Thibaut Courtois dan Betapa Absurdnya Wacana Loyalitas di Sepak Bola

10 Agustus 2018 17:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akhirnya Courtois ke Madrid juga. (Foto: REUTERS/Sergio Perez)
zoom-in-whitePerbesar
Akhirnya Courtois ke Madrid juga. (Foto: REUTERS/Sergio Perez)
ADVERTISEMENT
Ini adalah kehidupan para pesepak bola. Bertanding dari satu lapangan ke lapangan lain. Merayakan kemenangan, menanggung kekalahan. Berlatih seharian penuh, dirundung peluh, dan cecaran sang nakhoda taktik.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun setelahnya atau mungkin tak lebih dari dua tahun, ia akan merangkak ke stadion baru, memaksakan diri untuk menyebutnya sebagai rumah kedua. Di tempat lama, ia berharap puja-puji, walau tak sedikit yang ditampar caci-maki. Di tempat baru, ia mencium lencana dan bersumpah setia sampai kaki tak sanggup lagi menendang bola.
Mereka yang duduk dan berdiri di tribune penonton tak hanya membutuhkan gelar juara, tapi para pemain yang bersedia mati untuk jersi yang dikenakannya. Sepak bola berubah menjadi panggung opera. Para pemain tak hanya bertanding berlarian merebut bola, tapi mengumbar sumpah dan loyalitas palsu.
Thibaut Courtois lolos dari kandang singa. Kandang singa itu bernama Chelsea. Tujuh tahun hidup di kandang singa, lengkap dengan cerita pembuangan ke Atletico Madrid, rupanya sudah cukup untuk merongrong kebebasan Courtois.
ADVERTISEMENT
Di akhir 2017/18, ia meronta, meminta keluar dari Chelsea dan hengkang ke Real Madrid. Keinginannya tercapai, lewat negosiasi alot dan berbelit-belit akhirnya ia sampai ke Santiago Bernabeu. Tak peduli bakal jadi kiper nomor berapa, yang terpenting ia sampai ke Kota Madrid.
Ada keluarga di balik keinginan kuat Courtois untuk pindah ke Madrid. Di kota itulah, kedua anaknya tinggal. Satu anak laki-laki berusia setahun, dan satu anak perempuan berusia tiga tahun. Dan Courtois begitu ingin tinggal berdekatan dengan keluarganya itu.
Maurizio Sarri tak bisa berbuat banyak walau ia ingin Courtois tetap ada di Chelsea. Katanya, penting bagi klub, terutama di masa transisi seperti ini, untuk tetap memiliki pemain-pemain top. Apalagi, posisi Courtois sangat krusial karena ia bertugas untuk mengawal gawang timnya.
ADVERTISEMENT
Transisi kepelatihan membuat klub mesti beradaptasi. Dan yang namanya adaptasi, blunder demi blunder menjadi sosok yang menghantui. Kemampuan, mental, dan pengalaman Courtois dibutuhkan untuk menjaga timnya dari kekalahan.
Chelsea juarai Piala FA (Foto: REUTERS/ Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Chelsea juarai Piala FA (Foto: REUTERS/ Lee Smith)
Namun, Courtois bergeming. Di satu sisi, ia sadar ia harus bersikap profesional. Di sisi lain, ia manusia yang punya kebutuhan humanis. Dan baginya saat ini, setidaknya menurut pengakuannya, tak ada yang lebih penting daripada tinggal berdampingan dengan darah dan dagingnya sendiri.
Lagipula tak jarang, mereka yang kebutuhan humanisnya terusik akan tampil tidak maksimal dalam segala hal. Bila hal ini yang terjadi, yang rusak bukan hanya sisi humanis, tapi juga sisi profesional. Bagi Courtois, kepindahannya ke Madrid adalah win-win solution. Chelsea tidak akan dirugikan dengan permainan angin-anginannya, Courtois pun tidak akan merasa rugi karena keinginannya sudah terwujud.
ADVERTISEMENT
Cemooh para suporter Chelsea menjadi kepahitan yang harus dikecap Courtois. Terlebih, dalam wawancara soal kepindahannya itu Courtois juga menyuarakan keinginannya agar Eden Hazard mengambil langkah serupa, bergabung ke Madrid.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit dengan mesin pencari internet untuk menemukan berbagai komentar yang mengatakan Courtois sebagai ular, manusia tak tahu diri, pengkhianat, dan ungkapan-ungkapan kasar lainnya. Bahkan di antara komentar-komentar tadi, kita akan menemukan desakan dari suporter yang meminta Courtois untuk menghapus pesan perpisahannya kepada Chelsea yang ia tulis di salah satu akun media sosialnya.
Memisahkan sepak bola dan wacana loyalitas adalah perkara muskil. Ada keterikatan yang sudah terlanjur mengakar di antara keduanya. Orang-orang boleh berkata, loyalitas menjadi senjata yang ampuh untuk melawan modernisasi sepak bola.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan segala hormat, loyalitas adalah jualan paling laris di era sepak bola modern. Klub tak akan bisa hidup tanpa suporter. Keberadaan mereka tak sekadar menjadi pemain ke-12 yang memberikan injeksi semangat di setiap pertandingan. Sadar atau tidak sadar, suporter adalah tiang penyangga finansial klub. Uang yang mereka gelontorkan untuk membeli tiket pertandingan dan merchandise asli adalah pemasukan yang harus dirawat sedapat-dapatnya oleh setiap klub untuk bertahan hidup.
Faktor suporter ini pulalah yang tak jarang membikin sponsor rela menanamkan investasinya walau keuntungan begitu jarang didapat hanya dalam kurun waktu satu atau dua tahun. Itulah sebabnya, klub harus menawarkan segala hal yang dapat menyenangkan suporter. Lantas, tawaran apa pula yang lebih baik ketimbang wacana loyalitas para pemain?
ADVERTISEMENT
Keluarga besar Courtois hadir dalam wawancara perkenalannya sebagai pemain Madrid. (Foto: REUTERS/Sergio Perez)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga besar Courtois hadir dalam wawancara perkenalannya sebagai pemain Madrid. (Foto: REUTERS/Sergio Perez)
Di mata para suporter, pesepak bola adalah pahlawan. Dan setiap pahlawan dituntut tak boleh mundur sedikit pun untuk orang lain. Pahlawan harus loyal dengan kepentingan orang lain. Kebutuhannya menjadi yang nomor sekian, kebutuhan orang lain menjadi yang pertama.
Courtois memilih untuk mematahkan belenggu tadi. Dalam surat perpisahannya ia menegaskan bahwa ia mencintai dan menghormati Chelsea, memperhitungkan segala hal yang diberikan klub dan suporternya sebagai anugerah yang tak terkira. Namun, surat itu menjadi awal dari perjalanannya bersama klub yang baru. Ia memilih untuk memuaskan kebutuhannya untuk dekat dengan keluarga atau kebutuhan lain (finansial mungkin) daripada memenuhi tuntutan klub dan para suporter.
Pada akhirnya, Courtois membuktikan bahwa ia bukan seorang yang taat-taat amat pada loyalitas. Di benak Courtois, loyalitas bukan barang haram, tapi akan menjadi kekonyolan ketika hasrat mencintai klub terlalu meletup-letup hingga menggerus kemanusiaannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pembicaraan selanjutnya adalah bagaimana gesture Courtois saat ia diperkenalkan sebagai penggawa baru Madrid. Tak sulit untuk menemukan foto yang menunjukkan Courtois sedang mencium badge yang disemat di jersi barunya. Menyoal lakunya itu, Courtois juga turut berkomentar. “Saya belum pernah mencium badge. Namun, saya melakukannya di Madrid karena saya selalu ingin berada di tempat ini.”
Perkara mencium badge ini juga diributkan banyak orang. Lagi-lagi, loyalitas penjaga gawang asal Belgia ini menjadi permasalahan yang diungkit-ungkit. Tapi toh, Courtois juga sudah menegaskan bahwa ini pertama kalinya ia mencium badge klub (entahlah dengan Timnas). Lewat omongannya itu setidaknya ia menjelaskan bahwa ia tidak masuk dalam kawanan pemain yang berkali-kali mencium badge tapi juga berkali-kali hengkang ke klub lain.
ADVERTISEMENT
Kepindahan Courtois ke Madrid menjadi penanda bahwa tak semua kebutuhan bisa ia penuhi dan tak semua persoalan sanggup ia atasi. Pilihan ini membuat Courtois tampil sebagai seorang ekstensialis yang menyadari bahwa pemberontakan itu perlu. Dan untuk kasus Courtois, ia merasa perlu untuk memberontak dari kekangan klub lamanya itu.
Semasa hidupnya, Albert Camus tak hanya bicara tentang kesunyian seorang kiper, tapi juga tentang konsep eksistensialis. Baginya, pemberontakan (tentu arti pemberontakan tidak sesempit perilaku merusak -red) menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa hidup dengan merdeka. Istilah yang banyak diperbincangkan oleh kaum ekstensialis adalah pour soi dans solitaire, yang bila diterjemahkan bisa berarti (hidup merdeka) untuk diri sendiri dalam kesendirian atau bebas dari segala macam paksaan dari luar kebutuhan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, tak selamanya mereka yang loyal kepada klub adalah orang-orang terjajah. Bukannya tak mungkin keputusannya untuk tak pindah itu juga merupakan kehendak bebasnya. Toh, kita sudah banyak mendengar cerita para legenda hidup yang menolak untuk pindah tanpa peduli berapa banyak uang yang diberikan oleh klub yang menawarnya itu.
Ketika memutuskan untuk hengkang dari Chelsea dan mempersetankan segala cemooh yang ia terima, Courtois sudah mempraktikkan pour soi dans solitaire itu sendiri. Ia merdeka dengan pilihannya sendiri, ia merdeka untuk mengambil keputusan bahwa ia harus dekat dengan keluarganya karena itulah yang menjadi kebutuhan terbesarnya. Setidaknya, itulah yang muncul di akhir surat perpisahan Courtois kepada Chelsea yang sudah dihapusnya begitu dirongrong kecaman para suporter.
ADVERTISEMENT
“Terakhir, saya juga ingin berterima kasih kepada semua suporter atas dukungan yang begitu besar yang sudah diberikan kepada saya selama bertahun-tahun. Saya harap kalian semua mengerti bahwa tinggal dekat dengan anak-anak saya juga menjadi pertimbangan dari keputusan ini. Kehormatan besar bagi saya bisa menjadi bagian dari keluarga Chelsea FC.”
Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi dengan Courtois di Madrid. Ia bisa saja menjadi kiper utama, tapi tak menutup kemungkinan ia bakal tersisih dan hanya menjadi penghangat bangku cadangan. Kalau bicara potensi gelar juara, Madrid yang sekarang pun sedang ada dalam kondisi transisi kepelatihan, mirip dengan Chelsea yang ia tinggalkan itu. Jadi, bukannya tak mungkin di akhir kompetisi nanti ia akan jijit jari, sementara Chelsea bertempik-sorak merayakan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan atau tanpa juara, ada satu kisah yang bisa diceritakan oleh Courtois kepada anak-anaknya itu: bahwa bapaknya ini menolak untuk menjadi manusia terbelenggu, bahwa ayahnya ini teguh dengan keinginannya untuk menjadi manusia yang merdeka.