area tempat latihan mereka. Seluruh staf dan pemain menghadiri acara makan siang itu.
“Masalah mental adalah hal yang paling disoroti saat ini. Makanya, kami sebagai manajemen, bertugas untuk meredakan tekanan itu. Yang kami lakukan (makan siang bersama) ini adalah hal kecil yang menyenangkan. Kami tidak ingin berlebihan. Namun, makan siang itu menjadi momen yang menyenangkan untuk kami, terutama para pemain,” jelas Pardew seperti dilansir Express and Star.
ADVERTISEMENT
IV
“Menjadi profesional berarti mencoret kata melankolia dari kamus. Yang bekerja bukan hanya pesepak bola. Masih ada dokter, polisi, pilot, pelayan restoran atau para jurnalis. Kalian juga begitu, 'kan?” ucap Wilson.
Mereka yang bekerja saat yang lain berlibur selalu punya cara untuk menikmati tugas. Wilson, sebagai jurnalis yang diharuskan untuk tidak menikmati Natal, pun punya caranya sendiri.
“Semakin lama menggeluti profesi ini, maka kalian akan semakin mahir menciptakan jolly atmosphere kalian sendiri.”
Salah satu nilai tambah dari menjalankan tugas di pekan Natal adalah kelonggaran suasana kerja. Menurut pemaparan Wilson, jadwal yang padat memang jadi satu hal. Namun padatnya jadwal tidak diikuti dengan padatnya prosedur kerja.
Sepak bola di bulan musim dingin (Ilustrasi) (Foto: AFP/Thomas Kienzle)
zoom-in-whitePerbesar
Sepak bola di bulan musim dingin (Ilustrasi) (Foto: AFP/Thomas Kienzle)
Jika di hari biasa, mereka punya kewajiban untuk datang ke kantor, tetapi tidak demikian dengan liputan saat Boxing Day -walau setiap perusahaan punya aturan berbeda. Setelah pertandingan, para wartawan ini akan menggelar acara minum-minum mereka sendiri. Di sini, wartawan entah dari media mana pun akan berkumpul untuk bersenang-senang.
ADVERTISEMENT
“Walau tidak bisa berlibur, suasananya jadi lebih menyenangkan. Wartawan akan minum-minum bersama, sesekali bertukar informasi. Tak jarang juga menertawakan pemain dan pelatih yang tampil buruk. Paling sering, sih, pelatih. Mereka objek tertawaan kami.”
-----
Dalam Boxing Day, cerita-cerita Natal diubah ke dalam rangkaian pertandingan sepak bola yang dapat dinikmati oleh para suporter. Di satu sisi ia memang menyenangkan suporter. Di sisi lain, ia cenderung menyusahkan para pegiatnya. Sepak bola tidak hanya tentang suatu hal menjadi menyenangkan atau menyusahkan, tetapi soal bagaimana bersikap pada keduanya.
Dan bagi para pemain, pelatih atau siapa pun yang ada dalam setiap pertandingan Boxing Day, satu-satunya cara untuk melawan kesusahannya adalah dengan turun ke lapangan, bertanding, dan mengusahakan kemenangan.
ADVERTISEMENT