Menendang Rasialisme dari Sepak Bola Itu Sulit, tetapi Tidak Mustahil

4 April 2019 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Moise Kean ditenangkan Joao Cancelo usai menjadi korban rasialisme. Foto: AFP/Marco Bertorello
zoom-in-whitePerbesar
Moise Kean ditenangkan Joao Cancelo usai menjadi korban rasialisme. Foto: AFP/Marco Bertorello
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Danny Gabbidon masih muda ketika itu, baru 24 tahun. Dia sebenarnya sudah memprediksi bahwa bertanding di hadapan suporter Serbia-Montenegro tidak akan mudah. Sudah jadi rahasia umum bahwa di negeri Balkan itu suporter sepak bolanya memang masuk kategori sinting. Namun, Gabbidon tidak pernah menyangka akan disamakan dengan monyet oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu terjadi pada 2003 ketika Gabbidon menjadi bagian dari Timnas Wales. Dalam laga di Beograd itu, Gabbidon bersama dua rekannya, Nathan Blake dan Robert Earnshaw, mendapat teror rasial dari pendukung tuan rumah. Dalam kolomnya di The Guardian, Gabbidon bercerita kalau dia sampai syok mendengar cemoohan tersebut.
"Aku sampai harus mendengar konfirmasi dari seorang staf pelatih untuk mempercayainya," tulis pria 39 tahun tersebut.
Gabbidon menulis kolom tersebut sebagai bentuk respons terhadap aksi pelecehan rasial yang dilakukan suporter Montenegro terhadap tiga pemain Inggris: Raheem Sterling, Callum Hudson-Odoi, dan Danny Rose. Dalam tulisan tersebut, pesan utama Gabbidon adalah: Jika kamu belum pernah dilecehkan secara rasial, kamu akan sulit memahaminya.
Tulisan Gabbidon itu diunggah pada 26 Maret 2019. Tak sampai seminggu kemudian, ucapan pemilik 49 caps untuk Timnas Wales itu terbukti lewat sebuah kejadian di Sardinia, Italia.
ADVERTISEMENT
Rabu, 3 April 2019 WIB, Cagliari menjamu Juventus di Sardegna Arena. Sebelum laga, tidak ada sama sekali perbincangan soal rasialisme. Juventus datang ke sana dengan kabar bahwa sembilan pemain intinya harus masuk ruang perawatan. Cagliari, sementara itu, menatap pertandingan dengan mengusung mimpi mengalahkan tim terhebat di Italia.
Namun, pembicaraan mengenai taktik, pemilihan pemain, dan proses terjadinya gol lenyap seusai laga. Semua itu tiba-tiba saja menjadi tidak penting. Juventus menutup laga dengan kemenangan 2-0, tetapi itu semua tidak ada artinya karena apa yang dilakukan oleh Leonardo Bonucci.
Cagliari adalah tim yang sangat tangguh di kandang. Sebelum ditundukkan Juventus, mereka baru takluk dua kali di Sardegna Arena. Atmosfer penonton menjadi salah satu alasan di balik rekor impresif itu. Namun, atmosfer yang menyeramkan itu dibangun di atas fondasi busuk berupa cemoohan bernada rasial.
ADVERTISEMENT
Pada pertandingan menghadapi Juventus, para suporter Cagliari kembali menggunakan taktik itu. Dua pemain Juventus yang berkulit hitam, Blaise Matuidi dan Moise Kean, menjadi sasarannya. Tiap kali mereka menguasai bola, para pendukung tuan rumah akan menirukan suara monyet.
Perilaku itu menjadi senjata makan tuan. Lima menit sebelum pertandingan usai, Kean meneruskan umpan Rodrigo Bentancur untuk membobol gawang Alessio Cragno. Itu adalah gol kedua Juventus yang makin menegaskan keunggulan mereka atas Cagliari.
Seusai mencetak gol, Kean tidak melakukan selebrasi menari seperti biasanya. Alih-alih demikian, pemuda 19 tahun itu berdiri dengan tangan terentang, seakan-akan menantang para suporter tim tamu yang ada di hadapannya.
Seusai pertandingan Kean menulis di akun Instagram-nya bahwa gol dan selebrasi itu merupakan cara terbaik untuk membungkam orang-orang rasis yang mencemoohnya. Kean mendapat dukungan dari pemain-pemain Juventus lain, seperti Matuidi —yang juga pernah mendapat cemoohan rasial dari pendukung Cagliari, Miralem Pjanic, Joao Cancelo, Douglas Costa, bahkan Medhi Benatia yang sudah tak lagi berkostum Bianconeri.
ADVERTISEMENT
Namun, dukungan tidak datang dari Bonucci. Pemain yang dibenci mayoritas suporter Juventus karena minta pindah ke Milan itu berkata bahwa Kean tidak seharusnya melakukan apa yang dia lakukan. Sudah jelas bahwa Kean menjadi korban rasialisme, tetapi Bonucci justru menimpakan kesalahan kepadanya.
"Kean tahu bahwa ketika dia mencetak gol dia seharusnya fokus merayakan itu bersama rekan-rekannya. Dia seharusnya melakukan hal berbeda. Aku mendengar cemoohan rasial setelah dia mencetak gol. Blaise juga mendengarnya dan dia marah. Kupikir, Kean dan suporter Cagliari sama-sama salah. Kean seharusnya tidak melakukan itu dan para pendukung tidak semestinya bereaksi demikian," kata Bonucci.
Komentar nyaris senada diucapkan pula oleh Massimiliano Allegri. Pelatih Juventus itu berkata bahwa Kean tidak seharusnya merespons cemoohan rasial yang dia terima. Meski demikian, Allegri tidak menyalahkan pemainnya dan mengatai para pendukung Cagliari tadi dengan sebutan 'idiot'.
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan Bonucci tadi mendapat kecaman dari banyak pihak. Raheem Sterling, Mario Balotelli, Stan Collymore, sampai rapper asal Inggris, Stormzy, kompak menyerang Bonucci atas pernyataan tololnya itu. Balotelli bahkan menuliskan bahwa 'Bonucci beruntung aku tidak ada di sana'.
Setelah komentar dari Bonucci itu muncul, dukungan untuk Kean kemudian datang dari kapten tim Giorgio Chiellini serta striker Juventus Women, Eniola Aluko.
Chiellini berkata, "Moise adalah aset bagi sepak bola Italia, seorang anak emas yang begitu impresif, dan dia tidak harus berpura-pura jadi orang lain. Aku tidak ingat apa yang terjadi tetapi dari foto-foto yang kulihat, Kean tidak melakukan kesalahan apa pun. Satu-satunya kesalahan yang dia lakukan kemarin adalah melakukan diving dan aku yakin dia takkan mengulanginya."
ADVERTISEMENT
Sementara itu, lewat akun Twitter-nya, Aluko menulis, "Aku memilih untuk mendukung rekanku di Juve dan tidak menyalahkannya. Berita baiknya, idiot-idiot di Cagliari itu tidak punya prestasi apa pun di hidupnya, sementara Kean adalah calon megabintang dan Matuidi adalah juara dunia. Kean 1, Idiot Rasis Cagliari 0."
Dari sini terbukti bahwa Gabbidon benar. Sampai seseorang merasakan dampak cemoohan rasialis, dia tidak akan benar-benar memahami apa artinya diperlakukan demikian.
Perlu dicatat, Bonucci sendiri tidak asing dengan cemoohan dari para suporter. Bahkan, dalam cemoohan yang dia terima itu, ada doa supaya anaknya meninggal dunia. Namun, sekali lagi, cemoohan yang diterima Bonucci itu tidak disebabkan oleh warna kulitnya, melainkan pilihannya membelot ke Milan.
ADVERTISEMENT
Leoanrdo Bonucci saat berkostum Milan. Foto: Reuters/Stefano Rellandini
Apa yang terjadi pada Kean dan Bonucci ini mirip dengan apa yang terjadi di Timnas Jerman beberapa waktu lalu. Ketika Mesut Oezil memutuskan pensiun karena tidak tahan dengan perlakukan rasialis yang dia terima, sejumlah rekannya yang berkulit putih memilih untuk mengabaikan hal tersebut. Thomas Mueller, Toni Kroos, dan Manuel Neuer adalah tiga nama utama yang menyatakan ketidakpercayaannya kepada Oezil.
Baik Mueller, Kroos, maupun Neuer sama-sama berkata bahwa mereka tidak pernah melihat aksi rasialis di Timnas Jerman. Pendek kata, mereka menganggap keputusan pensiun Oezil itu sebagai sesuatu yang mengada-ada.
Masalah rasialisme sebenarnya bukan masalah sepak bola saja. Ini adalah problem yang dihadapi oleh umat manusia di mana pun. Di Jerman, ada sentimen terhadap warga keturunan Turki. Di Italia, orang-orang kulit hitam dimusuhi. Di Indonesia, ada kebencian tersendiri terhadap orang-orang keturunan China. Jadi, ketika ada rasialisme di stadion sepak bola, itu semua merupakan refleksi atas apa yang terjadi di luarnya.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya untuk memerangi rasialisme sebenarnya sudah ada. Di Inggris, misalnya, organisasi nirlaba Kick It Out sudah dibentuk sejak 1993. Enam tahun berselang, Fare berdiri di Wina dengan tujuan serupa. Dua organisasi ini sudah melakukan kampanye anti-rasialisme tanpa henti. Akan tetapi, mereka bukan pemangku kebijakan sehingga seringkali, suara-suara mereka cuma lewat begitu saja.
Menyusul cemoohan rasial yang diterima bek Napoli, Kalidou Koulibaly, pada laga melawan Internazionale, FIGC sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan baru. Yakni, bahwa wasit bisa menghentikan pertandingan jika ada aksi rasialisme entah itu di tribune maupun di lapangan. Namun, seperti yang sudah terlihat dalam pertandingan antara Cagliari dan Juventus, itu semua belum diimplementasikan secara penuh.
Sejauh ini, ancaman sudah diberikan oleh pelatih Napoli, Carlo Ancelotti. Pelatih berjuluk Don Carlo itu berkata bahwa apabila ada pemainnya yang jadi sasaran tindak rasialisme, dia akan memerintahkan seluruh tim Napoli untuk pergi dari lapangan. Ancaman serupa juga diberikan Pep Guardiola soal cemoohan rasial yang selama ini acap diterima Sterling.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, itu semua tidak akan menyelesaikan masalah. Rasialisme hanya bisa diselesaikan lewat upaya sistemik seperti yang dilakukan oleh Borussia Dortmund bersama kelompok suporternya.
Sebagai kota kerah biru, Dortmund adalah sarang fasisme menyusul runtuhnya Tembok Berlin. Fasisme yang salah satu wujudnya adalah rasialisme ini sempat mewabah di tribune Westfalenstadion. Mulai dari orang-orang Yahudi sampai orang-orang kulit hitam, semua menjadi sasaran kebencian.
Rasialisme di tribune menemui senjakala ketika pergerakan ultras muncul di awal 2000-an. Para ultras yang berhaluan politik sayap kiri itu mulai menyingkirkan anasir-anasir Neo-Nazi dan itu mendapat dukungan dari pihak klub.
Dortmund kemudian ikut terlibat dalam upaya mengedukasi suporter, salah satunya dengan mengadakan perjalanan rutin ke kamp konsentrasi Nazi. Dengan upaya sistemik seperti itulah rasialisme bisa dibabat habis di stadion milik Dortmund.
ADVERTISEMENT
Contoh berhasil sebenarnya sudah ada. Maka dari itu, yang perlu dilakukan adalah menirunya dalam skala lebih besar. Menyingkirkan rasialisme sebenarnya bukan hal mustahil asal ada tindakan konkret yang dilakukan, bukan sekadar kampanye-kampanye kosong yang akhirnya cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan.