news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jurnal: Mendengar Pidato Terakhir Edy Rahmayadi sebagai Ketum PSSI

21 Januari 2019 12:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kiri) menyerahkan bendera organisasi sepak bola Indonesia kepada Wakil Ketua Umum PSSI Djoko Driyono seusai menyatakan pengunduran diri dalam pembukaan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/2019). (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kiri) menyerahkan bendera organisasi sepak bola Indonesia kepada Wakil Ketua Umum PSSI Djoko Driyono seusai menyatakan pengunduran diri dalam pembukaan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/2019). (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
ADVERTISEMENT
Pada suatu pagi di Januari, sepak bola Indonesia terbangun dan melihat seorang pembesar turun dari takhtanya.
ADVERTISEMENT
Semalam sebelumnya tak ada tanda-tanda pengunduran. Purnama di Badung Bali sedang bagus-bagusnya, bersandar santai pada langit gelap. Riak air di pantai depan Sofitel Nusa Dua juga tak berulah macam-macam. Semuanya serba tenang, semuanya serba teratur.
Hotel ini sedang sibuk karena tamu-tamu berdatangan dari penjuru negeri. Pengurus PSSI lengkap dengan perangkatnya dan siapa pun yang mereka sebut sebagai voters menyantap makan malam sambil berhaha-hihi.
Sajiannya memang tak terlampau beragam, tapi rasanya tak masalah karena tak semua undangan datang ke mari. Padahal Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, sudah terbang langsung dari Medan demi menyambut setiap undangan.
Pelakon-pelakon yang kadung punya nama di kompetisi level tertinggi juga tak muncul. Bahkan manajer yang acap bertopi koboi dan hobi berkuda juga memilih makan di luar. Tak diundang--itu jawabannya ketika ditanya keesokan hari.
ADVERTISEMENT
Acara berlangsung tak kurang dari satu jam. Dari ruang sebelah tempat saya mengutak-atik pekerjaan, suara Edy terdengar sayup-sayup. Setelah pembicaraan rampung, ia berjalan menuju area parkir melewati lorong hotel ditemani sang tuan rumah yang punya kafe di stadion. Edy tak berjalan dalam diam, celotehan dan tawa renyah silih berganti mengusik kuping.
Kami cegat langkah Pak Edy, bertanya tentang agenda keesokan hari. Besok ‘kan kongres tahunan, acara besar, pasti agendanya hebat-hebat. Edy menjawab dengan caranya: lugas, sambil mengernyitkan dahi. Ia bilang kepada kami bahwa ia masih akan tetap memimpin PSSI.
"Sedang morat-marit, masa iya, saya tinggalkan jabatan ini?"
Persiapan Kongres PSSI 2019. (Foto:  ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/foc.)
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan Kongres PSSI 2019. (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/foc.)
Waktu adalah perkara plastis. Kongres tak jadi dimulai pukul 09:00, tapi satu jam setelahnya, tepat pada Minggu (20/1/2019). Apa boleh bikin, kata mereka ada yang ditunggu. Edy akhirnya naik ke panggung, berjalan mantap setelah pembawa acara selesai mengucap salam.
ADVERTISEMENT
"Cita-cita PSSI adalah membesarkan republik ini. Saya dilantik sebagai Ketua PSSI dengan segala hiruk-pikuknya. Harapan anak bangsa ini begitu besar akan sepak bola," ia memulai demikian.
Semua detail dan rangkaian verbal yang ia ucapkan saya ikuti dengan takzim. Pada setiap detailnya saya merasa masa silam ibarat guntingan-guntingan slide film. Mulai dari kongres 2011 hingga keterpurukan di 2016, ceritanya jadi hidup dan membentuk sebuhul pengertian tentang carut-marut sepak bola negeri ini.
Beberapa voters ada yang baru datang. Berjalan mengendap sambil membungkuk mencari tempat untuk duduk. Paling menyita perhatian adalah manajer dari Pulau Garam, Haruna Soemitro.
"Visi kami profesionalisme bermartabat agar sepak bola Indonesia ikut serta di kancah dunia. Di sana-sini, saya mohon maaf. Titip salam saya ke seluruh rakyat Indonesia, saya tidak bisa mewujudkan (cita-cita) ini. Bahkan apa yang kami gariskan, terjadi di luar perkiraan," ujar Edy.
ADVERTISEMENT
Bagian ‘saya tidak bisa mewujudkan’ membikin peserta kongres saling pandang. Saya berhenti mengetik sebentar, melihat dua rekan saya yang bereaksi sama. Ya, begitu saja. Kami sibuk lagi dengan gawai, jari makin kencang menangkap kata.
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kiri) menyampaikan pidatonya dalam pembukaan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/2019). (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (kiri) menyampaikan pidatonya dalam pembukaan Kongres PSSI 2019 di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/1/2019). (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Salah satu bagian yang berdentang nyaring dalam kepala yang sebenarnya sempat kami percakapkan beberapa saat sebelum kongres adalah apa-apa yang terjadi tahun ini. Kematian supoter, pemukulan wasit, pengaturan pertandingan, para petinggi federasi jadi kriminal. Waktu itu kami bertaruh, beradu kuat dengan argumen masing-masing tentang siapa yang jadi dalang di balik semuanya.
Edy tetap bicara. Suaranya tak naik-turun, tapi temponya berubah-ubah. Kadang cepat, kadang lambat--mungkin ia butuh penekanan. Hingga akhirnya, ia sampai pada bagian ini.
ADVERTISEMENT
“Demi PSSI jalan dan maju, maka saya katakan, hari ini mundur dari Ketua PSSI. Dengan syarat, jangan khianati PSSI.”
Tepuk tangan jadi yang paling santer terdengar, ada yang malu-malu, ada yang lepas. Beberapa pasang mata memandang tak percaya, teriakan takbir datang dari belakang. Edy masih bicara. Kadang kedua tangannya terangkat, tempo bicaranya juga serupa tadi, kadang cepat, kadang lambat. Ucapannya lindap di telinga kami masing-masing, mengatur diri menjadi kalimat yang terbaca di layar gawai.
Edy Rahmayadi usai mengundurkan diri sebagai Ketum PSSI. (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/ama.)
zoom-in-whitePerbesar
Edy Rahmayadi usai mengundurkan diri sebagai Ketum PSSI. (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/ama.)
Edy berjalan perlahan, melambaikan tangan kanan kepada peserta kongres. Langkahnya makin dekat dengan pintu keluar. Ia beranjak lebih cepat karena seharusnya masa bakti selesai pada 2020.
Langkahnya ditangkap jepret kamera. Peduli setan dengan kemampuan fotografi, yang penting kami dapat gambarnya. Bisa jadi ini yang terakhir, bisa jadi ia tak terlihat lagi. Kami berlari mengejar Edy karena lebih cepat akan lebih baik. Satu-dua pertanyaan lalu-lalang beradu cepat dengan riuh yang janggal. Tiba-tiba satu-dua pertanyaan itu berubah menjadi barisan, mengantre untuk dituntun menjadi jawaban.
ADVERTISEMENT
Seketika kami sudah ada di hadapan Edy, lalu mencecarnya dengan ragam tanya. Jari dan gawai mengerjakan tugas dengan piawai, jawaban dikirim menjadi kabar yang seketika ramai.
Tapi pagi ini kami sadar, antrean kemarin belum bubar. Mereka masih ada di sana, menunggu untuk dituntun menjadi jawaban.