Naturalisasi Otavio Dutra: Antara Cinta Surabaya dan Kebutuhan Timnas

25 Juli 2019 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Comvalius (kiri) berduel dengan Dutra (kanan). Pada foto ini, Dutra masih memperkuat Bhayangkara FC. Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana
zoom-in-whitePerbesar
Comvalius (kiri) berduel dengan Dutra (kanan). Pada foto ini, Dutra masih memperkuat Bhayangkara FC. Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah Ketua Komisi X DPR RI, Djoko Udjianto, membacakan putusan soal status naturalisasi, Otavio Dutra tak kuasa menahan haru. Ia terisak-isak. Air mata mengalir di wajahnya.
ADVERTISEMENT
Tangisan itu amat wajar mengingat sudah enam bulan lamanya Dutra menunggu. Baru per Rabu (25/7/2019), sosok 36 tahun itu resmi menjadi Warga Negara Indonesia.
Sebelum mengajukan naturalisasi, Dutra menjalani periode karier lebih panjang lagi. Nyaris satu dekade pemain berdarah Brasil ini berkiprah di Tanah Air. Kurun itu, ada empat klub yang menjadi persinggahannya: Persipura Jayapura, Gresik United Bhayangkara FC, hingga terakhir Persebaya Jayapura.
Persipura dan Bhayangkara, yang disebutkan terakhir, menjadi titik tertinggi dalam karier Dutra. Bersama Bhayangkara FC, dia menjuarai Liga 1 2017. Empat tahun sebelumnya, dia menaiki podium juara Indonesia Super League dengan awak 'Mutiara Hitam'.
Meski begitu, justru di Persebaya ia merasa benar-benar kerasan. Bagi Dutra, Persebaya merupakan rumah dan Bonek ibarat keluarga.
ADVERTISEMENT
Bukanlah sikap mengherankan karena sebelum bergabung dengan Persipura, Dutra memulai kariernya di Indonesia bersama Persebaya. Total dua tahun dihabiskannya di sini. Terlebih, Persebaya pula yang punya peran penting mengurus proses naturalisasinya hingga ia resmi menjadi seorang WNI seperti sekarang.
Pemain Persebaya Surabaya, Otavio Dutraz (tengah) ketika menjalani rapat di Komisi X DPR RI terkait proses naturalisasi Foto: Alan Kusuma/kumparan
Omong-omong soal resminya Dutra mendapat status WNI, Persebaya jelas menjadi pihak yang diuntungkan. Hal tersebut membuat mereka tak mesti melepas pemain asing agar kuota tak berlebih pasca kedatangan David Da Silva.
Namun, Persebaya bukan satu-satunya yang beruntung di sini. PSSI, di sisi lain, juga demikian. Rampungnya proses naturalisasi Dutra memungkinkan federasi bisa memanggil sang pemain untuk memperkuat Timnas Indonesia. Inilah yang memang menjadi pembicaraan sejak lama.
Apakah Dutra Sosok yang Tepat untuk Timnas Indonesia?
ADVERTISEMENT
Isu tentang naturalisasi Otavio Dutra mulai mencuat sejak Simon McMenemy ditunjuk sebagai pelatih Timnas Indonesia akhir 2018 lalu. Sosok berkebangsaan Skotlandia inilah yang tampaknya mengusulkan agar sang pemain di-WNI-kan.
Artinya, McMenemy memang sudah punya rencana buat sang pemain. Apalagi mereka pernah bekerja sama saat masih di Bhayangkara. Dan melihat skema dan pendekatan bermain yang sejauh ini ia bawa, hal tersebut kemungkinan memang benar.
Sejak melatih Indonesia, McMenemy lebih sering menerapkan skema dasar 3-4-3, yakni dalam uji tanding menghadapi Myanmar dan Yordania. Sementara, formasi 4-4-2 cuma sekali menjadi pilihan 'Garuda' saat melawan Vanuatu.
Pelatuh timnas Indonesia Simon McMenemy usai pertandingan persahabatan melawan Vanuatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (15/6). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam skema itu, sebagaimana skema tiga bek, trio di jantung pertahanan memiliki peran penting. Umumnya, kombinasi di antara ketiganya harus memiliki kecepatan, unggul bola-bola atas, dan piawai melepaskan operan --selain tentu saja kemampuan bertahan baik yang memang menjadi dasar seorang bek.
ADVERTISEMENT
Simak saja Inggris. Pada Piala Dunia 2018, tiga bek tengah mereka diisi oleh John Stones yang unggul dalam penguasaan bola, Harry Maguire yang jago 'terbang', serta Kyle Walker yang punya kecepatan. Nama terakhir sebetulnya seorang full-back dan itu menjelaskan dari mana kecepatannya berasal.
Lantas, McMenemy coba memanggil nama-nama macam Hansamu Yama, Achmad Jufriyanto, Yanto Basna, hingga Manahati Lestusen. Keempat nama ini dapat dibilang hanya memenuhi dua dari tiga kriteria di atas.
Sementara dalam hal lain seperti kemampuan duel bola-bola atas, mereka cenderung medioker. Walaupun, Hansamu dan Yanto memiliki modal postur di atas 180 sentimeter.
Pemain Timnas Indonesia, Hansamu Yama Pranata saat bertanding melawan Vanuatu di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (15/6). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dengan kondisi demikian, menghadapi tim-tim dari Asia Tenggara mungkin masih bisa dipaksakan. Terlebih, kemampuan keempatnya dalam bertahan terhitung di atas rata-rata.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, saat bersua tim-tim dari Timur Tengah, yang kebanyakan memiliki pemain menjulang, cerita bisa berbeda.
Simaklah saat Indonesia bertemu Yordania. Kendati Evan Dimas dan kolega sudah berusaha mengurangi pelanggaran agar tak banyak situasi set piece, Yordania masih saja mampu menciptakan sejumlah peluang melalui bola-bola atas.
Bahkan, gol pertama yang mereka ciptakan berasal dari skenario demikian. Saat itu, Hansamu tak mampu menjangkau umpan panjang pemain Yordania yang mengarah Baha' Faisal. Faisal pun lantas berdiri pada posisi bebas sehingga bisa dengan gampang menceploskan bola ke gawang Andritany Ardhiyasa.
Dari sini, terlihat bahwa Indonesia, khususnya McMenemy, membutuhkan setidaknya satu pemain yang tingginya menjulang. Inilah lakon yang bisa diemban Dutra (190 cm).
Terlebih, Indonesia bakal melakoni Pra-Piala Dunia 2022 dan salah satu lawan yang dihadapi adalah Uni Emirat Arab, negara yang beberapa pemainnya bertinggi di atas 190 cm. Ahmed Ismail adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tentu saja Dutra tak dianggap layak memperkuat Timnas cuma karena keunggulannya dalam bola-bola atas serta tingginya yang mencapai 190 cm. Toh, jika memang begitu, McMenemy cukup memanggil nama-nama semisal Abdul Rahman Sulaeman (PSM Makassar) atau bahkan Mohamadou Alhadji, bek naturalisasi yang kini bermain di PSMS Medan.
Karena itu, jelas ada hal lain yang juga dilihat McMenemy dari sosok Dutra. Itu, salah satunya, adalah ketenangan yang dimiliki mantan pemain Persipura tersebut.
Ketenangan Dutra ini sendiri paling tampak saat ia tengah menguasai bola --selain tentunya saat mengeksekusi penalti yang memang kerap ia emban. Inilah yang menjadi keunggulan lain yang Dutra miliki dan itulah yang tampak selama ia bermain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pesepak bola Persebaya Surabaya Otavio Dutra (kanan) berbut bola di udara dengan pesepak bola Arema FC Hamka Hamzah (kiri) pada laga final leg 1 Piala Presiden 2019 di Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (9/4). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Dengan pendekatan bermain McMenemy yang biasa mengalirkan bola dari belakang, entah itu via umpan panjang atau pun pendek, ini jelas sangat menguntungkan. Apalagi, saat ini bek tengah yang biasa dipanggil Timnas macam Jupe atau Hansamu, misalnya, tak bisa benar-benar diandalkan pada aspek tersebut.
Mereka memang termasuk piawai dalam melepaskan operan. Luis Milla, pada 2018 lalu bahkan sempat memuji kemampuan Hansamu, sedangkan Jupe juga cukup jitu lantaran biasa bermain sebagai gelandang bertahan kala masih di Sriwijaya FC.
Namun, kemampuan-kemampuan tersebut seakan sirna saat mendapat pressing ketat lawan. Soal ini, lagi-lagi kita mesti memutar ulang rekaman laga melawan Yordania beberapa waktu silam sebagai contoh.
Saat itu, Yordania menerapkan pressing yang begitu ketat. Hal inilah yang kemudian membuat para pemain skuat 'Garuda', terutama lini tengah dan lini pertahanan, kewalahan. Mereka tampak tak siap dan sering kali melakukan kesalahan karena pressing tersebut.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah yang melibatkan Jupe pada menit ke-28. Menerima operan Andritany di dalam kotak penalti, pemain Persib Bandung itu sempat menahan bola tersebut selama beberapa detik.
Tatkala hendak mengubah arah, sialnya, tiba-tiba dua pemain Yordania menekan hingga akhirnya bola terlepas. Beruntung, Andritany langsung sigap melakukan cover.
Skuad Timnas Indonesia saat melawan Yordania Foto: Instagram @officialpssi
Kesalahan-kesalahan semacam itu pada pertandingan tersebut memang sering terjadi. Nah, dengan Dutra, kemungkinan untuk dikurangi atau bahkan dihindari sangat besar. Alasannya, ya, itu tadi, dia merupakan bek tengah yang memiliki ketenangan bermain yang amat baik.
Masalahnya, Dutra kini telah berusia 36 tahun, termasuk uzur untuk seorang pesepak bola. Maka, jelas akan ada sejumlah kekurangan yang secara perlahan terlihat.
Kecepatan yang mulai berkurang hingga persoalan cedera adalah beberapa di antaranya. Musim ini saja, Dutra mesti absen pada empat pertandingan Persebaya karena cedera yang diderita.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu diingat pula bahwa Timnas Indonesia seakan 'kurang bersahabat' bagi pemain naturalisasi yang berposisi di lini pertahanan. Entah apa alasannya, tetapi selama ini begitulah yang tampak. Tengoklah Bio Paulin serta Victor Igbonefo.
ADVERTISEMENT
Khusus Igbonefo, ia bahkan sempat dicoba Luis Milla jelang Asian Games 2018. Sayangnya, performa mantan pemain Persipura itu tampaknya kurang memuaskan sang pelatih sehingga tak kembali dipanggil pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Nah, fakta-fakta semacam inilah yang mesti menjadi warning buat Dutra.
Namun, apa pun itu, kita jelas berharap agar hal tersebut tak turut terjadi pada sang pemain. Omong-omong, selamat menjadi WNI, Cak!