Sepak Bola Sani, Sepak Bola Tulehu

12 Desember 2017 17:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sani Tawainella bersama pemain bola dari Tulehu (Foto: Dok. Liga Remaja UC News)
zoom-in-whitePerbesar
Sani Tawainella bersama pemain bola dari Tulehu (Foto: Dok. Liga Remaja UC News)
ADVERTISEMENT
Di hadapan Sani Tawainella dan orang-orang Tulehu, sepak bola adalah rangkaian cerita yang beranak cucu. Ia adalah kisah menahun yang dihidupi turun-temurun.
ADVERTISEMENT
I
Ribut-ribut ceria di tribun penonton GOR Soemantri menjadi kejanggalan yang menyenangkan buat dinikmati.
Sekumpulan bocah berusia 14-15 tahun berkostum lengkap layaknya pesepak bola profesional, tertawa-tawa senang sambil sesekali memeriksa kelengkapan mereka. Kelompok ini tak sendirian. Di tribun seberangnya, sekelompok bocah berupa mirip juga menunjukkan gelagat yang sama.
Namun, di antara mereka tak banyak sosok dewasa yang menemani. Hanya lelaki bertubuh agak gemuk, membawa seduhan kopi yang diwadahi gelas plastik.
Tak banyak cakap, ia hanya sesekali memberikan instruksi kepada bocah-bocah itu untuk bersiap. Saya menikamkan mata lekat-lekat ke arahnya. Tak butuh waktu lama untuk memastikan bahwa ia adalah Sani Tawainella.
Dirasa anak-anak yang ia instruksikan tadi sudah siap untuk bertanding, ia kemudian turun ke pelataran luar stadion. Duduk di atas teras, sesekali menyeruput kopinya yang disusul isapan rokok mild.
ADVERTISEMENT
Saya hanya sekali memanggilnya coach. Ia ingin dipanggil kakak saja. Katanya, itu panggilan yang paling tepat. Dan benar saja, panggilan itu membikin akrab. Beberapa saat setelah memanggilnya kakak, ia meminta saya untuk ikut minum kopi dan tak lupa dengan isapan tembakau saya.
Di bawah langit terik Jakarta siang itu, 11 anak mengenakan kostum yang didominasi warna putih sudah berdiri sesuai posisi masing-masing di atas lapangan. Sani tidak berdiri di pinggir lapangan, ia bersosok sebagai orang yang dituakan di tim itu. Tak ada satupun instruksi yang keluar dari mulutnya. Ia lebih sibuk memotret sana-sini. Mengabadikan aksi bocah-bocah yang ia bawa dari Tulehu tersebut.
Tokoh sepak bola dari Tulehu Sani Tawainella (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh sepak bola dari Tulehu Sani Tawainella (Foto: Dok. Pribadi)
Pertandingan hari itu hanya laga ekshibisi. Indonesia U-15 All Stars dengan anak-anak Tulehu didikan Sani. Mereka meraih predikat tim terbaik di Liga Remaja UC News 2017. Pertandingan ini menjadi penutup rangkaian acara yang diselenggarakan dari tanggal 4-7 Desember 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Saya, yang masih asyik menyesap es kopi sebagai lawan panasnya Jakarta hari itu langsung bergegas kembali ke atas tribun. Mengejar Kakak Sani yang sudah lebih dulu duduk di salah satu sudut tribun seiring dimulainya pertandingan dan rampungnya seremonial beserta atribut-atributnya.
Masih dengan tas punggung dan tas selempang kecil miliknya, Kakak Sani membetulkan posisi duduknya. Sembari mengatur napas, agaknya ia sedang mencoba untuk memaklumi panasnya Jakarta yang tak wajar. Kopi panasnya masih mengepul. Teriknya Jakarta ia lawan dengan kopi panas. Lantas saya jadi bertanya-tanya, entah siapa yang sebenarnya tak wajar.
Yang jadi pertanyaan saya cuma ini: “Apakah sepak bola di Tulehu itu sebenarnya sudah membudaya, hingga akhirnya bisa melahirkan talenta-talenta ciamik bagi sepak bola tanah air?”
ADVERTISEMENT
Menjawab ini, Sani melempar ingatannya jauh ke masa kecil. Baginya sepak bola adalah candu yang tak bisa ditinggalkan remaja Tulehu. Ia pun hanya generasi kesekian yang merasakan sendiri bagaimana candu sepak bola itu bekerja.
“Untuk remaja-remaja Tulehu, ada waktu-waktu yang secara spontan membuat mereka bermain bola di pantai, di jalan-jalan pakai bola plastik. Tidak peduli bolanya seperti apa, yang penting mereka senang. Sani juga begitu.”
Bagi Sani dan kawan-kawannya di Tulehu sana, sepak bola adalah panggilan alami. Bahkan permainan lima lawan lima pun mereka bumbui dengan hal-hal dramatis. Mereka mengumpamakan tim mereka sebagai Belanda atau Brasil. Keduanya adalah yang termasyhur di zaman kanak-kanak Sani.
Sani dan kawan-kawannya tak beda-beda amat dengan kita. Zaman kanak dulu, bola kita terbuat dari plastik. Biasanya berwarna norak luar biasa. Yang penting ia bisa menggelinding waktu ditendang. Buat kita, bola itu barang ajaib. Begitu kaki menyentuhnya, seketika kita berubah menjadi Del Piero ataupun David Beckham.
ADVERTISEMENT
“Kami mengenalnya seperti pemain ini, pemain itu. Sampai timnya ciptakan gol, mereka punya gayanya, bikin gerakan masing-masing, seperti Maradona. Dari dulu kayak begitu,” kenangnya.
II
Laiknya urusan-urusan yang lain, sepak bola jadi perkara serius waktu Sani beranjak dewasa.
Tahun 1996, Sani berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Diklat Ragunan dan bergabung dengan Timnas Indonesia U-15. Ia tak mau sepak bola hanya jadi bagian nostalgia. Dia ingin bertahan hidup dengan sepak bola. Sejenak impiannya jadi nyata, tapi itu hanya sejenak. Kenyataan yang menyenangkan itu tak bertahan lama. Tahun 1998, Sani gagal dan harus pulang ke Tulehu.
Bagi para perantau, rumah seharusnya jadi tempat menyenangkan. Namun, kepulangan Sani tak demikian, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Ia gagal jadi pesepak bola, Tulehu porak-poranda dihajar konflik agama.
ADVERTISEMENT
Bercerita soal ini, matanya memerah, entah karena kelelahan atau mungkin mengenang hal yang menyakitkan macam kepulangan Sani ke Tulehu saat itu, menyayat luka lama. Suaranya mendadak parau. Sani bilang hatinya bergetar, mengingat masa lalunya lewat anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat kami duduk.
“Sani sering ke lapangan, suasananya sepi. Pada suatu waktu ada kejadian luar biasa. Ada penyerangan besar di perbatasan (Tulehu). Sani sempat ke sana lihat anak-anak bawa jeriken isi bensin, kalau begini kasihan anak- anak tidak punya masa depan,” kisahnya.
Impian sepak bola Sani di Jakarta memang habis tak bersisa. Namun Jakarta tak pernah sama dengan Tulehu. Di Tulehu, sepak bola tak boleh mati. Ia selalu jadi bagian dari hidup orang-orang Tulehu. Istilah ilmiahnya, sepak bola bukan sekadar permainan, sepak bola sudah membudaya bagi masyarakat Tulehu. Jika sepak bola habis, Tulehu pun bakal ikut habis.
ADVERTISEMENT
Pelan-pelan Sani kembali menghidupkan budaya sepak bola di Tulehu. Tetapi ada yang berubah di sini. Sepak bola tidak lagi menjadi sekadar cara bersenang-senang. Ia tak melulu tentang permainan.
Sani menggunakan sepak bola untuk merawat masa depan anak-anak Tulehu. Dan perkara masa depan, logika harus ikut campur.
Makanya, Sani bukan cuma membersihkan lapangan. Ia tidak hanya memanggil anak-anak Tulehu dari luar pagar rumah mereka masing-masing untuk bermain sepak bola. Ia menghidupkan kembali sepak bola Tulehu dengan mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Tulehu Putra.
Soal ini, Sani harus berterima kasih kepada pengalaman dan ilmu yang ia dapatkan di Diklat Ragunan. Dari sana, ia mendapatkan pemahaman bahwa budaya sepak bola sanggup menumbuhkan bakat sepak bola anak- anak Tulehu secara alami. Dan bakat yang ada dalam mereka bisa didorong oleh pembinaan usia dini.
ADVERTISEMENT
Meski ia harus disebut orang gila karena melakukan inovasi yang belum pernah ada, Sani tetaplah Sani. Ia percaya bahwa budaya (sepak bola) di Tulehu adalah harapan yang bisa diberikan bagi anak-anaknya.
“Antusias anak-anak mulai luar biasa karena kami bentuk suasana latihan yang sungguh-sungguh. Kami bikin gawang dari bambu, kami bikin cone dari corong minyak. Terus tiang agility (latihan kelincahan) kami bikin dari bambu."
"Kami ke hutan, sama anak-anak kami bikin. Terus kami minta-minta pipa paralon yang tidak dipakai sama tetangga. Saat itu Sani disebut orang gila karena di Tulehu tidak ada sejarah pembinaan usia dini.”
Atas segala hal yang dilakukannya lewat sepak bola, Sani punya satu tujuan. Ia ingin anak-anak Tulehu ambil bagian dalam skuat Timnas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sani bukan orang gila, ia hanya kelewat percaya. Tapi yang dipercayainya mulai menjadi kenyataan. Coba tengok nama-nama ini: Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuasalamony, Rizky Ahmad Sanjaya Pellu -mereka itu anak-anak Tulehu. Nama mereka tak akan terpampang di kostum timnas kalau tidak ikut gila bersama Sani.
“Dia (orang tua Tulehu) harus bermimpi bahwa nanti, suatu waktu, akan muncul pemain-pemain kita (Tulehu) di timnas.”
Sani Tawainella bersama pemain bola dari Tulehu (Foto: Dok. Liga Remaja UC News)
zoom-in-whitePerbesar
Sani Tawainella bersama pemain bola dari Tulehu (Foto: Dok. Liga Remaja UC News)
III
Dunia kompetisi punya satu adagium: Pemenang adalah mereka yang tercepat. Untuk sejumlah kemenangan; bergegas, bersegera, adalah hal mutlak. Makanya, segala hal yang berkaitan dengan olahraga harus dilakukan dengan cepat.
Sejak 16 Juni 1961, Jepang juga membangun konsep pemberdayaan olahraga yang bernama Sports Promotion Act. Pada dasarnya konsep ini adalah rencana jangka panjang untuk dapat mewujudkan Jepang sebagai negara olahraga (istilah yang mereka gunakan adalah creating a sport nation).
ADVERTISEMENT
Dalam konsep program jangka panjang yang mereka bangun, tak ada istilah meraih prestasi dalam sekejap. Bagi Jepang, lima atau 10 tahun bukan hitungan yang logis. Di dalam konsep yang mereka bangun ini, segala program dikerjakan untuk jangka waktu yang panjang: 50 tahun -dan pengembangannya masih berlanjut sampai sekarang.
Orang-orang Jepang, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1 Sports Promotion Act, menyepakati bahwa olahraga merupakan unsur yang dapat menyediakan kebahagiaan dan energi, yang merupakan aspek budaya umum di seluruh dunia, yang dikembangkan bersama-sama oleh manusia tanpa memandang bahasa dan gaya hidup. Perhatikan kata kebahagiaan, budaya dan dikembangkan.
Sejalan dengan pengertian ini, Jepang mempraktikkannya dengan membiasakan orang-orang untuk berolahraga. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya untuk membuat orang-orang gemar berolahraga -termasuk sepak bola- dan menjaga agar orang-orang tetap gemar berolahraga.
ADVERTISEMENT
Lantas, bila merangkum keseluruhan isinya, Jepang mempraktikkan konsep tersebut dengan menyediakan fasilitas olahraga, menyelanggarakan event olahraga dan membangun serta merawat pembinaan olahraga. Dalam praktik yang mereka kerjakan tak ada gembar-gembor prestasi. Tak ada ambisi untuk menjuarai Olimpiade, Piala Dunia ataupun memiliki pesepak bola yang bermain di Liga Champions.
Begitu pula dengan sepak bola. Jepang mencanangkan J-League 100 Years Plan sebagai langkah untuk menjuarai Piala Dunia di tahun 2092. Program-program ini dicanangkan sejak tahun 1992. Artinya, Jepang menilai bahwa 100 tahun adalah rentang waktu yang paling tepat untuk mereka jika ingin menjuarai kompetisi sepak bola tertinggi itu.
Apa yang dilakukan Jepang adalah penanda bahwa dalam konsep olahraga -termasuk sepak bola- cepat tidak sama dengan instan. Cepat di sini tidak berbicara soal mendapatkan hasil dalam waktu cepat -walau siapa pula yang tidak ingin- tetapi memulai segala sesuatunya dengan cepat. Bergegas membangun sesuatu.
ADVERTISEMENT
Jepang memulai rencana jangka panjangnya dengan menumbuhkan kesenangan. Tetapi saat kesenangan itu mulai tumbuh, mereka tidak berhenti pada kesenangan.
Sani dan para remaja Tulehu. (Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sani dan para remaja Tulehu. (Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
“Anak yang baru lahir biasanya ada akikah. Selain ada doa kepada Tuhan, juga disiapkan rumput lapangan (sepak bola) mana pun di atas piring. Jadi pada saat anak itu mau keluar pintu, sambil mereka doa, anak itu diinjakkan kakinya ke atas rumput. Mau anak laki-laki atau perempuan itu sudah budaya dan dibiasakan,” kata Sani.
“Kalau ada pertandingan (sepak bola) di kota, Kampung Tulehu itu sepi. Bapak-bapak, ibu-ibu, semua pada berangkat. Macetnya sudah kayak ini, di Jakarta,” demikian Sani menjelaskan seintim apa sepak bola dalam kehidupan orang-orang Tulehu.
Tulehu memiliki kesenangan itu. Sepak bola menjadi bagian dari budaya mereka. Sani menyadarinya, lantas ia pun memulai dengan segera. Ia tidak menunggu konflik berhenti untuk membangun sepak bola. Ia bergegas biarpun artinya, ia harus memulainya tanpa menunggu segala sesuatunya tersedia, bahkan kalau boleh jujur, ia sempat mengerjakannya sendirian. Tanpa kawan.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, orang Indonesia menggilai sepak bola. Lapangan bola tak pernah sepi, siaran bola jadi tayangan paling laris. Klub dan fans club sepak bola bertebaran di mana-mana. Kita teramat jago, teramat berapi-api bila membicarakan sepak bola. Tapi kita berhenti pada kegemaran. Kita berpuas pada kegilaan. Kita berbangga akan ambisi.
-----
Hari itu saya bercakap-cakap dengan orang yang tak wajar. Namanya Sani Tawainella. Lantas, saya menyaksikan anak-anak yang berlari-lari di lapangan di depan saya. Lalu seketika, saya ikut berbahagia atas ketidakwajaran Sani.