Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bagi Christian 'Bobo' Vieri, hidup yang pendek ini harus dirayakan dengan pengembaraan. Ia berpindah, dengan bergegas, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu momen ke momen lain, dari satu pelukan ke pelukan lain.
ADVERTISEMENT
Ini bukan perkara ia lahir di mana dan besar di mana semata —atau kesebelasan-kesebelasan mana saja yang pernah ia bela. Sampai untuk urusan wanita pun, Vieri tetap begitu —ia sering betul bergonta-ganti pasangan.
Vieri memang pernah memperkuat sembilan kesebelasan dalam sembilan musim berbeda, menunjukkan bahwa ia memang journeyman sejati. Namun, ini bukanlah sesuatu yang aneh buatnya. Sedari awal hidupnya bermula, pengembaraan adalah hal yang lazim.
Pada 12 Juli 1973, Vieri lahir dari pasangan Roberto Vieri dan Christiane Rivaux di Bologna. Tak lama, pada pertengahan 1970-an, keluarganya pindah ke Sydney, Australia, tempat ayahnya bermain untuk kesebelasan lokal, Marconi Stallions.
Sebegitu lekatnya kultur Australia pada keluarga itu, sampai-sampai kriket —yang notabene begitu populer di Down Under— menjadi salah satu olahraga favorit Vieri.
ADVERTISEMENT
Pada 2003, Vieri pernah berkelakar begini: Andai kriket bisa memberikan uang yang sama besar dengan sepak bola, sudah pasti dia akan menjadi atlet kriket.
Namun, bersyukurlah Vieri karena ia memilih sepak bola. Tanpa olahraga si kulit bulat itu, boleh jadi ia tidak akan sesering itu berpindah-pindah; dari satu tempat ke tempat lain, dari satu momen ke momen lain.
****
Pengembaraan sepak bola Vieri bermula di Prato, Tuscany, tempat ia memperkuat dua kesebelasan junior, AC Santa Lucia dan AC Prato. Namun, alih-alih memperkuat salah satu kesebelasan paling terkenal di Tuscany, Fiorentina, Vieri memilih jalan lain.
Dari Prato, ia beranjak ke barat laut, ke Turin, tempat Torino FC menetap. Il Toro pun menjadi kesebelasan profesional pertama untuk Vieri.
ADVERTISEMENT
Idealnya, sebagai seorang pemuda yang belum pernah mencecap sepak bola profesional sama sekali, Torino bisa menjadi ruang belajar untuk Vieri. Namun, cukup satu musim bermain untuk Torino, Vieri pindah ke Pisa.
Lalu, kariernya berkelebatan dengan cepat: Dari Pisa, ia berpindah ke Ravenna, lalu Venezia, lalu Atalanta. Hanya dalam lima musim, ia sudah memperkuat lima kesebelasan berbeda. Namun, pengembaraannya ke Bergamo, tempat Atalanta bermukim, terbukti menjadi pilihan yang tepat.
La Dea (alias Sang Dewi) bukanlah kesebelasan mentereng. Mereka baru tampil di Serie A pada musim 1995/96, musim di mana Vieri bergabung. Meski begitu, mereka punya sejumlah nama yang kelak punya kisahnya masing-masing di Serie A.
Di pos penjaga gawang ada Fabrizio Ferron, yang di kemudian hari menjadi andalan Sampdoria sebelum akhirnya bergabung dengan Inter; lalu, ada Paolo Montero, calon bek beringas Juventus di masa depan; dan Sandro Tovalieri, striker yang mencetak 40 gol dalam tiga musim bersama Bari.
ADVERTISEMENT
Di Atalanta, Vieri datang, mencuri perhatian, lalu pergi lagi. Dalam semusim, ia tampil 21 kali dan mencetak total sembilan gol. Ia hanya kalah dari topskorer Atalanta musim itu, Domenico Morfeo, yang mencetak 11 gol sepanjang musim.
Untuk ukuran pemain berusia 23 tahun dan baru musim itu mengecap perjalanan panjang di Serie A, torehan Vieri layak mendapatkan aplaus. Maka, tak heran ketika Juventus datang mengetuk pintu Atalanta dan menawarkan sejumlah uang untuk menebus Vieri.
Gayung bersambut, Atalanta menerima pinangan itu. Lantas, pada 1996/97, Vieri kembali ke Turin, kali ini untuk bermain bersama Juventus.
Untuk pertama kali dalam kariernya, Vieri merasakan bermain untuk klub mewah. Juventus pada pertengahan 90-an adalah Juventus yang tampak begitu siap untuk menaklukkan Italia dan Eropa sekaligus. Di lini belakang, mereka punya Ciro Ferrara, di lini tengah mereka memiliki Zinedine Zidane dan Didier Deschamps, di lini depan… Well, ini lebih mewah lagi.
ADVERTISEMENT
Musim itu, Juventus punya dua nama besar di pos striker: Alessandro Del Piero dan Alen Boksic. Vieri, yang baru berusia 23 tahun, tampak jadi pelengkap saja. Namun, torehan gol menunjukkan bahwa Vieri memang punya potensi.
Musim itu, tidak ada satu pun pemain Juventus yang mencetak dua digit gol di Serie A. Del Piero, topskorer mereka, hanya mencetak 8 gol. Bersamanya, ada Vieri dan Michele Padovano yang menorehkan jumlah gol yang sama.
Meski begitu, kolektivitas dan performa yang relatif lebih konsisten ketimbang pada pesaing, mengantarkan Juventus menuju takhta juara. Vieri pun merasakan gelar juara liga pertama (dan kelak satu-satunya) dalam kariernya.
Namun, life must go on. Gelar juara sekali pun tidak bisa mengikat Vieri. Hanya satu musim bermain di Juventus, ia memutuskan untuk pindah lagi. Kali ini ke Atletico Madrid, juara La Liga pada 1995/96 yang terjerembab ke posisi lima pada musim berikutnya.
ADVERTISEMENT
Vieri kemudian membocorkan alasan untuk menerima pinangan Atletico. "Suatu hari (Luciano) Moggi (Direktur Sepak Bola Juventus) memanggil saya ke kantornya dengan agen saya, Bettega. Moggi mengklaim bahwa klub tidak dapat menawarkan saya lebih dari 2 juta lira per musim di mana saya sadar bahwa Atletico siap untuk menawarkan 3,5 juta lira," ungkap Vieri.
"Saya berkata kepada mereka segera, 'Saya akan pergi ke Spanyol,' dan itu adalah akhir dari pertemuan."
Pembelian Vieri bisa dibaca sebagai salah satu ambisi Atletico untuk kembali ke puncak. Pada musim yang sama, mereka juga mendatangkan Juninho (yang tampil apik bersama Middlesbrough di Premier League), dan Paulo Futre.
Pada akhirnya, rencana itu memang tidak terwujud. Alih-alih menjadi lebih baik, posisi Atletico malah makin anjlok; mereka finis di urutan ketujuh La Liga.
ADVERTISEMENT
Namun, buat Vieri, perjalanan bersama Atletico itu makin menahbiskan dirinya sebagai goal getter jempolan. Total, ia tampil 32 kali sepanjang musim 1997/98 dan mencetak 29 gol untuk Atletico. Mudah ditebak, dialah yang menjadi topskorer Atletico musim itu.
****
HIngga hari ini, menjadi pemain Italia pertama dan satu-satunya yang sukses menjadi pencetak gol terbanyak di La Liga. Sebuah pencapaian yang, semestinya, bisa membuatnya sosok legendaris di La Liga.
Namun, seperti yang sudah-sudah. Vieri memutuskan hubungan dengan klubnya dengan cepat. Pada 1998/99, ia pulang kampung dan memilih Lazio sebagai pelabuhan barunya.
Pemain yang identik dengan nomor punggung 32 itu langsung menuai tuah pada musim perdananya. 14 gol dalam 28 penampilan jadi torehan Vieri bersama Biancocelesti.
ADVERTISEMENT
Dan lagi-lagi... Vieri memutuskan pergi. Kali ini, ia pindah ke Internazionale. Uang sebesar 33 juta euro membuat Lazio luluh untuk melepas pemain yang sukses membantu mereka meraih Supercoppa Italia dan Piala Winners di edisi 1998/99 tersebut. Yang tidak kalah penting: Banderol harga itu membuat Vieri menjadi pemain termahal di dunia saat itu.
Saking mahalnya harga Vieri, koran resmi Vatikan, L'Osservatore Romano, sampai mengkritisi pembelian "ugal-ugalan" Inter itu. Menurut mereka, gelontoran uang sebanyak itu adalah sebuah penghinaan terhadap orang-orang miskin.
Inter memang jadi klub kesembilan dari sembilan musim berkarier sebagai pemain profesional. Namun, jangan salah, justru bersama Nerazzurri-lah Vieri menemukan arti kesetiaan.
Seperti yang Anda lihat, biasanya kebersamaan Vieri dengan klubnya cuma berlangsung semusim. Dengan Inter, ia total telah menghabiskan enam periode. Ironisnya, dalam durasi pengabdian selama itu, Vieri cuma mampu mempersembahkan satu titel saja, yakni Coppa Italia.
ADVERTISEMENT
Pergantian manajer yang rutin jadi alasan inkonsistensi Inter saat itu. Apalagi Ronaldo Luiz Nazario de Lima, sebagai tandem Vieri kala itu, gagal mencapai performa terbaiknya lantaran cedera.
Apes, memang. Kontribusi Vieri yang mencetak 22 gol dalam 25 pertandingan di musim 2001/02 pun sia-sia. Inter takluk dari Lazio di pekan pemungkas dan gagal menjadi juara.
Vieri tampil ganas semusim berselang dan sukses menyabet Capocannoniere lewat 24 gol. Sayang, Inter akhirnya hanya bertengger sebagai runner-up di bawah Juventus.
Juli 2005, Vieri dan Inter memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan. AC Milan kemudian menampungnya. Sad but true, Milan bukanlah tempat yang indah baginya.
Vieri gagal mendapatkan tempat reguler karena cuma tampil di 8 laga dan memproduksi sebiji gol. Enam bulan di San Siro, ia lalu hengkang ke AS Monaco.
ADVERTISEMENT
Di sanalah senja kala kariernya tercipta. Vieri mengalami cedera lutut parah. Sialnya lagi, ia harus memupus harapannya untuk memperkuat Italia di Piala Dunia 2006.
Kebiasaan nomadnya kumat. Ia merapat ke Atalanta, lalu Fiorentina, serta kembali lagi ke Atalanta dan gantung sepatu di sana.
Sebelumnya Vieri juga pernah berstatus sebagai pemain Sampdoria usai hengkang dari Monaco. Lucunya, kebersamaan Vieri dengan klub asal Genoa itu cuma berumur sebulan. Sampdoria melalui situs resminya kala itu menjelaskan bahwa langkah itu diambil setelah Vieri bertemu dengan Giuseppe Marotta selaku kepala eksekutif klub.
Vieri boleh saja dikenal sebagai pemain yang tak loyal. Namun, label itu tak akan mengubah eksistensinya sebagai salah satu bomber terbaik di Italia bahkan dunia.
ADVERTISEMENT
Toh, trofi Pichichi dan Capocannoniere pernah ia dapatkan. Dua kali pula Vieri terpilih jadi pemain terbaik Serie A (1999 dan 2002).
Lebih dari aras klub, Vieri juga masih berjaya di level internasional bersama Gli Azzurri. Ia masih bertengger sebagai pencetak gol terbanyak Italia di ajang Piala Dunia dengan 9 gol --setara dengan Roberto Baggio dan Paolo Rossi.