Sepak Bola Brasil yang Berutang pada Perbudakan dan Ketidakidealan

20 Januari 2018 17:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bermain bola di favela, Rio de Janeiro. (Foto: AFP/Christophe Simon)
zoom-in-whitePerbesar
Bermain bola di favela, Rio de Janeiro. (Foto: AFP/Christophe Simon)
ADVERTISEMENT
“Sewaktu masih kecil, saya takut sekali bermain bola. Bahkan, melihat pertandingannya saja enggan. Sebab, saya sering melihat pemain kulit hitam ditendangi dan dipukuli di pinggir lapangan jika melakukan kesalahan, termasuk bersentuhan dengan pemain kulit putih di lapangan,” suatu waktu, seperti itulah sepak bola di mata bek kenamaan Brasil era 1930-an, Domingos da Guia.
ADVERTISEMENT
Mental adalah persoalan utama. Orang-orang kulit putih di Brasil masih menganggap orang-orang kulit hitam punya status yang lebih rendah dibandingkan mereka, walaupun Brasil secara resmi meninggalkan perbudakan tahun 1888.
Pemikiran macam itu tumpah pula dalam sepak bola. Aturan yang berlaku saat itu, orang-orang kulit hitam dilarang bersentuhan dengan orang-orang kulit putih saat bermain sepak bola. Kalau bersentuhan, orang-orang kulit hitam bisa dipukuli. Mereka bakal dinilai sebagai golongan yang tak tahu adat.
Barangkali, yang paling menyenangkan dari menjadi manusia adalah lahir dengan kemampuan untuk beradaptasi dalam segala situasi. Agar tak mendapat hukuman fisik, pemain kulit hitam Brasil lebih memilih untuk menciptakan gerakan tipuan ketimbang beradu fisik.
Kebanyakan orang-orang Brasil suka menari. Kemampuan tari ini pula yang dibawa dalam sepak bola, termasuk Domingos da Guia. Ia menggunakan kemampuan tarinya untuk bermain sepak bola. Ia jadi cenderung menggoyangkan pinggul saat menggiring bola dalam jarak pendek.
ADVERTISEMENT
Gerakan itu merupakan adaptasi dari miudinho, salah satu unsur dalam tarian Samba. Ternyata, gerakan itu membuatnya lebih mudah untuk menghindari sergapan pemain lawan tanpa harus melakukan kontak fisik.
Perlahan tapi pasti, teknik-teknik untuk menghindari lawan itu semakin hari semakin bervariasi. Ibarat tarian Samba yang meriah, yang selalu mempertontonkan laku penari yang menggoyangkan badannya dalam irama rancak, sepak bola Brasil pun lambat-laun dikenal dengan aksi meliuk-liukkan tubuh. Ia mengenyahkan tatanan formasi yang rumit.
Kemenangan adalah hal mutlak, tapi menang saja tidak cukup. Sepak bola harus dimainkan dengan indah. Karena untuk bisa bermain sepak bola pun, orang-orang Brasil harus “membayar” harga yang tak murah dan tak lumrah.
Di tahun 1910, Brasil mengenal pesepak bola kulit hitam pertamanya, Arthur Friedenreich. Ia boleh disebut sebagai orang kulit hitam pertama di Brasil yang diakui sebagai pemain bintang. Di sepanjang kariernya, ia telah mencetak 1.200 gol. Sayangnya, masyarakat Brasil seperti belum siap menerima bintang lapangan berkulit hitam.
ADVERTISEMENT
Tekanan-tekanan rasialis yang dihadapinya membuat pemain-pemain seperti Arthur Friedenreich memutuskan untuk meluruskan rambut mereka yang keriting dan menaburkan bubuk putih (seperti bedak) di kulit mereka. Tujuannya agar kehadiran mereka lebih mudah diterima oleh orang-orang Brasil. Bukan kondisi yang ideal. Namun, sepak bola Brasil tidak akan mendapatkan bentuk aslinya jika lahir di tengah-tengah kondisi yang ideal.
Brasil, juara Piala Dunia FIFA 2002 (Foto: AFP Photo/Odd Andersen)
zoom-in-whitePerbesar
Brasil, juara Piala Dunia FIFA 2002 (Foto: AFP Photo/Odd Andersen)
Lewat buku kontroversial berjudul ‘Casa Granda e Senzala’ (Si Tuan dan Si Budak), sosiolog dan antropolog Brasil, Gilberto Freyre, menjelaskan bahwa sepak bola Brasil mesti berterima kasih kepada perbudakan yang pernah melanda negeri mereka. Karena tanpa perbudakan, orang-orang Brasil tak akan bisa menciptakan sepak bola khas mereka.
Era perbudakan membuat Brasil didatangi banyak ras. Sehingga ras Brasil boleh disebut sebagai perpaduan dari bangsa Eropa yang memiliki kemampuan rasio tinggi dan bangsa Afrika dengan kekuatan fisik dan kecepatan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi tadi dituangkan ke dalam lingkup sepak bola, maka hal itulah yang membuat gaya permainan Brasil lain dari yang lain. Sepak bola Brasil amat kontras dengan gaya Eropa yang cenderung teratur. Ia menjadi berbeda akibat keberadaan kombinasi kejutan, kecerdikan, kelincahan, dendam, dan spontanitas tiap-tiap individu.
Tanpa perbudakan, sepak bola Brasil hanya akan muncul sebagai sepak bola kebanyakan yang mengutamakan kegeniusan taktik dan perhitungan rinci. Pendapat ini pula yang dibenarkan oleh penulis naskah lakon asal Brasil era 1950-an, Nelson Rodrigues. Katanya, sepak bola membantu Brasil menemukan dirinya sendiri dan membuat dunia menemukannya.
Sepak bola Brasil adalah sepak bola yang memberikan ruang yang cukup untuk kreativitas individu. Perhatikanlah rekaman-rekaman pertandingan Ronaldinho, Ronaldo de Lima, atau Garrincha. Seringnya, mereka tak cukup peduli dengan hitung-hitungan taktis. Biasanya, para pelatih akan memberikan area khusus bagi mereka untuk dieksploitasi.
ADVERTISEMENT
Garrincha di Piala Dunia 1962. (Foto: Wikimedia Commons.)
zoom-in-whitePerbesar
Garrincha di Piala Dunia 1962. (Foto: Wikimedia Commons.)
Lantas, bila melihat dari sejarah sepak bola Brasil itu sendiri, bolehlah kita menganggap bahwa kreativitas mereka di atas lapangan bola lahir sebagai salah satu upaya bertahan hidup di tengah-tengah kesemrawutan. Sudah jadi rahasia umum bahwa kebanyakan pesepak bola Brasil memulai kariernya dari kemiskinan.
Brasil memang negara yang meriah, tapi bukan berarti kekayaan jadi bagian setiap orang yang ada di sana. Rumah-rumah kumuh yang dikenal dengan sebutan favela menjadi pemandangan yang umum.
Lalu bisa kita tebak, anak-anak yang hidup di kampung-kampung kumuh ini bermain sepak bola dengan riang di ruang apa pun yang tersisa. Entah itu gang sempit, jalan-jalan umum, ataupun lahan kosong yang permukaannya naik-turun. Tak perlu fasilitas mewah dan mumpuni, karena siapa pula yang bisa memberikan?
ADVERTISEMENT
Sempitnya tempat bermain memaksa mereka untuk membuat bola tetap menempel di kaki. Sementara bagi mereka yang hidup di zaman yang masih mempermasalahkan mana kulit hitam mana kulit putih, sebisa mungkin menghindari dengan kontak fisik dengan pemain kulit putih.
Apa boleh buat, segala macam ketidakidealan yang belum bisa dienyahkan menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ada. Jika yang ada cuma ruang sempit, maka latihlah diri sebisa mungkin supaya bisa terus bermain bola di sana.
Ronaldinho si penyihir. (Foto: AFP/Pierre-Philippe Marcou)
zoom-in-whitePerbesar
Ronaldinho si penyihir. (Foto: AFP/Pierre-Philippe Marcou)
Jika norma yang berlaku tidak memperbolehkanmu bersentuhan dengan kulit putih, ciptakanlah teknik yang membuatmu bisa menguasai bola tanpa harus bersentuhan dengan lawan.
Kultur Brasil akrab dengan hiruk-pikuk pesta. Suka cita meluap dan mewujud dalam pekan-pekan karnaval yang meriah. Namun, karnaval-karnaval itu juga tidak datang dengan sendirinya. Mereka muncul sebagai bentuk perlawanan orang-orang miskin terhadap tatanan budaya dan agama. Karnaval ini juga jadi bentuk perlawanan orang-orang Brasil terhadap diskriminasi dan perbudakan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan sepak bola Brasil yang sering digambarkan sebagai sepak bola yang rancak, yang kerap berhasil melahirkan kegembiraan para penyaksinya. Kata orang-orang, jogo bonito. The beautiful game. Di balik segala keindahan dan kemeriahannya, permainan sepak bola orang-orang Brasil pada akhirnya menjadi cerminan dari kreativitas mereka dalam menghadapi situasi, keadaan, dan ruang apa pun yang jauh dari ideal.
====
*Catatan editor: Tulisan ini dibuat sebagai pendamping tulisan peringatan kematian Garrincha, si pembawa kegembiraan dalam sepak bola Brasil. Anda bisa membaca tulisan tentang Garrincha di tautan ini.