Zinedine Zidane: Pahlawan Juventus, Legenda Real Madrid

3 Juni 2017 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Zidane, anggun dan mematikan. (Foto: Reuters/Michael Dalder)
Bisa jadi tak ada yang paling baper selain Zinedine Zidane saat Juventus berhadapan dengan Real Madrid di partai final Liga Champions, Minggu (4/6/2017) dini hari WIB. Ia adalah pahlawan Juventus, tapi di kemudian hari justru jadi legenda Madrid
ADVERTISEMENT
Alvaro Morata mungkin jadi kandidat terkuat lainnya, mengingat ia pernah bermain untuk kedua kesebelasan. Tapi tak ada yang lebih mengenal kedua klub itu selain Zizou —demikian Zidane biasa disapa.
Di satu sisi, Madrid adalah tempatnya mengabdi selama 16 tahun lamanya. Tepatnya saat 77,5 juta euro digelontorkan oleh Madrid (baca: Florentino Perez) demi melengkapi skuat Galacticos yang dia bangun. Jumlah 77,5 juta euro itu memecahkan rekor transfer dunia saat itu.
Jauh sebelum konstelasi bintang yang dibangun oleh Perez dengan nama Los Galacticos, "Si Nyonya Tua" telah lebih dulu mengasah Zidane dengan mendatangkannya ke Italia, semusim setelah dirinya meraih Pemain Terbaik Ligue 1 bersama Bordeaux.
Kedatangannya pun menghasilkan efek instan. Juventus dibawanya merengkuh scudetto dua musim beruntun ditambah Supercoppa Italia, Piala Interkontinental, dan Piala Intertoto. Tapi hanya itu saja, selebihnya Juventus gagal mempertahankan Liga Champions saat tersungkur di hadapan Borussia Dortmund pada babak final tahun 1997 dan kalah lagi setahun kemudian —kali itu dari Madrid.
ADVERTISEMENT
Sekilas, perjalanan Zidane bersama Juventus memang tampak biasa-biasa saja. Tapi, takdir memang berkata begitu. Secemerlang apapun Zidane, ada saja yang menghalanginya mendapatkan trofi Liga Champions bersama Juventus.
Saat masih bermain, Zidane tak ubahnya penyihir. (Foto: Wikimedia Commons)
Pada final melawan Dortmund, misalnya. Malam di Olympiastadion, Muenchen, itu menjadi bukti kejeniusan pelatih Dortmund, Ottmar Hitzfeld. Ia jeli melihat potensi bahaya yang bisa didatangkan Zidane. Oleh karenanya, Hitzfeld memutuskan untuk memasang Paul Lambert, seorang pria Skotlandia yang gigih, untuk melakukan man-marking terhadap Zidane sepanjang laga.
Zidane mati kutu. Juventus pun tidak bisa berbuat banyak. Dortmund menang 3-1 malam itu dan Juventus gagal mempertahankan trofi juara Liga Champions mereka.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, kegagalan Juventus itu juga menunjukkan cerita berbeda: kehebatan Zidane sesungguhnya diakui oleh Hitzfeld, sampai-sampai ia perlu menerapkan strategi khusus untuk maestro asal Prancis tersebut.
Di Italia, kejeniusan Zidane yang sebenarnya sudah terlihat sejak ia bermain untuk Bordeaux, kian terlihat. Setelah final Liga Champions 1997 itu, Zidane menahbiskan dirinya sebagai salah satu pemain terbaik di dunia saat itu dengan membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 1998 dan menjadi pemain terbaik dunia di tahun yang sama.
“Dia bisa mengkreasikan ruang ketika di sana tidak ada ruang sama sekali. Entah bagaimana caranya, dia pasti selalu bisa keluar dari masalah, tidak peduli bagaimana caranya bola itu bisa sampai ke dia. Imajinasi dan tekniknya luar biasa,” ujar mantan rekan Zidane di Juventus, Edgar Davids.
ADVERTISEMENT
Setelah Piala Dunia 1998, Zidane bertahan tiga musim lagi di Juventus. Namun, raihan trofinya tidak pernah bertambah.
Sementara itu, Madrid, yang sukses menggondol "Si Kuping Besar" di edisi 1999/2000 tengah membangun mahligai skuat mega-bintang. Luis Figo jadi yang pertama datang untuk melengkapi Iker Casillas, Raul Gonzalez, dan Roberto Carlos yang lebih dulu ada. Dan Zidane adalah target selanjutnya .
Singkat cerita Zidane memillih untuk bergabung bersama Madrid. Menanggalkan nomor punggung "21" yang tertulis di jersey Juventus miliknya dan memakai angka "5" pada seragam El Real.
Mengutip kata Davids, dengan “imajinasi dan teknik luar biasa” yang dimilikinya, Zidane tak butuh waktu lama untuk beradaptasi. Dia langsung mempersembahkan titel Liga Champions pada musim perdananya bersama Madrid. Gol sepakan first time-nya ke gawang Hans-Jörg Butt di babak final makin menambah kadar heroisme Zidane di Madrid.
ADVERTISEMENT
Sisanya adalah sejarah. Zidane mengabdikan karier dan hidupnya setelah itu hanya untuk Madrid.
Zidane kemudian gantung sepatu ketika ia masih berkostum Madrid. Lalu, anak-anaknya, juga “bersekolah” di akademi sepak bola Madrid, La Fabrica. Begitu masa bermainnya selesai, ia juga sempat menjadi direktur olahraga Madrid, menjadi asisten pelatih, sampai akhirnya menjadi pelatih kepala tim utama ketika Rafael Benitez didepak.
Di sini, cerita Zidane menjadi sempurna.
Datang sebagai pemain termahal, dia berubah menjadi pelatih yang berhasil mempertahankan kejayaan Madrid di Eropa.
Musim bersama Benitez itu sesungguhnya bukanlah musim yang menyenangkan untuk Madrid. Ada banyak kekonyolan terjadi di sana-sini —termasuk ketika Madrid memainkan Denys Cherishev di Copa del Rey, padahal ia sedang tidak boleh bermain.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi menjulang Madrid dijawab Zidane dengan sederhana. Ia tidak pernah mencoba jadi sok jenius dengan memasang taktik-taktik njlimet yang akhirnya hanya menyulitkan timnya sendiri. Sebaliknya, Zidane cukup cerdas. Ia tahu kapan waktunya mendominasi, dan tahu kapan harus bermain sederhana dan direct.
Pada musim perdananya sebagai pelatih itu, ia sempat meraih kemenangan di kandang rival Madrid, Barcelona, dengan taktik yang sederhana. Paham bahwa percuma meladeni pertarungan di lini tengah dengan gelandang-gelandang Barcelona, ia memilih untuk menerapkan strategi umpan lambung langsung ke depan.
Kata mereka, Zidane juga punya kharisma yang membuatnya disegani pemain-pemain Madrid —sesuatu yang tidak dimiliki oleh Benitez. Bahkan pemain se-arogan dan se-egois Cristiano Ronaldo pun tak ragu memujinya. Sedikit banyak, ini jugalah yang membantunya meraih trofi Liga Champions pada musim perdananya menangani Madrid.
ADVERTISEMENT
Dengan trofi tersebut, Zidane naik ke tingkat yang, barangkali, hanya sedikit orang yang bisa menjamahnya. Ia adalah legenda. Pencapaiannya di Madrid, dengan menjuarai Liga Champions sebagai pemain dan pelatih, adalah sebuah ode untuk raksasa egois yang bermarkas di Bernabeu itu.
“Saya pikir, saya punya DNA Real Madrid, dan ini adalah rumah saya,” ujar Zidane.
Raihan Zidane makin lengkap ketika ia berhasil mempersembahkan trofi juara La Liga musim 2016/2017. Pertanyaannya sekarang: mungkinkah ia naik ke tingkat yang tak bisa dijamah siapapun dengan satu trofi juara Liga Champions lagi?