Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Miracle of Istanbul: Kisah Malam Ajaib Liverpool di Turki
22 Mei 2018 17:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Keajaiban, kata Lemony Snicket*, seperti jerawat. Ketika Anda mencoba mencarinya, Anda akan menemukan lebih dari apa yang pernah Anda bayangkan.
ADVERTISEMENT
Ketika menjejak Ataturk Olympic Stadium, Istanbul, Turki, pada 25 Mei 2005, Liverpool dan para suporternya sudah menemukan keajaiban. Keajaiban itu datang lewat musim yang tak cemerlang, tapi menghadirkan final Liga Champions di ujungnya.
Dan di Istanbul itu, mereka mencoba mencari keajaiban sekali lagi. Kalau-kalau keajaiban itu memang masih tersisa untuk mereka.
Kemudian, seperti kata Snicket dalam cerita pendek berjudul 'The Lump of Coal' itu, keajaiban yang ditemukan Liverpool dan suporternya hadir lebih-lebih dari apa yang mereka--dan seluruh mata yang menyaksikan laga tersebut--pernah bayangkan.
***
Jika partai final Liga Champions 2004/05 selesai dalam 50 menit, AC Milan akan menjadi pemenang dan Liverpool akan jadi pecundang. Namun, beruntunglah Liverpool, pertandingan final itu berlangsung 90 menit dan mereka bisa mengubah jalan ceritanya.
ADVERTISEMENT
Papan penunjuk waktu di Ataturk Olympic Stadium sudah menunjukkan menit 44. Para pendukung Liverpool yang berada di tribune sudah tertunduk lesu, menutup wajah mereka dengan telapak tangannya, dan sebagian tengah menyeka air mata.
44 menit adalah waktu yang sebentar dalam sebuah pertandingan final dan malam itu, Milan sudah unggul 3-0 atas 'Si Merah'. Tepat di menit 44, Hernan Crespo mencetak gol keduanya malam itu, sekaligus jadi gol ketiga Milan.
Sebelumnya, gol dari Paulo Maldini di menit pertama dan gol Crespo di menit 39 sudah berhasil membuat suporter Liverpool kesulitan untuk berkata-kata. Saat itu, Milan sudah punya segalanya untuk menjadi pemenang.
Mereka sudah unggul tiga gol, dan saat itu mereka menghadapi tim yang begitu panik saat menerima serangan, tetapi terlalu terburu-buru tiap kali menyerang. Singkatnya, Milan sudah punya jurus terjitu untuk memaksimalkan peluang dan menghentikan ancaman yang dilancarkan Liverpool.
ADVERTISEMENT
Saat babak pertama berakhir, para pemain Milan masuk ke ruang ganti dengan semringah dan di dalam benak, mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pertandingan. Sebaliknya, raut wajah kusut diperlihatkan para pemain Liverpool dan manajer mereka, Rafa Benitez.
Namun, Benitez tak mau menyerah. Di ruang ganti, dia memutar otak lebih banyak daripada biasanya. Dia kemudian memasukkan Dietmar Hamann dan menarik keluar Steve Finnan. Manajer asal Spanyol itu mengubah pakem timnya jadi tiga bek.
Benitez ingin pragmatis saja, jika timnya memang tak bisa memenangi pertandingan, dia berharap setidaknya gawang Jerzy Dudek tak kebobolan lebih banyak. Namun siapa menyangka, pada menit 54, satu per satu keajaiban yang dinanti oleh suporter Liverpool muncul.
ADVERTISEMENT
Di menit 54, Steven Gerrard berhasil memperkecil ketertinggalan Liverpool jadi 1-3 setelah sundulannya usai memanfaatkan umpan silang Arne Riise mampu menggetarkan jala gawang Dida. Dua menit berselang, suporter Liverpool di tribune kembali bersuara lantang.
Sebab, di menit 56, Liverpool mampu mencetak gol kedua mereka pada malam itu. Yang jadi aktor adalah salah satu pemain pengganti, Vladimir Smicer. Tendangan keras pemain berpaspor Republik Ceko itu tak bisa dihalau oleh Dida.
Empat menit berselang, keajaiban yang tak pernah disangka-sangka Liverpool dan para suporter mereka akhirnya datang. Steven Gerrard dijegal Gennaro Gattuso di kotak penalti Milan, dan wasit Manuel Mejuto Gonzales asal Spanyol meniupkan peluti tanda pelanggaran. Hadiah penalti diberikan untuk Liverpool.
ADVERTISEMENT
Xabi Alonso yang menjadi algojo sebenarnya gagal menunaikan tugas. Bola tendangannya ditepis oleh Dida. Namun, bola muntah hasil tendangan itu mampu disambar Alonso dengan ciamik dan jadi gol. Milan 3, Liverpool 3. Keajaiban itu sudah hadir di lapangan.
Suporter Liverpool atau penonton mana kemudian yang menyangka tim yang kepayahan di babak pertama itu mampu menyamakan kedudukan 3-3 dengan Milan yang begitu superior? Sepak bola menunjukkan bahwa tak ada yang namanya ketidakmungkinan.
Setelahnya, para laki-laki berbaju merah di lapangan tampil tak kenal lelah meski terus digempur. Djimi Traore melakukan penyelamatan gemilang di muka gawang Liverpool, Jamie Carragher melakukan tekel yang membuat Kaka gagal mencetak gol, dan Dudek melakukan beberapa penyelamatan gemilang.
ADVERTISEMENT
Laga terus bergulir dan bergulir, melewati babak tambahan 2x15 menit dan berlanjut ke babak adu penalti. Sampai titik sini saja, apa yang dilakukan Liverpool sudah membuat semua penonton menggelengkan kepala tanda tidak percaya. Di tribune sendiri, nyanyian 'You'll Never Walk Alone' kembali bergema.
Sampai di babak adu penalti, Liverpool kesetanan dan Milan, entah mengapa, kehilangan kepercayaan diri. Serginho dan Andrea Pirlo gagal menunaikan tugas mereka sebagai algojo. Di kubu Liverpool, Hamann dan Djibril Cisse menendang dengan sempurna.
Di kesempatan ketiga, Jon Dahl Tomasson memperkecil skor untuk Milan, dan di satu sisi, Riise gagal memperlebar keunggulan Liverpool. Kemudian, Kaka dan Smicer selaku penendang keempat masing-masing tim berhasil menunaikan tugas mereka dengan baik.
ADVERTISEMENT
Dan tibalah kesempatan bagi penendang kelima Milan, Andriy Shevchenko. Striker asal Ukraina yang tampil buas sepanjang laga itu memilih menendang ke arah tengah. Dudek sudah salah langkah, tapi kakinya masih sigap untuk menghalau bola tendangan Shevchenko.
Laga berakhir. Liverpool menang 3-2 pada babak adu penalti dan mereka keluar sebagai juara Liga Champions. Final malam itu yang awalnya adalah mimpi buruk dan penuh kekelaman, berubah menjadi salah satu malam paling indah sepanjang sejarah tim.
Usai pertandingan, beragam frasa menggambarkan kemenangan Liverpool. Namun, semua sepakat bahwa 'Si Merah' malam itu benar-benar ajaib, mereka benar-benar berhasil meniadakan ketidakmungkinan.
Dan selepas pertandingan, momen itu terus dikenang dan sering disebut-sebut sebagai salah satu final Liga Champions paling menarik sepanjang sejarah, juga menjadi salah satu pertandingan sepak bola paling memorial yang pernah diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Comeback yang dilakukan oleh Liverpool juga acap kali disebut sebagai comeback terbaik yang pernah dilakukan sebuah tim sepak bola. Karena memang, apa yang dilakukan Gerrad dan kolega di Istanbul itu sedikit di luar nalar.
***
"That's one of the best night in my life."
Pemandu Anfield Tour saya berkata demikian ketika kami--rombongan turis yang tengah mengikuti tur di Anfield--berjalan menyusuri lorong yang di dindingnya terdapat gambar perayaan juara di Istanbul itu. Bagi sang pemandu, malam tersebut adalah malam yang tak mungkin dilupakan oleh masyarakat Liverpool dan siapa pun yang mendukung klub itu.
Bagi mereka, keajaiban di Istanbul adalah cerita yang tak boleh dilewatkan untuk dibagikan ke anak-cucu. Cerita dan ingatan indah itu akan selalu berkelindan dalam kepala mereka, dan tak akan pudar meski cerita-cerita indah lain hadir memepatkan kepala.
ADVERTISEMENT
Sebab, bagi Liverpool dan seantero orang-orang di dalamnya--termasuk para suporter di luar--apa yang terjadi di Istanbul 13 tahun lalu itu adalah sesuatu yang menunjukkan jati diri klub sepak bola bernama Liverpool Football Club. Dan malam seperti itu belum tentu akan terulang untuk kedua kali.
=====
*Nama pena penulis asal Amerika Serikat, Daniel Handler.