news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Piala Dunia 1994: Turnamen Milik Hristo Stoichkov

15 Mei 2018 20:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stoichkov di Kualifikasi Piala Dunia 1994. (Foto: AFP/Pascal Guyot)
zoom-in-whitePerbesar
Stoichkov di Kualifikasi Piala Dunia 1994. (Foto: AFP/Pascal Guyot)
ADVERTISEMENT
Dari 2.371 gol yang sudah tercipta di sejarah Piala Dunia, hanya sedikit yang keindahannya bisa mengalahkan gol milik Hristo Stoichkov ke gawang Jorge Campos pada 1994 silam. Meski turnamen edisi 1994 itu akhirnya menjadi milik Brasil, Stoichkov dari Bulgaria-lah yang benar-benar mencuri perhatian di sana.
ADVERTISEMENT
Hari itu, 2 Juli 1994, Bulgaria dan Meksiko berjumpa di babak 16 besar. Meksiko sebelumnya sudah pernah menjejak babak ini. Bahkan, saat menjadi tuan rumah pada edisi 1970 dan 1986, El Tri telah sukses melaju sampai ke perempat final. Bermain di negara tetangga, di hadapan lebih dari 71 ribu pasang mata, seharusnya ini adalah partai yang menguntungkan buat Alberto Garcia Aspe dan kawan-kawan.
Sebaliknya, Bulgaria adalah debutan. Bukan debutan di Piala Dunia, tentunya, karena sebelumnya pun mereka sudah pernah lima kali ikut serta di turnamen tersebut (1962 s/d 1974 dan 1986). Akan tetapi, rekor negara Eropa Timur itu luar biasa buruk. Sebelum edisi 1994, Bulgaria belum sekali pun meraih kemenangan di putaran final Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, Piala Dunia 1994 adalah turnamen yang mengejutkan. Sebenarnya, selain Bulgaria, ada beberapa negara lain yang berhasil mengguncang kemapanan, seperti Rumania yang dipimpin Gheorghe Hagi serta Nigeria dan Arab Saudi yang lolos ke fase gugur meski berstatus debutan. Walau demikian, tak ada tim gurem yang pencapaiannya seperti Bulgaria.
Dalam wawancara dengan situs resmi FIFA pada 2015 silam, Stoichkov berkisah soal bagaimana besarnya tekanan yang dihadapi Tim Nasional (Timnas) Bulgaria kala itu. Apalagi, pada pertandingan pertama di Grup D menghadapi Nigeria, mereka kalah telak 0-3.
Kelolosan Bulgaria ke Piala Dunia 1994 sendiri boleh dibilang berbau keberuntungan. Pada partai penentuan di kualifikasi, mereka harus menghadapi Prancis yang bermaterikan nama-nama macam Eric Cantona dan David Ginola di Parc des Princes.
ADVERTISEMENT
Pada pertandingan itu, Prancis butuh hasil imbang, sementara Bulgaria butuh kemenangan. Cantona membawa Prancis unggul saat laga memasuki menit ke-60. Lima menit berselang, Emil Kostadinov menyamakan skor untuk Bulgaria.
Petaka sepertinya bakal menghampiri Bulgaria ketika Prancis yang cuma butuh satu poin itu justru kian agresif menyerang. Salah satu buktinya adalah ketika pelatih Gerard Houllier kala itu memasukkan Ginola untuk menggantikan Jean-Pierre Papin. Ginola kemudian terlibat dalam berbagai serangan Prancis dari sisi sayap.
Memasuki menit ke-90, Ginola mendapat sodoran bola tendangan bebas yang diteruskannya dengan umpan silang. Celakanya, alih-alih mengarah pada Cantona yang menunggu di kotak penalti, umpan itu justru jatuh di kaki Emil Kremenliev. Bek Bulgaria itu kemudian meneruskan bola kepada rekannya di depan, Lubo Penev.
ADVERTISEMENT
Penev tahu bahwa Bulgaria kehabisan waktu. Tanpa pikir panjang, dia melepas umpan panjang kepada Kostadinov yang berlari kencang di sisi kiri pertahanan Prancis. Seperti dituntun oleh nasib, bola jatuh persis di kaki kanan Kostadinov. Tak lama kemudian, setelah dikontrol dan digiring sejenak, bola ditembakkan kuat-kuat ke gawang Bernard Lama.
Tak sampai semenit, Piala Dunia 1994 lenyap dari genggaman Prancis. Bulgaria pun berhak untuk bermain di turnamen itu untuk kelima kalinya.
Kekalahan dari Nigeria sempat membuat para pemain Bulgaria waswas. Mereka khawatir akan kembali mengulang 'prestasi' para pendahulunya. Namun, seperti yang dituturkan Stoichkov, motivasi para pemain Bulgaria lebih besar dari kekhawatiran itu. Mereka pun segera bangkit dan sukses menghantam tim debutan Yunani 4-0 pada laga kedua. Peluang Bulgaria pun mulai terbuka, terutama setelah Nigeria dikalahkan oleh Argentina.
ADVERTISEMENT
Bulgaria benar-benar menunjukkan kelasnya pada laga penentuan menghadapi Argentina. Stoichkov mencetak gol pembuka pada menit ke-61. Namun, empat menit berselang, bek kiri Tsanko Tsvetanov diusir oleh wasit Neji Jouini dari Tunisia. Bermain dengan 10 orang nyatanya tak membuat Bulgaria melemah. Mereka mampu bertahan dari serbuan Argentina yang dipimpin Claudio Caniggia, Gabriel Batistuta, dan Abel Balbo.
Malah, Bulgaria akhirnya bisa menambah keunggulan. Saat babak kedua sudah memasuki injury time, Nasko Sirakov berhasil mengoyak jala gawang Luis Islas lewat sundulan kepala. Bulgaria pun lolos sebagai runner-up grup, di bawah Nigeria yang unggul selisih gol.
Dari sana, Bulgaria lantas dipertemukan dengan Meksiko. Hanya enam menit setelah sepak mula, Stoichkov kembali mencetak gol. Gol ke gawang Campos itu adalah gol keempat yang dicetak sang bomber sepanjang turnamen dan ini tidak akan menjadi gol terakhirnya.
ADVERTISEMENT
Stoichkov melakukan selebrasi. (Foto: Twitter/FIFA)
zoom-in-whitePerbesar
Stoichkov melakukan selebrasi. (Foto: Twitter/FIFA)
Berawal dari kepungan Meksiko yang gagal, seorang pemain Bulgaria memberi umpan menyusur tanah yang mengarah ke sisi kiri penyerangan. Di sisi itu, Stoichkov sedang berlari kencang; mirip dengan apa yang dilakukan Kostadinov pada laga melawan Prancis. Lagi-lagi, seperti sudah dituntun oleh takdir, bola dengan mulus mendarat di kaki-kaki lincah Stoichkov.
Stoichkov kemudian terus melaju tanpa bisa dihentikan bek Meksiko yang bak kehabisan napas. Tanpa ampun, bola dihujamkannya keras-keras ke tiang dekat gawang Campos. Campos, kiper eksentrik Meksiko itu, hanya bisa terpaku melihat roket kiriman Stoichkov menggetarkan jala gawangnya.
Laga itu sendiri akhirnya berakhir dengan kemenangan Bulgaria lewat adu penalti. Anak-anak asuh Dimitar Penev itu pun melaju ke perempat final untuk berhadapan dengan juara bertahan Jerman.
ADVERTISEMENT
***
Tak seperti Bulgaria, Stoichkov tidak datang ke Piala Dunia dengan kepala tertunduk. Saat itu, dia merupakan salah satu pemain terbaik dunia. Buktinya jelas. Bersama Barcelona, dia kala itu telah memenangi empat La Liga, dua Supercopa de Espana, satu European Cup, dan satu Piala Super Eropa. Di level individual, pemain kelahiran 1966 itu sudah mengoleksi dua trofi Bola Perak dari FIFA dan satu Sepatu Emas Eropa.
Namun, justru inilah yang membuat beban yang ada di pundak Stoichkov terasa berlipat-lipat kali lebih berat. Ya, ada Yordan Letchkov di sana. Ada pula Kostadinov serta Krassimir Balakov. Namun, tak seorang pun dari mereka adalah Stoichkov.
Stoichkov kala membela Barcelona. (Foto: Dok. FC Barcelona)
zoom-in-whitePerbesar
Stoichkov kala membela Barcelona. (Foto: Dok. FC Barcelona)
Stoichkov datang ke Barcelona pada 1990 atas permintaan khusus Johan Cruyff. Pada musim 1988/89, saat masih berseragam CSKA Sofia, Stoichkov membuat Cruyff terkesan. Musim itu, CSKA bertemu Barcelona di semifinal Piala Winners.
ADVERTISEMENT
Barcelona, ketika itu, sudah punya dua trofi Piala Winners di kabinetnya. Sementara, CSKA adalah kuda hitam. Mereka memang sebelumnya sudah pernah melaju ke semifinal European Cup, tetapi itu sudah terjadi tujuh musim sebelumnya. Stoichkov dan sebagian besar penggawa CSKA di musim 1988/89 itu belum bermain kala itu. Maka, CSKA yang dihadapi Barcelona itu adalah CSKA yang benar-benar baru.
Pada akhirnya, Barcelona memang kelewat tangguh untuk CSKA. Dalam dua leg, mereka selalu menang hingga akhirnya lolos ke final dengan agregat 6-3. Di final pun mereka menang atas Sampdoria untuk menggamit trofi Piala Winners ketiganya. Akan tetapi, Stoichkov meninggalkan kesan mendalam bagi Cruyff lewat tiga golnya ke gawang Andoni Zubizarreta.
"Aku mau dia. Dia adalah seorang genius," kata Cruyff tentang Stoichkov, seperti yang dituliskan Adam Hurrey di situs Unibet.
ADVERTISEMENT
Keinginan Cruyff itu baru tercapai pada musim panas 1990. Berbekal cek senilai 3 juta euro, Barcelona memboyong Stoichkov ke Camp Nou.
Soal kemampuan, Stoichkov tak perlu dipertanyakan. Selama enam musim membela CSKA, dia berhasil mencetak 89 gol dari 132 penampilan. Akan tetapi, ada satu cacat yang dimiliki pemain kidal ini, yaitu temperamen yang meledak-ledak.
Pada musim pertamanya di CSKA setelah ditransfer dari Hebros, Stoichkov terlibat dalam sebuah insiden besar yang membuat dirinya mendapat hukuman larangan bermain seumur hidup. Ketika itu usia Stoichkov baru 19 tahun. Dalam laga final Piala Bulgaria 1985 menghadapi Levski Sofia, dia terlibat perkelahian massal.
Perkelahian itu tak cuma membuat Stoichkov dihukum seumur hidup, tetapi juga membuat CSKA kehilangan dukungan dari militer Bulgaria. Hukuman bagi Stoichkov itu akhirnya dipotong menjadi satu tahun. Meski demikian, setelah kembali pun dirinya tetap dihukum dengan cara dicadangkan tanpa pernah bermain dalam 14 pertandingan.
ADVERTISEMENT
Cruyff tahu itu, tetapi dia tetap ngotot mendatangkan Stoichkov. Pada El Clasico pertama Stoichkov, Cruyff pun kena batunya. Pada laga itu, Stoichkov berbuat ulah dengan menginjak kaki wasit. Hasilnya, hukuman larangan bermain dua bulan pun dijatuhkan RFEF. Meski demikian, Cruyff tetap percaya kepadanya dan menganggap bahwa kemampuan bermain Stoichkov sepadan dengan kontroversinya.
Kepercayaan Cruyff itu berbuah manis. Dengan kecepatan, agresivitas, teknik menggiring bola, dan kemampuan penyelesaian akhirnya, Stoichkov menjadi ujung tombak dari Dream Team asuhan Cruyff. Di tim itu, Stoichkov begitu dimanjakan oleh umpan-umpan ajaib Michael Laudrup dan kerja keras Jose Mari Bakero. Trofi European Cup pertama Barcelona pun diraih pada 1992. Atas segala kehebatannya itu, dia dijuluki El Pistolero oleh para suporter.
ADVERTISEMENT
Kehebatan Stoichkov bersama Barcelona makin menjadi ketika Romario didatangkan manajemen Blaugrana pada 1993. Kedua pemain ini pun segera menjadi karib meski punya sifat berbeda -- "Aku suka bersenang-senang, dia suka tidur," kata Stoichkov tentang kontras kepribadian ini. Pada musim 1993/94, tandem lini depan ini berhasil mempersembahkan gelar La Liga serta membawa Barcelona ke final Liga Champions dan Copa del Rey.
Dengan modal seperti inilah Stoichkov berangkat ke Amerika Serikat untuk memimpin Bulgaria mengenyahkan kutukan Piala Dunia-nya. Di 'Negeri Paman Sam', Stoichkov menunjukkan bahwa bagi pemain yang benar-benar spesial, kehebatan di level klub bisa dengan mudah direplikasi di level internasional.
***
Dua penalti ke gawang Yunani membuka rekening gol Stoichkov di Piala Dunia 1994. Setelahnya, pemain bertubuh 178 sentimeter ini seperti tak bisa dihentikan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi Argentina, Stoichkov menggunakan kecepatannya untuk mengalahkan kaki-kaki renta para pemain belakang Albiceleste. Lewat sebuah serangan balik, Kostadinov menyodorkan bola kepada Stoichkov yang tengah berlari di antara tiga bek Argentina. Stoichkov memenangi perlombaan tersebut dan dengan sentuhan pertamanya, dia sukses membuat Islas tak berdaya.
Gol ke gawang Meksiko, lagi-lagi, menunjukkan kelebihan Stoichkov dalam hal kecepatan dan insting membunuh. Lalu, gol keempatnya di sepanjang turnamen hadir pada laga perempat final menghadapi Jerman.
Stoichkov merayakan gol ke gawang Jerman. (Foto: Twitter/FIFA)
zoom-in-whitePerbesar
Stoichkov merayakan gol ke gawang Jerman. (Foto: Twitter/FIFA)
Narasi laga melawan Jerman di East Rutherford itu mirip dengan narasi-narasi keberhasilan Bulgaria sebelumnya. Mereka harus tertinggal lebih dulu untuk kemudian melakukan comeback dan merengkuh kejayaan. Lothar Matthaeus, lewat sepakan penaltinya, berhasil mengecoh kiper Bulgaria, Borislav Mikhailov, pada awal-awal babak kedua.
ADVERTISEMENT
Namun, saat laga tersisa 15 menit, Stoichkov mengangkat Bulgaria. Stoichkov mengeksekusi tendangan bebas dengan kaki kiri. Kalung emas yang melingkar di lehernya terlihat jelas ketika dia melakukan tendangan itu. Bola meluncur mulus masuk ke gawang Jerman tanpa bisa diantisipasi sedikit pun oleh kiper Bodo Illgner.
Gol Stoichkov inilah yang kemudian memacu Bulgaria untuk membalikkan kedudukan. Tiga menit berselang, Letchkov dengan kepala botaknya itu sukses mencetak salah satu gol sundulan paling masyhur dalam sejarah Piala Dunia. Bulgaria menutup laga dengan kemenangan 2-1 dan lolos ke semifinal untuk menantang Italia.
Sayang, Italia kelewat tangguh bagi Bulgaria pada laga ini. Dipimpin Roberto Baggio yang mencetak dua gol, Azzurri akhirnya sukses menyingkirkan Bulgaria. Namun, bukan Bulgaria namanya kalau tidak melawan. Jelang berakhirnya babak pertama, Stoichkov menaklukkan Gianluca Pagliuca dari titik putih. Hanya, gol itu pada akhirnya tak cukup untuk menyelamatkan The Lions.
ADVERTISEMENT
Bulgaria boleh saja gagal ke final, tetapi bagi semua orang, itu adalah capaian fenomenal. Stoichkov sendiri mengakhiri turnamen dengan status topskorer dengan enam golnya, meski gelar itu kudu dia bagi bersama penyerang Rusia, Oleg Salenko.
Lalu, menyusul penampilan cemerlangnya di Piala Dunia 1994, Stoichkov lantas diganjar dengan penghargaan Ballon d'Or. Dalam pidato penerimaan gelar tersebut, Stoichkov menunjukkan ke-Stoichkov-annya dengan berkata, "Hanya ada dua Kristus. Yang satu ada di surga, yang satunya bermain untuk Barcelona."
Namun, arogansi khas Stoichkov itu bakal segera meredup setelah penghargaan tersebut. Hubungannya dengan Romario memburuk sehingga penyerang asal Brasil itu akhirnya hengkang. Stoichkov sendiri akhirnya angkat kaki ke Parma pada 1995 hanya untuk kemudian kembali ke Barcelona semusim berikutnya.
ADVERTISEMENT
Di Parma, Stoichkov gagal bersinar dan sekembalinya ke Barcelona pada musim 1996/97, dia juga gagal kembali ke performa terbaik. Keberadaan Ronaldo membuat sinar Stoichkov makin redup hingga akhirnya, pada akhir musim 1997/98, di usia yang sudah menginjak angka 32, Stoichkov mudik ke CSKA.
Setelahnya, Stoichkov menjadi pengelana. Gagal mengangkat CSKA di era keduanya, Stoichkov kemudian pindah ke Arab Saudi untuk memperkuat Al Nassr. Namun, di sana dia cuma bertahan setengah musim karena kemudian, dia menerima tawaran Kashiwa Reysol di Jepang. Konon, untuk mendapatkan jasa Stoichkov, Kashiwa harus mengeluarkan gaji senilai 2 juta poundsterling semusimnya.
Satu musim di Jepang, Stoichkov bertualang ke Amerika Serikat untuk memperkuat Chicago Fire dan DC United. Meski sempat meraih satu gelar (US Open Cup) bersama Fire pada 2000, masa-masa Stoichkov di Amerika ini justru diingat karena aksi tak terpujinya. Pada musim 2003, saat membela DC United, Stoichkov mematahkan kaki seorang pemain universitas dan sampai dituntut ke pengadilan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada 2003 itu pulalah Stoichkov menyatakan pensiun di usia 37 tahun. Sampai 2013 lalu, pemain binaan Akademi Maritsa Plovdiv ini terus menjajal karier sebagai pelatih, meski hampir semuanya berakhir dengan kegagalan. Kegagalan-kegagalan itu kemudian membuat Stoichkov bantin setir menjadi komentator untuk saluran televisi Amerika, Univision Deportes, sampai sekarang.