Pusing Kepala Pep

16 Januari 2017 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Guardiola tertunduk lesu. (Foto: Michael Regan/Getty Images)
Ada yang lebih memilukan dari kekalahan Manchester City tadi malam: wajah putus asa yang diperlihatkan oleh Pep Guardiola.
ADVERTISEMENT
Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Satu malam, pada November 2010, di hadapan nyaris 100 ribu orang yang memenuhi Camp Nou, Guardiola pernah dengan perkasanya memimpin Barcelona melumat Real Madrid 5-0.
Malam itu, Madrid tak ubahnya turis lugu yang datang ke Catalunya dan dikerjai habis-habisan oleh penduduk lokal. Saking habisnya dikerjai, sampai-sampai pemain yang levelnya semenjana di Barcelona seperti Jeffren Suarez bisa membobol gawang Madrid.
Begitulah. Masa lalu yang indah. Kemenangan Guardiola (dan Barcelona) malam itu menjadi sedikit pertanda akan penaklukkan sang pelatih terhadap sepak bola Eropa. Gaya juego de posicion-nya —yang sering disalahartikan sebagai tiki-taka— mendadak tenar. Guardiola dianggap sebagai masa depan sepak bola dengan membawa sepak bola masa depan.
ADVERTISEMENT
Pokoknya, sejak saat itu, ada anggapan sepak bola yang bagus adalah sepak bola yang dimainkan timnya Guardiola —atau setidaknya mirip-mirip seperti itu. Pokoknya lagi, kalau mau sukses, ya, mainkanlah sepak bola seperti timnya Guardiola, atau lebih baik lagi: sewa Guardiola-nya sekalian sebagai manajer.
Tidak salah, memang, mengontrak Guardiola menjadi manajer. Barcelona tahu itu, dan Bayern Muenchen tahu itu. Untuk menjaga dominasi dan konsistensi, Guardiola yang perfeksionis-cum-obsesif itu adalah orang yang tepat.
Saya masih ingat betul bait-bait di dalam buku biografi pertamanya, yang ditulis oleh Guillem Balague, bagaimana penyendirinya Guardiola, terutama ketika ia tengah menghadapi masalah.
Satu gol yang masuk ke gawangnya akan dipikirkannya berulang-ulang. Video bakal dilihat berkali-kali. Jika masih belum ketemu juga jawabannya, Guardiola akan menemukan dirinya di sebuah lapangan latihan yang sunyi —karena seluruh pemainnya telah pulang— dan berjalan-jalan sendirian.
ADVERTISEMENT
Sedemikian obsesifnya Guardiola akan sepak bola sehingga olok-olok lawas Jose Mourinho, yang mengatakan kepala Guardiola membotak karena tak menikmati sepak bola, menjadi terlihat benar. Tapi, kita semua tahu, menjadi Guardiola tidaklah semudah itu.
Dianggap sebagai jenius, bahkan sejak masih memperkuat Barcelona di level junior, dan terus-menerus mempertahankan diri di level terbaik adalah sesuatu yang melelahkan. Maka, jangan heran jika Guardiola, pada beberapa kesempatan, akan tampak moody.
Kontraknya di Barcelona tidak pernah lebih dari satu tahun. Jika ia merasa menangani Barcelona masih ada tantangannya, ia akan memperpanjangnya untuk satu tahun lagi.
Pernah, pada sebuah malam di Barcelona, ketika Guardiola bersantai menikmati musik bersama pasangannya, Cristina Serra, si pemusik memergokinya ada di antara penonton. Tanpa ragu, sang musikus pun memintanya segera memperpanjang kontrak dengan Barcelona. Guardiola tersenyum. Mood-nya barangkali sedang baik malam itu. Beberapa hari kemudian, ia memperpanjang kontraknya dengan El Barca.
ADVERTISEMENT
Namun, rasa lelah jugalah yang mengakhiri karier Guardiola di Barcelona. Guardiola kemudian bersemedi di New York, tempat barangkali ia mengunjungi kafe-kafe di East Village sembari mendengarkan musik-musik anti-folk ala Regina Spektor.
Tidak ada yang mengerti Guardiola, kecuali Guardiola sendiri —atau mungkin Cristina.
Ketika ia kemudian memutuskan untuk menangani Bayern Muenchen dan seenaknya mengubah formasi tim menjadi 4-1-4-1, serta mengubah posisi Philipp Lahm menjadi gelandang bertahan, kita semua memakluminya. Sebab dia adalah Guardiola.
Pendukung Bayern mungkin sedikit heran, tapi tidak protes. Bos-bos Bayern juga begitu. Mereka tahu, mendatangkan Guardiola berarti mendatangkan garansi. Kendati trofi Liga Champions gagal dipertahankan, hegemoni di Bundesliga tetap terjaga.
Guardiola menuruti kontrak tiga tahunnya dengan Bayern, tapi tidak lebih dari itu. Keinginannya untuk mencari tantangan baru membawanya ke Inggris, ke Premier League, ke sebuah dunia baru nan liar layaknya Wild West.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan menghadapi Bundesliga bersama Bayern yang seperti berjalan-jalan di taman, Premier League adalah hutan belantara. Terkadang brutal, terkadang tak bisa ditebak. Kenyataan demikianlah yang dihadapi Guardiola pada lima bulan pertamanya di Inggris.
Tidak bisa tidak, Guardiola harus menerima situasi-situasi mencengangkan, yang tiap hari terus-menerus dihujamkan padanya. Premier League adalah ujian berat baginya; antara mempertahankan idealismenya sebagai manajer atau perlahan-lahan berubah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Sebab, memang demikianlah hutan belantara: yang bisa menyesuaikan dirilah yang bertahan.
Ketika Guardiola dengan angkuhnya berkata bahwa dia tidak mengajarkan pemain-pemainnya untuk melakukan tekel, ia sedang menentang segigih-gigihnya. Tapi, kala ia mengakui bahwa ia harus belajar soal second ball*, ada paradigma yang bergeser di benaknya: mau tidak mau, ia harus beradaptasi dan mencari penyesuaian dengan sepak bola khas kesenangannya.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak akan bisa mengubah Inggris, dan saya tidak ingin melakukannya. Tentu saja, Inggris-lah yang akan mengubah saya. Untuk itulah saya datang ke sini —untuk diubah. Itu bagus. Kalau saya menjalani sesuatu yang sama sepanjang karier, selama 15-20 tahun sebagai pelatih, itu membosankan,” ujar Guardiola seperti dilansir The Guardian.
Guardiola melontarkan ucapan tersebut pada malam yang melelahkan di Goodison Park. Minggu (15/1/2017) malam itu, timnya baru saja dibabat habis Everton 0-4.
Guardiola adalah seorang pemikir. Ia tidak pernah mengambil keputusan dengan sembrono. Bahkan ketika masih menjadi pemain sekali pun.
Dulu, seringkali ia memberikan operan ke samping berulang-ulang hanya untuk membuat lawannya mengira, ia hanya bisa memberikan umpan ke samping. Begitu lawannya berusaha menutup umpannya dengan bergerak ke samping, barulah Guardiola menunjukkan wujud sesungguhnya dari rencananya: celah di tengah terbuka, dan ke sanalah ia akan mengarahkan operan.
ADVERTISEMENT
Dengan kalkulasi yang seringkali tidak sederhana, maka kita hanya bisa menebak-nebak, apa yang ada di kepalanya ketika ia duduk tepekur di bangku cadangan City. Wajahnya lelah, sorot matanya tak berjiwa.
Ketika kemudian ia meminta timnya untuk tidak melihat papan klasemen, ada tanda bahwa Guardiola sudah lempar handuk untuk musim ini.
----
*) Second ball dalam sepak bola berarti bola bebas yang (biasanya) dihasilkan dari situasi duel atau sentuhan yang buruk. Bola inilah yang kemudian harus dimenangi dan dimanfaatkan untuk menjadi peluang.