PSG Sebaiknya Berevolusi, Bukan Sekadar Bereformasi

15 Februari 2018 16:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fans PSG bisa jadi korban transfer Neymar. (Foto: Reuters/John Schults)
zoom-in-whitePerbesar
Fans PSG bisa jadi korban transfer Neymar. (Foto: Reuters/John Schults)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekalahan Paris Saint-Germain dari Real Madrid di pertandingan babak 16 besar Liga Champions 2017/2018 membuktikan bahwa sepak bola menghidupi satu hukum: form is temporary, class is permanent.
ADVERTISEMENT
Nasser Al-Khelaifi datang ke Prancis dengan satu misi: menciptakan kesebelasan paling ditakuti di dunia. Entah apa yang membuatnya memilih Prancis. Belakangan, dunia sepak bola dihidupkan dengan invasi Timur Tengah. Manchester City dan PSG adalah salah duanya.
Yang pasti, ambisinya untuk membikin PSG sebagai salah satu kesebelasan yang paling ditakuti di dunia memang terwujud. Coba lihat nama-nama besar yang sedang dan pernah bermain di sini. Kebanyakan dari mereka -walau tak semua- pindah ke PSG dalam waktu-waktu terbaiknya.
Bila membicarakan PSG sebagai klub yang diinjeksi dana gila-gilaan dari penguasa Timur Tengah, maka secara spontan kita akan membandingkannya dengan Manchester City.
Tadinya, wilayah timur Manchester City adalah wilayah marginal di Kota Manchester. Namun, itu sebelum suntikan dana datang. Tangan dingin Sheikh Mansour membuktikan bahwa perubahan memang dapat dimulai dengan uang. Namun, uang belum cukup.
ADVERTISEMENT
Ada satu ruangan di kantor Manchester City (foto-fotonya juga sudah banyak beredar di dunia) yang dindingnya dilengkapi dengan kata-kata Sheikh Mansour: “We are buiding a structure for the future, not just a team of all-stars.” Atau bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan berarti, “Kita sedang membangun struktur untuk masa depan, bukan hanya sebuah tim bertabur bintang.”
Lewat kata-katanya ini, Sheikh Mansour sekali lagi ingin menegaskan, yang mereka bangun lebih dari tim yang berjaya dalam kurun waktu lima-tujuh tahun. Tidak hanya tim yang meriah karena diisi oleh pemain-pemain bintang.
Itulah sebabnya, Sheikh Mansour tak hanya menggelontorkan uangnya untuk mendatangkan pemain. Ia juga membangun stadion, membangun akademi, memperbaiki kota, apa pun dilakukannya agar dunia melihat bahwa Manchester Timur berjaya bukan sekadar nama besar Sergio Aguero ataupun Pep Guardiola sendiri.
ADVERTISEMENT
Yang didatangkan ke klub bukan hanya pemain mahal, tapi orang-orang di balik layar yang pernah bekerja membangun klub yang digdaya. Karena itu pula, beberapa musim sebelum Guardiola datang, Ferran Soriano yang pernah menjabat sebagai Vice President Barcelona juga diboyong ke Etihad.
Gelontoran uang Sheikh Mansour berarti upaya untuk membangun pondasi, agar Manchester City tidak sekadar mewah, tapi juga kokoh.
Konsep ini pula yang diterapkan oleh Pep Guardiola sebagai pelatih Manchester City. Kedatangan Pep tidak serta-merta diikuti dengan keberhasilan City merengkuh gelar juara, tidak juara liga sekalipun.
Pep adalah satu dari sedikit pelatih yang tetap murka bila timnya menang, tapi tidak bermain sesuai dengan yang dia inginkan. Watak ini tidak muncul karena ambisi pribadi. Namun, karena sepak bola Pep adalah sepak bola yang punya fokus untuk memegang sistem.
ADVERTISEMENT
Pep menggerakkan sebelas orang pemainnya dengan taktik yang saklek. Namun, taktik yang saklek itu tak lantas membuat timnya menjadi kaku. Malah, taktik itu membuat timnya bermain dengan cair dan bisa mengendalikan jalannya laga.
Untuk mengendalikan laga itu, ia memasang sebuah sistem yang mendetail. Tiap-tiap pemain punya tugasnya sendiri-sendiri, tiap-tiap area di lapangan dimenangi dengan cara (atau fase) sendiri-sendiri.
Tidak banyak nama pelatih yang dijadikan penanda era baru dalam sepak bola suatu klub, misalnya, Manchester United era Sir Alex Ferguson ataupun Barcelona era Johan Cruyff. Apa boleh bikin, membangun era seperti ini memang bukan perkara mudah. Bila Johan Cruyff, Sir Alex Ferguson, Carlo Ancelotti, dan Pep Guardiola memegang predikat harum semerbak ini, itu karena mereka berhasil merevolusi suatu tim, bukan sekadar menyulap.
ADVERTISEMENT
Sebelum menjabat sebagai pelatih, Zinedine Zidane adalah asisten Ancelotti. Sebelum menjadi asisten pelatih, Zinedine Zidane adalah anak didik Ancelotti. Artinya, Zidane sudah terbiasa dijejali urusan taktik.
Singkat kata, sedikit-banyak, Zidane pun paham, untuk memenangi pertandingan, seorang pelatih harus bisa menguasai sebelas pemain lawannya. Bukan membiarkan satu atau dua pemain bintangnya menghadapi sebelas pemain lawan.
Yang dilakukan Unai Emery dalam pertandingan melawan Madrid tadi adalah membiarkan Neymar menyisir dan menginisiasi sendirian bangunan serangan PSG. Inilah yang menjadi perbedaan --setidaknya untuk saat ini--, antara uang Nasser Al-Khelaifi dan uang milik Sheikh Mansour.
Suporter Manchester City. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Manchester City. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
Pada dasarnya, Prancis yang juga merupakan negara tempat PSG bernaung adalah janin bagi kelahiran sejumlah hal gila.
ADVERTISEMENT
14 Juli 1789, dunia dikejutkan dengan letusan Revolusi Prancis. Orang-orang Prancis merobohkan tembok penjara Bastille, yang selama ratusan tahun menjadi benteng bagi raja-raja Prancis. Ke penjara inilah, para penguasa akan menjebloskan siapa pun yang dianggap menganggu kekuasaannya.
Revolusi Prancis tidak berhenti sampai penghancuran tembok Bastille dan pemenggalan kepala pasangan penguasa Prancis saat itu, Raja Louis XIV dan Ratu Marie Antoinette. Setelahnya, masih ada pembentukan dewan nasional, perpecahan golongan masyarakat Prancis, serta pembentukan dan pembubaran sejumlah bentuk pemerintahan.
Jika dirangkum, maka Revolusi Prancis akan ditandai dengan tiga peristiwa: gebrakan, seleksi, dan pembangunan.
Bila gebrakan Revolusi Prancis ditandai dengan penghancuran tembok penjara Bastille, maka gebrakan PSG ditandai dengan kedatangan suntikan dana dan pemain-pemain bintang. Namun, sama seperti Revolusi Prancis yang tidak berhenti sampai penghancuran tembok Bastille, revolusi PSG seharusnya tidak berhenti sampai kedatangan pemain bintang saja.
ADVERTISEMENT
Setelah penghancuran tembok penjara yang menghebohkan dunia itu, orang-orang Prancis melanjutkan revolusi mereka dengan menyingkirkan penguasa yang dianggap sebagai biang kerok dari kemalangan Prancis. Raja Louis XIV dan Ratu Marie Antoinette diseret ke pengadilan dan dihukum penggal. Tidak peduli setinggi apa pun jabatan mereka, keduanya tetap disingkirkan dari tanah Prancis, bahkan dari dunia.
Ini pula yang dilakukan oleh Pep Guardiola di Manchester City. Kedatangan Pep ditandai dengan disingkirkannya Joe Hart dari klub. Padahal, Hart adalah salah satu dari sedikit pemain yang menjadi bagian dari sejarah klub.
Tak cuma Hart, Yaya Toure juga bernasib sama. Ia bergabung ke Manchester City pada tahun 2010. Sejak itu pula ia menjadi pencetak gol utama bagi City.
ADVERTISEMENT
Samir Nasri pun pada akhirnya memilih angkat kaki ke Sevilla. Tindakan logis bagi setiap pesepak bola. Daripada duduk merunduk di bangku cadangan, lebih baik hengkang ke klub yang lebih kecil, tapi bisa memberikan waktu bermain yang lebih pasti.
Kepergian nama-nama ini (dan pemain lainnya) bukan menandakan mereka tak hebat, tapi karena tak sesuai dengan sistem yang dibangun oleh Pep.
Bila PSG menyerukan revolusi, ini pulalah yang harus dilakukan oleh Unai Emery. Sebagai pelatih, seharusnya ia punya otoritas untuk membentuk tim sesuai dengan rancangannya.
Permasalahan dari satu tim tidak akan bisa diselesaikan dengan mendatangkan satu atau dua pemain bintang lalu menyerahkan segalanya. Bisa jadi, justru pemain bintang itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah PSG. Bukankah itu yang terjadi pada Neymar di Barcelona? Ia dinilai sebagai pemain yang membuat permainan tim tidak seimbang.
ADVERTISEMENT
Sejak pecahnya revolusi (14 Juli 1789), orang-orang Prancis membutuhkan waktu kurang-lebih 26 tahun untuk bergonta-ganti bentuk pemerintahan. Itu belum termasuk peristiwa-peristiwa sebelum pecahnya revolusi dan berapa banyak waktu yang dibutuhkan Prancis untuk merombak sistem kekaisaran menjadi republik.
Pemain PSG merayakan gol. (Foto: REUTERS/Benoit Tessier)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain PSG merayakan gol. (Foto: REUTERS/Benoit Tessier)
Prancis tercatat sebagai negara yang berkali-kali membangun dan menghancurkan sistem pemerintahannya. Mulai dari konvensi nasional sampai kembali kekaisaran monarki, hingga akhirnya kita mengenal Prancis yang sekarang menganut republik. Ada bongkar-pasang. Ada pembentukan hingga menemukan yang paling tepat bagi Prancis sebagai negara.
Revolusi Pep di Manchester City juga dilakukan dengan cara serupa. Lihat seperti apa ia yang berkeras untuk memiliki kiper yang bisa ikut mengalirkan bola dan terlibat dalam membangun serangan. Coba perhatikan sedetail apa Pep melatih pemain-pemainnya satu per satu. Setahap demi setahap, langkah per langkah. Itu semua demi mendapatkan tim yang membentuk sistem, bukan tim yang bergantung pada satu atau dua pemain bergaji selangit.
ADVERTISEMENT
Bila PSG memang ingin berevolusi, maka masih ada banyak hal yang harus dikerjakan oleh Unai Emery, Nasser Al-Khelaifi, dan seluruh timnya. Karena bagaimanapun juga, revolusi tidak sama dengan reformasi. Dalam reformasi, kita akan menemukan kata 'form' -bentuk. Ia lebih menyoal perubahan bentuk sehingga bisa dilakukan secara cepat. Itu sebabnya, ia tidak bisa disamakan dengan perubahan mendasar.
Jika PSG ingin bereformasi, maka mereka sudah ada di fase reformasi itu. Kedatangan Nasser dan pemain-pemain bintangnya mengubah PSG menjadi klub bertabur bintang. Masalah berapa lama pesona itu bakal bertahan, tentu harus dipikirkan matang-matang.
Serupa pertandingan sepak bola lainnya, PSG masih punya kesempatan untuk bangkit di leg kedua melawan Real Madrid. Bukannya tidak mungkin itu bakal terjadi. Karena, toh, selalu ada hal tak terduga dalam sepak bola. Namun, apa pun yang menjadi rencana Emery selanjutnya, kekalahan dari Real Madrid barusan seharusnya membuatnya berpikir ulang tentang apa arti melakoni revolusi.
ADVERTISEMENT