Ketika UEFA Tunduk di Hadapan Manchester City dan PSG

7 November 2018 14:54 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Etihad Stadium. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Etihad Stadium. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
ADVERTISEMENT
"[Mereka] seperti perampok bank yang berusaha mengusulkan hukuman yang menurutnya sesuai kepada jaksa penuntut."
ADVERTISEMENT
Der Spiegel sudah semestinya dinobatkan menjadi aktor terpenting sepak bola di tahun 2018 ini, sama seperti ketika Time memilih para penyintas dan pembongkar kekerasan seksual sebagai 'Person of the Year' tahun lalu. Sebagai kolektif, Der Spiegel benar-benar tak terhentikan. Sebagai watch dog (anjing penjaga), mereka tak pandang bulu memilih orang yang mereka gonggongi.
Cristiano Ronaldo sudah menjadi sasaran tembak dari Der Spiegel untuk kasus perkosaan yang diduga ia lakukan pada 2009. Lewat dokumen-dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Jerman itu, serta wawancara yang akhirnya berhasil mereka lakukan dengan sang penyintas, Kathryn Mayorga, Der Spiegel menunjukkan kepada dunia bahwa Ronaldo, di balik semua gemilang prestasi itu, punya sisi gelap yang berusaha dia sembunyikan dalam-dalam.
ADVERTISEMENT
Berita tentang perkosaan yang dilakukan Ronaldo itu pertama kali muncul pada 2017. Akan tetapi, kala itu Mayorga belum bisa dimintai kesediaannya untuk melakukan wawancara. Baru pada tahun ini, beriringan dengan semakin gencarnya gerakan #MeToo mendompleng budaya patriarki yang beracun, wanita asal Nevada, Amerika Serikat, itu bersedia menampilkan wajah dan ceritanya secara terbuka.
Kesaksian Mayorga itu akhirnya membuat kisah kelam yang dialaminya sembilan tahun silam itu tersebar ke seluruh antero dunia. Ronaldo pun, meski terus melancarkan bantahan demi bantahan, semakin kesulitan untuk mengubur masa lalu yang memalukan itu. Walau belum ada lagi kabar lanjutan, kasus ini sudah dibuka dan sedang ditangani kembali oleh kepolisian Las Vegas, tempat peristiwa perkosaan terjadi.
Der Spiegel tak berhenti sampai di sana. Hanya kurang lebih satu bulan setelah merilis kesaksian Mayorga, mereka kembali mengguncang tatanan persepakbolaan dunia dengan laporan-laporan yang berasal dari Football Leaks. Sama seperti WikiLeaks, Football Leaks adalah platform di mana rahasia-rahasia sepak bola, mulai dari yang tak berbahaya seperti biaya transfer sampai yang bisa membuat orang naik pitam seperti korupsi, dipampangkan.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan terbarunya, Der Spiegel memilih dua bocoran berbahaya untuk diangkat. Dengan tim berkekuatan sepuluh orang dan bekerja sama dengan European Collaborative Investigation (EIC), mereka merilis seri laporan panjang mengenai wacana pembentukan Liga Super Eropa dan bagaimana presiden FIFA saat ini, Gianni Infantino, membantu Paris Saint-Germain dan Manchester City lolos dari hukuman Financial Fair Play.
Soal Liga Super Eropa itu akan kita perbincangkan dalam tulisan lain. Sebelum itu, kita akan memulai dulu dari kongkalikong antara PSG, City, dan Infantino.
Sebagai pembuka, kita tidak bisa tidak membahas mengenai apa itu Financial Fair Play (selanjutnya ditulis FFP, red). Pada dasarnya, FFP ini adalah sebuah mekanisme perlindungan terhadap industri sepak bola secara keseluruhan. Dengan adanya FFP, klub-klub sepak bola Eropa diharapkan mampu beroperasi secara sehat di industri yang sehat juga.
ADVERTISEMENT
Hal terpenting dari FFP itu adalah bagaimana klub harus mengelola kerugian mereka. Perlu diketahui, sepak bola adalah bisnis yang labanya tidak seberapa, terutama jika ditilik dari sudut pandang klub.
Juventus, misalnya, berdasarkan data dari Market Watch, hanya bisa memperoleh pendapatan bersih di angka puluhan juta euro ketika berhasil menjual Paul Pogba dengan harga 105 juta euro. Pada musim 2016/17 itu, Juventus memiliki pendapatan bersih 42,57 juta euro. Sebelumnya, mereka cuma mampu mendapatkan 2,3 juta euro (2014/15) dan 4,06 juta euro (2015/16).
Jika Juventus yang dikenal sebagai tim dengan manajemen terbaik itu saja 'cuma' bisa mengumpulkan pendapatan bersih 'sekecil' itu, bayangkan apa yang terjadi dengan klub-klub lain. Faktanya, banyak klub yang beroperasi dengan keuangan berada di dekat titik nol. Bahkan, tak jarang dari mereka yang terus merugi dan merugi karena pengeluaran yang tidak bijak.
ADVERTISEMENT
Untuk inilah FFP diberlakukan pada 2011. Di situ, UEFA menentukan berapa jumlah kerugian yang boleh diderita sebuah klub setiap musimnya. Antara 2011 s/d 2013, masing-masing klub hanya boleh menderita kerugian sampai 45 juta euro. Setelah itu, garis batas bawah dinaikkan menjadi 30 juta euro sampai sekarang.
Kantor UEFA di Nyon, Swiss. (Foto: FABRICE COFFRINI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor UEFA di Nyon, Swiss. (Foto: FABRICE COFFRINI / AFP)
Selain itu, UEFA juga menentukan pendapatan-pendapatan apa saja yang boleh dikategorikan sebagai pendapatan dalam buku laporan keuangan, seperti hak siar televisi, penjualan pemain dan suvenir, serta pemasukan tiket stadion. Dengan kata lain, UEFA menutup pintu untuk injeksi finansial dari pemilik-pemilik superkaya seperti apa yang dilakukan Roman Abramovich di Chelsea dulu.
Dengan adanya pelarangan terhadap injeksi finansial itu, UEFA berusaha untuk meregulasi agar harga pasaran pemain tidak terkena inflasi berlebihan. Sebab, jika hal ini terjadi, pengeluaran klub pun secara otomatis akan meningkat. Inilah yang dikhawatirkan bakal membawa klub-klub tadi menuju kebangkrutan lebih cepat. Sampai di sini, semua masuk akal.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, praktiknya sama sekali tidak sesederhana itu. Sebab, di mana ada uang, di situ ada posisi tawar. Itulah yang terjadi dalam kasus Infantino, PSG, dan Manchester City ini.
Dalam kasus Manchester City, klub ini sebenarnya sudah sadar bahwa FFP merupakan ancaman bagi mereka sejak 2011. Ketika itu, dalam dua tahun, mereka kehilangan uang sampai 451 juta euro. Pada 2013, direktur keuangan klub, Andrew Widdowson, bahkan sudah mengakui bahwa City sudah melanggar FFP dan langkah mereka selanjutnya adalah 'mitigasi bencana'.
Pengakuan Widdowson itu terjadi pada 2013. Lalu, pada Januari 2014, masalah The Citizens semakin membesar. Kala itu, UEFA mengirimkan auditor keuangan dari firma PricewaterhouseCoopers (PwC) dan hasil temuannya [sama sekali tidak] mengagetkan: 84 persen 'pendapatan komersial lain-lain' City berasal dari sponsor di Abu Dhabi. Selain itu, City juga dituduh sudah menyembunyikan pengeluaran 35 juta euro di setiap laporannya.
ADVERTISEMENT
City dibeli oleh Syekh Mansour Al Nahyan dari Uni Emirat Arab pada 2008 dan sejak itu, mereka memang begitu rajin berbelanja pemain. Dari sanalah pengeluaran mereka banyak berasal, untuk biaya transfer dan gaji. Besarnya pengeluaran itu pulalah yang ditutupi oleh 'pendapatan komersial lain-lain' dari Abu Dhabi tadi. Namun, dengan begitu pun, kerugian 451 juta euro tetap tak terhindarkan.
Bos Manchester City, Syekh Mansour (tengah), dalam sebuah pertandingan Premier League. (Foto: AFP/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Bos Manchester City, Syekh Mansour (tengah), dalam sebuah pertandingan Premier League. (Foto: AFP/Andrew Yates)
Bagaimana 'pendapatan komersial lain-lain' ini menjadi masalah ada pada cara City 'memasak' bukunya. Berdasarkan temuan PwC, nilai sponsor perusahaan-perusahaan Abu Dhabi itu di-mark-up sampai lebih dari 80 persen nilai aslinya. Ini berarti, ada indikasi bahwa 'sponsor-sponsor Abu Dhabi' tadi tak ubahnya dummy corporation yang digunakan untuk mengakali aturan.
PwC kemudian membawa ini ke Club Financial Control Body (CFCB), badan independen UEFA yang mengurusi masalah FFP serta pelanggaran-pelanggarannya. Di CFCB ini, ada dua direktorat berbeda. Pertama, Badan Investigasi yang berwenang untuk melancarkan pemeriksaan terhadap klub pelanggar serta mengusulkan penalti macam apa yang akan diberikan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Badan Ajudikasi, di mana semua usulan hukuman digodok dan akhirnya diputuskan. Dari kedua badan tersebut, yang lebih banyak terlibat dalam aksi penegakan aturan adalah badan pertama. Di sinilah kemudian Infantino, yang saat itu berstatus Sekretaris Jenderal UEFA, memainkan peranannya.
Kongkalikong City dengan Infantino ini terjadi pada 2014. Sampai pada titik itu, City sebenarnya sudah berhasil menekan kerugian --entah dengan cara apa-- ke angka 188 juta euro. Namun, tetap saja, itu melanggar aturan FFP. Untuk pelanggaran sebesar itu, hukuman yang menanti City adalah larangan bermain di kompetisi antarklub Eropa, dalam hal ini Liga Champions.
Aturan sudah dibuat dan oleh karenanya, ia harus ditegakkan. Jika UEFA adalah institusi yang sehat, maka semuanya akan berjalan dengan sederhana. City tidak akan bisa mengikuti kompetisi Liga Champions 2014/15. Akan tetapi, UEFA adalah sarang penyamun. Maka dari itu, segalanya pun bisa diatur.
ADVERTISEMENT
Menghadapi City yang marah besar, Infantino mengkerut. Alih-alih membela organisasi yang dia pimpin, pria Swiss-Italia itu justru mendekatkan diri pada Khaldoon Al Mubarak, Ferran Soriano, dan Syekh Mansour. Apa yang dilakukan Infantino ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan Sepp Blatter, yakni dengan menjadi concierge, alias fasilitator, bagi orang-orang berduit.
Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter (Foto: Philipp Schmidli)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter (Foto: Philipp Schmidli)
Melalui pelbagai pertemuan rahasia, Infantino dan para pejabat serta pengacara City itu mendiskusikan semacam jalan tengah untuk City. Namun, pertemuan-pertemuan itu sendiri sebenarnya tak melulu berjalan mulus. Suatu ketika, Khaldoon bahkan pernah merespons hasil pertemuan dengan berucap begini: "Lebih baik aku menghabiskan 30 juta euro dengan menyewa 50 pengacara terbaik untuk menuntut UEFA sampai 10 tahun."
City ketika itu berniat mencari 'hukuman' berupa peringatan. Akan tetapi, Badan Ajudikasi CFBC bersikeras untuk memberikan hukuman berupa penalti finansial. Itulah yang berusaha keras dihindari oleh City dan dalam kapasitasnya tadi, Infantino, berusaha membantu klub tersebut.
ADVERTISEMENT
Apakah Infantino berhasil? Well, ya dan tidak. Dia berhasil karena membuat hukuman City akhirnya lebih ringan dari seharusnya, tetapi tetap tidak bisa membuat mereka lepas dari sanksi finansial. Saat itu, sanksi finansial City terbilang ringan untuk klub dengan kemampuan keuangan seperti mereka: hanya 20 juta euro.
Namun, dari sana tetap ada dua hukuman tambahan lain. Pertama, skuat Liga Champions mereka diperkecil. Normalnya, skuat Liga Champions sebuah tim adalah 25 pemain. Dengan kasus tadi, City hanya boleh mendaftarkan 21 nama. Plus, pada musim 2014/15 City cuma boleh berbelanja sebesar 49 juta poundsterling.
City, pada musim itu, akhirnya patuh dengan hukuman yang sudah ditetapkan. Walau tetap berbelanja banyak, mereka pun melego sejumlah pemain sehingga pengeluaran transfer mereka bisa persis berada di batas yang ditetapkan oleh UEFA.
ADVERTISEMENT
Dalam melakukan lobi terhadap City, Infantino tidak sendiri. Pria yang sekarang menjabat sebagai presiden FIFA itu dibantu pula oleh Michel Platini. Dalam kapasitasnya sebagai presiden UEFA, Platini sebenarnya tidak melakukan banyak hal. Namun, perannya cukup krusial.
Presiden FIFA, Gianni Infantino. (Foto: Reuters/Maxim Shemetov)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden FIFA, Gianni Infantino. (Foto: Reuters/Maxim Shemetov)
Di situ, Platini melakukan pendekatan terhadap Patrick Vieira. Kebetulan, kedua orang itu sama-sama berasal dari Prancis. Vieira saat itu bekerja untuk City dan dia menjalin hubungan privat dengan Platini. Intinya, saat itu Platini berusaha meyakinkan City, lewat Vieira, bahwa UEFA sudah melakukan yang terbaik untuk memfasilitasi pertumbuhan klub.
Relasi antara City dan UEFA ini, di tengah proses negosiasi hukuman, sempat berjalan alot. Salah satu contohnya bisa dilihat dari apa yang dikatakan pengacara City kala itu, Simon Cliff, ketika mendengar kabar kematian salah satu invetigator UEFA, Jean-Luc Dehaene. Cliff, kepada staf yang mewartakan kabar itu, berkata, "Satu sudah, sekarang tinggal enam." Kata-kata itu merujuk pada keberadaan tujuh investigator UEFA yang 'mengobok-obok' ambisi City.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi dengan City itu terjadi pula dengan PSG. Tahunnya pun sama. Bedanya, negosiasi antara Les Parisiens dan badan tertinggi sepak bola Eropa itu lebih lancar, di mana tidak ada orang yang sampai bahagia dengan kematian orang lain.
Pada 2011, PSG diakuisi oleh Qatar Sports Investment. Singkat kata, apa yang dilakukan mereka sama persis dengan apa yang diperbuat oleh Syekh Mansour di City. Mereka datang dengan membawa uang segudang dan menyulap klub yang tadinya semenjana menjadi raksasa. Metodenya pun sama. Mereka menggunakan dummy corporation untuk menyembunyikan aliran uang.
Dalam kasus PSG, yang menjadi sorotan adalah Qatar Tourism Authority. Pada 2013, QTA menjalin kerja sama dengan PSG untuk mempromosikan citra Qatar. Di sinilah keanehan-keanehan ditemukan, mulai dari janggalnya nota kesepakatan sampai nilai dari kerja sama tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam nota kesepakatan, tertera beberapa kewajiban dari PSG untuk terlibat secara tahunan, berdasarkan permintaan Qatar, untuk melakukan kegiatan promosi'. Namun, kepada QTA sendiri, PSG tak punya tanggung jawab apa-apa. Mereka tidak pernah memasang logo QTA, baik di jersi, situsweb, maupun papan iklan stadion. Dari situ, QTA membayar PSG sampai 215 juta euro per tahun.
Neymar bersama Nasser Al Khelaifi. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar bersama Nasser Al Khelaifi. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
Der Spiegel, dalam laporannya, membandingkan nilai sponsor itu dengan jumlah yang didapatkan Bayern dari Deutsche Telekom selaku sponsor utama. Per tahun, Bayern cuma mendapatkan 29 juta euro. Jauh sekali dari nilai sponsor QTA untuk PSG tadi. Inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan.
Untuk mengusut PSG, CFBC mengirim Deloitte untuk melakukan pemeriksaan. Dari hasil temuan Deloitte, seharusnya nilai sponsor QTA itu hanya berada di kisaran 2,78 juta euro. CFBC kemudian menuding bahwa QTA sebenarnya cuma merupakan terowongan yang dibangun agar dana transfer PSG bisa selalu berada di atas normal.
ADVERTISEMENT
PSG sendiri awalnya tidak terima akan tuduhan ini. Mereka pun sempat bersikap keras ketika UEFA memulai investigasinya. Nasser Al Khelaifi, presiden PSG, bahkan pernah mengancam langsung Platini dengan berkata, "Tentunya kamu tidak punya niat menyerang Qatar lewat klub sepak bola ini, bukan?"
Nada mengancam dari Al Khelaifi itu merujuk pada peran Platini sendiri dalam memuluskan langkah pemerintah Qatar mengakuisi PSG. Pada 2010, rencana akuisisi PSG itu sudah mulai digulirkan oleh pemerintah Qatar. Perlu dicatat bahwa ini bukanlah akuisisi biasa, melainkan sebuah langkah politik strategis dari Doha untuk mencuatkan nama mereka di konstelasi politik internasional.
Itulah mengapa, rencana akuisisi PSG tadi sampai harus melibatkan Nikolas Sarkozy, presiden Prancis saat itu. Sarkozy ketika itu berkata bahwa Qatar boleh saja membeli PSG, tetapi syaratnya mereka harus meluncurkan stasiun televisi (BeIN Sport, red) untuk membantu mempromosikan sepak bola Prancis. Jika itu sudah dilakukan, Sarkozy bakal menginstruksikan Platini untuk menghadiahi Qatar jatah tuan rumah Piala Dunia 2022.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, itulah yang terjadi. Itulah mengapa, ketika dihadapkan pada para petinggi PSG, Platini tak berkutik. Sejak awal, legenda Juventus ini memang sudah 'dipegang' oleh Qatar, sampai-sampai mendapat sebutan 'Orang Top' UEFA.
Eks-Presiden UEFA, Michel Platini. (Foto: AFP/Aris Messinis)
zoom-in-whitePerbesar
Eks-Presiden UEFA, Michel Platini. (Foto: AFP/Aris Messinis)
Peran Infantino di sini adalah dengan memberi instruksi kepada seorang pengacara UEFA untuk membocorkan hasil temuan Badan Investigasi CFBC kepada PSG. PSG yang bersikukuh tidak mau menerima hukuman pun akhirnya diberi kesempatan untuk mencari solusi sendiri atas masalah yang mereka ciptakan.
Hasilnya, tercapailah sebuah kompromi. Well, dua sebenarnya. Pertama, nilai sponsor QTA tadi diturunkan menjadi 100 juta euro. Kedua, sisa 115 juta euro tadi dialihkan kepada perusahaan-perusahaan lain yang juga berasal dari Qatar. Infantino 'berjasa' dengan menyembunyikan pengalihan dana 115 juta euro tadi dari dokumen yang menandai masalah sudah terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Terselesaikannya masalah tersebut kemudian ditandai lagi dengan adanya sanksi finansial sebesar 20 juta euro, sama seperti yang dijatuhkan pada Manchester City. Lunaknya hukuman itu akhirnya membuat kepala tim investigasi UEFA, Brian Quinn dari Skotlandia, mengundurkan diri sehari sebelum 'sanksi' tadi resmi disahkan.
***
Ironi terjadi ketika mata orang-orang mulai terpejam. Terhitung sejak 2012, suporter Manchester City selalu menyambut anthem Liga Champions dengan sorakan.
Ada yang menyebut bahwa ini terjadi karena UEFA tidak adil dalam menangani kasus rasialisme yang dialami Mario Balotelli saat City bertandang ke markas Porto. Ada pula yang mengatakan bahwa suporter City membenci UEFA karena mereka pernah didenda 30 ribu euro hanya karena terlambat 30 detik memasuki lapangan kala bermain melawan Sporting CP.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, masalah sebenarnya adalah FFP. Para suporter City menuding UEFA sebagai musuh yang menghalang-halangi progres City. Kata mereka, FFP adalah alat dari UEFA untuk melindungi para elite sepak bola. Sekarang, dengan terungkapnya 'jasa' UEFA kepada City, seharusnya para suporter itu mulai menyesal karena tidak membeli cermin dari dulu.