Menggugat Pressing sebagai Cara Melemahkan Manchester City

24 Januari 2018 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
City pada laga versus Liverpool. (Foto: Carl Recine/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
City pada laga versus Liverpool. (Foto: Carl Recine/Reuters)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 12 Agustus tahun lalu, Amex Stadium jadi saksi betapa sulitnya Manchester City menaklukkan tuan rumah Brighton & Hove Albion.
ADVERTISEMENT
Secara matematis Brighton kalah segalanya. Bukan cuma kualitas skuat tapi juga pada aspek pengalaman. Klub dengan logo burung camar itu belum pernah mencicipi level Premier League sejak pertama kali bergulir pada 1992 silam.
Namun, kenyataannnya tidak demikian. City yang total mendominasi laga dengan penguasaan bola sebesar 78% hanya mampu menyarangkan sepasang gol ke gawang yang dijaga Mat Ryan.
Itupun dengan bantuan gol bunuh diri Ryan Dunk sebelum Sergio Aguero berhasil memecah kebuntuan di menit 70. Lantas, apakah Chris Hughton bermain amat defensif sehingga menyulitkan City?
Tidak juga, Brighton berhasil melepaskan tujuh tembakan ke gawang The Citizens yang mana dua di antaranya mengarah ke sasaran. Mereka memang menumpuk banyak pemain di lini tengah, tapi juga menekan sisi sayap kiri City untuk melancarkan serangan plus umpan-umpan panjang.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, tak ada yang lebih menyakitkan dari kekalahan 3-4 yang dialami City dari Liverpool pada Premier League pekan ke-23.
Bukan hanya mematahkan catatan tak terkalahkan milik Pep Guardiola, tapi juga makin menguak kelemahan juego de posicion yang jadi andalan mantan pelatih Barcelona itu.
Ya, pressing yang digalakkan Juergen Klopp behasil mengerdilkan dominasi City. Dengan pressing dan garis pertahanan yang tinggi, Emre Can dan kolega sukses mematikan Kevin De Bruyne yang jadi poros kreativitas City.
Pemain yang sudah mengemas sembilan gol dan 13 assist di semua ajang itu bahkan tak mampu melepaskan satu pun umpan kunci. Padahal, rata-rata tiga key pass dilepaskannya pada tiap laga Premier League.
ADVERTISEMENT
Buntutnya, suplai bola ke lini depan menjadi minim. Itulah alasan mengapa Raheem Sterling dan Aguero tak nihil dalam melepaskan tembakan tepat sasaran. Parahnya lagi, Aguero menjadi pemain yang paling kerap kehilangan bola sejumlah 13 kali.
Sementara Leroy Sane masih lebih baik karena sukses menjebol gawang Liverpool lewat aksi individunya. Sementara itu, bukti nyata lemahnya City dalam menghadapi pressing juga tertuang pada gol-gol yang dicetak Liverpool.
Tengok saja gol pertama The Reds yang dicetak Alex Oxlade-Chamberlain. Peluang tersebut tercipta setelah Roberto Firmino sukses merebut bola dari Fabian Delph.
Begitu juga dengan lesakkan Mohamed Salah di menit 68 yang juga diawali dari kesalahan Ederson Moraes dalam menyapu bola. Pressing yang dilakukan ekspemain Chelsea itu terhadap Nicolas Otamendi juga memudahkan Sadio Mane untuk menggetarkan jala gawang City.
ADVERTISEMENT
Suka tidak suka, kini City telah mengalami gejala yang mengkhawatirkan. Fakta paling aktual tertuang saat mereka hanya unggul tipis 3-2 dari Bristol City, Rabu (24/1/2018) dini hari WIB, yang notabene cuma kontestan Divisi Championship.
Padahal Guardiola menurunkan beberapa pemain pilarnya, seperti David Silva, De Bruyne, Fernandinho, Sane, dan juga Aguero. Bisa ditebak, pressing yang tinggi membuat City lagi-lagi kesulitan. Ya, benang merah dari ketiga laga yang menyulitkan City adalah tekanan yang kemudian mengganggu sistem permainan mereka.
Dalam tulisannya di ESPNFC, Michael Cox, jurnalis asal Inggris yang mengkhususkan diri pada pembahasan taktik sepak bola, memuji cara main Bristol. Ia sepemahaman dengan Guardiola yang juga memuji permainan Bristol. Penyebabnya, apalagi kalau bukan pressing.
ADVERTISEMENT
Namun, kata Cox lagi, melakukan pressing terhadap City jauh lebih mudah untuk diucapkan ketimbang dilakukan. Dan Cox benar.
City kesulitan saat melawan Brighton. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
City kesulitan saat melawan Brighton. (Foto: Reuters/Hannah McKay)
Secara garis besar, City membangun serangan dari lini paling belakang, dalam hal ini Otamendi yang paling intens. Kemudian disalurkan kepada Fernandinho untuk didistribusikan kepada para kreator serangan seperti De Bruyne dan Silva.
Kejelian dua pemain ini didukung dengan fluiditas sisi sayap yang dihuni Sane, Sterling, dan Kyle Walker. Bahkan Aguero pun juga lebih intens bergerak ke sisi tepi.
Jadi semakin dalam pressing yang dilakukan semakin besar efektif pula dalam meminimalisir build-up seragan The Citizens. Pasalnya, andai bola sudah jatuh ke kaki De Bruyne atau Silva, dominasi City akan lebih susah dihentikan.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang dilakukan Brighton, Liverpool, dan Bristol. Masalahnya, tak semua tim bisa mencanangkan sistem yang amat mengandalkan stamina dan kedisiplinan itu. Dalam hal ini, Liverpool yang terbaik.
Mereka beruntung karena dinakhodai Klopp yang sudah mengaplikasikan gegenpressing sejak bersama Borussia Dortmund. Terlebih, karakteristik pemain The Reds juga memungkinkan untuk memakasa lawan berbuat kesalahan sekaligus mengonversinya menjadi serangan mematikan.
Walaupun begitu, skema pressing yang tinggi bukan tanpa risiko. Stamina yang terkuras tak hanya memperlambat pergerakan tapi juga melemahkan konsentrasi.
Buktinya, dua gol balasan City ke gawang mereka terjadi dalam rentang waktu enam menit jelang akhir laga. Kebetulan, The Citizens memang hobi menjebol gawang lawan di menit-menit akhir.
ADVERTISEMENT
Hal itu juga yang terjadi kepada Brighton. Setelah memasuki menit 70, Shane Duffy melakukan kesalahan setelah gagal memotong bola kiriman Silva. Alhasil, Aguero yang tak terkawal sukses membawa City unggul.
---
Pressing tinggi adalah musuh alami dari dominasi penguasaan bola yang jadi andalan. Guardiola. Masalahnya, tidak semua kesebelasan bisa menerapkan skema tersebut. Stamina yang terkuras dan konsentrasi yang menurun di menit-menit akhir bisa jadi bumerang bagi mereka sendiri.