Piala Dunia 2002: Korsel Mengesankan, Korsel Memalukan

17 Mei 2018 17:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selebrasi Ahn Jung Hwan (Foto: FIFA)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Ahn Jung Hwan (Foto: FIFA)
ADVERTISEMENT
Piala Dunia 2002, Piala Dunia yang spesial. Sudah pertama kali di gelar di Asia, Piala Dunia itu digelar di dua negara pula, yakni Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Negara yang disebut belakangan kemudian jadi omongan; bukan cuma karena pencapaian mereka, tetapi juga karena kontroversi.
ADVERTISEMENT
Jepang sendiri baru melakoni Piala Dunia perdananya pada edisi 1998, tapi tidak dengan Korsel. Jika melihat catatan sejarah, Korsel sudah berpartisipasi di Piala Dunia pada tahun 1954. Sejarah itu berlanjut manis.
Terhitung sejak Piala Dunia 1986 Korsel tidak pernah absen di Piala Dunia --kendati hanya mentok di fase grup. Baru pada Piala Dunia 2002 itu Korsel mendapatkan hasil lumayan. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, mereka lolos dari fase grup.
Hebatnya, Korsel lolos dengan status juara grup. Padahal pesaing-pesaing mereka di grup tersebut terbilang lumayan: Portugal, Amerika Serikat, dan Polandia. Ya, Portugal, tim yang waktu itu masih dihuni generasi emas mereka seperti Luís Figo, Sergio Conceicao, dan Vitor Baia.
Oleh Korsel, generasi emas Portugal itu dibikin bertekuk lutut 0-1. Tim besutan Antonio Oliveira itu kemudian tersingkir karena cuma mengoleksi tiga angka, satu poin lebih sedikit dari Amerika Serikat yang akhirnya jadi runner-up grup.
ADVERTISEMENT
Bagi Korsel, pencapaian mereka di Piala Dunia 2002 turut mengangkat sepak bola Asia. Mereka, bersama Jepang --yang lolos sampai babak 16 besar--, jelas punya pencapaian yang lebih baik ketimbang Arab Saudi (menjadi juru kunci Grup E dan sempat dicukur Jerman 0-8) dan China (jadi juru kunci Grup C tanpa mendapatkan satu poin pun).
Setelah fase grup, Korsel melaju sampai semifinal usai menyingkirkan lawan-lawan seperti Italia dan Spanyol. 'Tim Negeri Ginseng' baru terhenti setelah ditaklukkan Jerman 0-1 dan mengakhiri turnamen dengan menempati posisi empat --setelah kalah 2-3 dari Turki pada perebutan tempat ketiga.
Apesnya buat Korsel, pencapaian terbaik mereka selama Piala Dunia itu tak lepas dari sederet kontroversi --dan kontroversi-kontroversi inilah yang selalu diingat dari perjalanan Korsel 16 tahun silam.
ADVERTISEMENT
---
Eopsin, dalam legenda Korea, dikenal sebagai dewa yang bertugas untuk melindungi rumah dari gangguan orang-orang asing. Ia sedikit spesial karena penjelmaannya berupa binatang, alih-alih sebagai benda mati.
Dengan tampil di rumah sendiri, dukungan suporter pun jadi salah satu elemen penting bagi Korsel. Namun, dukungan itu rupanya tidak cuma hadir dari suporter, tetapi juga mewujud pada seorang wasit bernama Byron Moreno. Wasit asal Ekuador itu menjelma sebagai Eopsin untuk Korsel. Dari peluit Moreno-lah langkah cemerlang Korsel berawal.
Semua bermula pada sebuah hari Daejeon World Cup Stadium, 18 Juni 2002. Sekitar 38.588 orang yang memadati stadion tersebut menjadi saksi bagaimana marahnya Italia melihat sederet perlakuan dari Moreno.
ADVERTISEMENT
Stadion itu benar-benar jadi neraka buat Gli Azzurri. Di tribune, pendukung Korsel dengan tega memasang spanduk 'Again 1966' untuk mengingatkan Italia pada memori kelam Piala Dunia 1966. Kala itu, Alessandro Mazzola dkk. angkat koper di babak penyisihan setelah takluk 0-1 dari Korea Utara.
Itu baru segi mental, belum dari komposisi pemain Italia yang tak sempurna. Tak ada Fabio Cannavaro dan Alessandro Nesta sebagai pelindung Gianluigi Buffon. Mau tak mau pelatih Italia kala itu, Giovanni Trapattoni, menggeser Christian Panucci ke tengah untuk berduet dengan Paolo Maldini. Sementara sisi tepi dihuni Francesco Coco dan Mark Iuliano.
Baru empat menit berjalan, Moreno langsung menghadiahi Korsel tendangan penalti setelah Panucci menjatuhkan Seol Ki-Hyeon di kotak terlarang. Beruntung bagi Italia, sepakan Ahn Jung-Hwan masih bisa dihalau Buffon.
ADVERTISEMENT
Gli Azzurri kemudian membuktikan bahwa mereka bukanlah kesebelasan sembarangan. Italia unggul 1-0 setelah sepak pojok Francesco Totti dikonversi menjadi gol oleh Christian Vieri via sundulan. Namun, itulah gol terakhir Italia pada Piala Dunia 2002.
Petaka Italia dimulai di menit le-88, kala Seol Ki-Hyeon mengoyak jala gawang Buffon. Artinya laga mesti dilanjutkan via babak tambahan. Nah, pada menit-menit darurat itulah peran Moreno mulai nampak.
Pertolongan pertama diberikannya dengan mengusir Totti di menit ke-103. Trequartista yang sukses membawa AS Roma menjadi runner-up Serie A di tahun yang sama tersebut dianggap melakukan diving di kotak penalti saat berduel dengan Song Chong-gug. Totti dapat kartu kuning kedua dan Italia bermain dengan 10 orang.
ADVERTISEMENT
Kejanggalan selanjutnya tertuang dalam gol Damiano Tommasi yang dianulir. Keputusan Moreno itu kian bikin Mr. Trap --julukan Trappatoni-- mencak-mencak.
Puncak dari segala klimaksnya terjadi di menit ke-117. Korsel berhasil mengakhiri laga yang kala itu masih menerapkan sistem golden goal via Ahn Jung-hwan. Ironisnya, momok Italia itu merupakan penggawa salah satu klub Serie A, Perugia.
Cerita kepahlawanan itu nantinya bakal berdampak buruk pada kariernya. Selang beberapa hari kemudian, pemilik Perugia, Luciano Gaucci, memutus kerja samanya dengan Ahn. Gaucci tak ingin menggaji seorang pemain yang sudah merusak sepak bola Italia.
Sementara Italia gigit jari, Korsel terus mengurai mimpi. Giliran Spanyol yang jadi lawan mereka di babak perempat final.
ADVERTISEMENT
Tak se-kontroversial sebelumnya, tetapi juga bukan kemenangan yang meyakinkan pula. Spanyol yang sebagian besar dihuni oleh penggawa Real Madrid itu dipaksa melewati drama adu penalti setelah bermain imbang 0-0 hingga babak tambahan. Pertandingannya sendiri diwarnai dua gol dari Ruben Baraja dan Luis Enrique yang dianulir wasit Gamal Al-Ghandour.
Sama seperti kartu merah Totti, gol Tommasi yang dianulir, serta golden gol Ahn, dua gol Baraja dan Enrique itu juga ikut dipertanyakan. Gol Baraja dianulir karena dianggap telah terjadi pelanggaran lebih dulu. Sementara, gol Enrique dianulir karena bola dianggap sudah melewati garis sebelum disundul masuk ke gawang.
Hari itu bukanlah hari keberuntungan Spanyol, dan juga Iker Casillas. Dari lima eksekusi para penggawa Korsel, tak ada satupun yang berhasil digagalkan Casillas. Sementara itu, sepakan pelan Joaquin bisa dengan mudah ditebak kiper Korsel, Lee Woon-jae. Pemain yang sempat berseragam Fiorentina itu jadi satu-satunya algojo Spanyol yang gagal. Korsel melaju ke semifinal dengan keunggulan 5-3.
ADVERTISEMENT
Segala keajaiban Korsel tak berlaku di hadapan Jerman. Berbeda dengan Italia dan Spanyol, Oliver Kahn dan kawan dan kawan memiliki kekuatan fisik yang menonjol --aspek yang tak dimiliki Korsel. Padahal, bisa dibilang anak asuh Guus Hiddink itu tampil mengesankan dengan lini depan begitu cair.
Michael Ballack berhasil mencatatkan namanya daftar pencetak gol pertandingan, 15 menit sebelum berakhirnya waktu normal. Gol Ballack itu akhirnya jadi satu-satunya gol di pertandingan tersebut.
Andai saja penggawa Bayer Leverkusen saat itu gagal memecah kebuntuan, nasib Jerman boleh jadi bakal berakhir seperti Spanyol yang kandas di drama adu penalti atau Italia pada babak perpanjangan.
Usai sudah tuah Korsel di Piala Dunia 2002. Mereka juga akhirnya menelan kekalahan keduanya dari Turki dengan skor 2-3, pada perebutan tempat ketiga. Dengan segala kontroversinya, Korsel berhasil mencetak torehan terbaiknya di Piala Dunia, posisi keempat. Hingga saat ini, prestasi tersebut belum bisa mereka ulangi lagi.
ADVERTISEMENT