Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Nelangsa H. Dimurthala, Potret Pilu Sepak Bola Banda Aceh
4 Desember 2017 11:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Dua hari sudah saya berada di Aceh. Selama itu pula matahari tampak enggan memperlihatkan diri. Sepertinya ia mengalah pada hujan yang selalu saja datang.
ADVERTISEMENT
Ya, hawa di pusat kota Banda Aceh memang sejuk menjurus dingin. Seorang penjaga tempat saya bermalam--tentu saja penduduk lokal--menyebut kalau pada medio Desember, langit Aceh lebih banyak bermuram durja.
Namun, mendung bukan menjadi penghalang bagi saya untuk melangkahkan kaki menuju markas klub Liga 2 Persiraja Banda Aceh yakni Stadion H. Dimurthala di Lampineung, Banda Aceh, Aceh. Kebetulan, saya sudah terlebih dahulu membuat janji dengan seorang kawan baru bernama Said.
Sesaat sampai di tujuan, dari kejauhan tampak seorang laki-laki dengan perawakan kurus telah menanti di pintu depan stadion. Saya yakin dia adalah Said, dan ternyata dugaan saya benar.
Setelah berjabat tangan, Said lantas langsung mengajak saya masuk ke dalam stadion. Kami memulai perjalanan ini dengan mengitari sisi bawah stadion.
ADVERTISEMENT
"Jangan kaget, ya," kata Said begitu melangkahkan kaki melewati pintu stadion berkarat itu.
Ucapan "jangan kaget" itu ternyata benar adanya. Tak dilebih-lebihkan. Dahi saya langsung mengernyit begitu menjejakkan kaki di tribun bawah. Bagaimana tidak, sejauh mata memandang, kesan stadion tua tanpa adanya perawatan sehingga terlihat kumuh, begitu jelas kentara.
Sejak diresmikan pada 28 Juli 1957 silam, stadion berkapasitaskan 20 ribu kursi tempat duduk itu nyaris tak pernah tersentuh renovasi. Kursi penonton yang berlapiskan kayu dan hanya beralaskan besi berkarat sebagai penopangnya, sejatinya sudah tak lagi layak disebut sebagai tribune penonton.
Kondisi lapangan apalagi. Tanah bergelombang serta rumput yang tumbuh tak merata terlihat jelas--layaknya kebanyakan stadion di Indonesia lainnya.
ADVERTISEMENT
Jika intensitas hujan tengah tinggi, maka seketika itu pula lapangan Dimurthala berubah menjadi kolam, menyusul kondisi drainase yang tak memadai. Bahkan, untuk bisa digunakan, harus menunggu dua hingga tiga jam untuk menunggu air surut.
Kembali mengitari stadion, saya melihat lebih jauh ke sisi bawah dari tribune penonton. Pemandangan gelap nan menyeramkan begitu terasa. Di bawah tribune, terbentuk sisi ruang kosong yang berisi tiang-tiang besi tua penopang tempat duduk.
Di depan sisi ruang gelap itu berjejer beberapa ruangan dengan lima pintu. Satu ruangan wasit dan empat ruang digunakan untuk penginapan pemain Persiraja jika akan melakoni laga tandang.
Said lantas mengajak saya untuk menemui seseorang. Di sekat bangku VIP, terlihat seorang pria berbaju merah bercelana olahraga hitam plus sepatu bola, telah menanti kedatangan kami. Namanya Akhyar Ilyas, yang tak lain adalah pelatih Persiraja.
ADVERTISEMENT
Akhyar yang sudah menangani tim berjuluk "Lantak Laju" ini sejak 2014 lalu itu, membuka obrolan seputar kisahnya menangani Persiraja serta sejarah dari H. Dimurthala.
"Stadion ini awalnya yang mendirikan atas sertifikat nama Dimurthala. Beliau ini legenda di persepakbolaan Aceh. Tetapi, sejak beliau wafat, stadion ini dialihkan menjadi milik Pemerintah Kota Aceh dan memang ada tanda terimanya dengan Pemerintah, bahwa nantinya akan dikelola oleh Pemerintah," ujar Akhyar.
"Jadi yang punya stadion ini, ya, Pemkot (Pemerintah Kota Banda Aceh). Tetapi, ya, beginilah keadaannya. Kami masih bersyukur masih ada yang mengelola, mengurus sehingga masih bisa digunakan menggelar pertandingan."
"Alhamdulillah, sejauh ini, masih layak dalam tanda kutip, ya, untuk pakai," katanya sembari menunjukan papan angka yang terlihat tak lagi terurus dari kejauhan.
ADVERTISEMENT
Said lantas ikut berkisah bagaimana stadion itu begitu "angker" ketika menggelar pertandingan. Sebab, kata Said, setiap melakoni laga kandang, Persiraja nyaris tak pernah kalah.
"Mungkin karena jarak tribune penonton yang dekat ke kursi pemain dan ofisial ini, yang membuat mental lawan takut," ucapnya sembari tertawa. "Padahal kalau secara permainan, saya lihat biasa-biasa aja."
"Tapi, suporter di sini nggak pernah perlakukan tim lawan dengan kasar. Rusuh pun jarang. Bagaimana mau rusuh, kalah pun kami jarang," kata Said terkekeh.
Sayang, Persiraja yang pada musim lalu bermain di Liga 2 tak mampu lolos ke babak 16 besar setelah hanya menempati peringkat ketiga Grup 1 di bawah PSPS Riau dan PSMS Medan.
ADVERTISEMENT
Catatan apik Persiraja tercipta tatkala bermain di kandang dengan mengantongi lima kemenangan dan satu hasil seri. Dan, PSPS Riau-lah yang mampu menahan imbang Persiraja ketika melakoni laga kandang pada pertengahan Agustus lalu.
Akhyar pun kembali berkisah menyoal kondisi stadion yang menurutnya sudah patut direnovasi.
"Insya Allah masuk 2018 nanti, akan ada pihak swasta berbadan hukum yang akan merenovasi stadion kami ini. Karena sudah selayaknya, memang, puluhan tahun tidak lagi kena poles."
"Lagipula untuk dijadikan kandang musim depan juga sulit. Pertama, kondisi lapangan kalau sudah hujan, beceknya mintak ampun. Kalau kondisinya kering, masih okelah, tetapi kan kita semua tidak pernah tahu cuaca akan seperti apa."
"Kemudian soal lampu juga. Sebenarnya untuk sekadar menerangi pertandingan malam hari, ya, bisa saja, tetapi lihat sendirilah bagaimana kondisinya dengan dua lampu stadion yang luxnya belum lagi memadai."
ADVERTISEMENT
Untuk itu, memasuki musim kompetisi 2018, lanjut Akhyar, Persiraja resmi berpindah ke Stadion Harapan Bangsa di Lhong Raya, Banda Aceh, Aceh.
"Semoga stadion ini nanti benar terealisasi pembangunannya. Karena kan bisa juga nanti digunakan untuk latihan Persiraja atau bisa juga nanti digunakan untuk menggelar turnamen-turnamen antar klub di Aceh juga bisa."
"Sangat disayangkan juga kalau tidak dirawat dan dibenahi karena stadion ini memiliki sejarah. Dan ikon Persiraja ini, ya, stadion Dimurthala ini lah," kata Akhyar.
Perbincangan saya pun harus berakhir karena Akhayar sudah dinanti oleh anak asuhnya untuk bersiap bertolak ke Sumatera Barat. Di kota Padang, Persiraja akan melakoni gelaran Walikota Cup.
Saya pun kemudian diajak Said untuk berjalan ke luar stadion. Cuaca yang sedikit gerimis menemani langkah kami. Kemudian di pintu keluar stadion Said berujar:
ADVERTISEMENT
"Lanjut di tempat kopi saja, kawan."