Rijsttafel, Budaya Makan Tengah Berbalut Nuansa Eropa

17 Agustus 2019 11:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Tik Tok, ilustrasi kuliner khas Indonesia Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Tik Tok, ilustrasi kuliner khas Indonesia Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Budaya makan di atas meja kini mulai banyak ditinggalkan. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang lebih memilih makan di mana saja karena alasan kepraktisan. Bisa di depan laptop, hingga di dalam perjalanan.
ADVERTISEMENT
Padahal di meja makan, kamu bisa melihat deretan lauk-pauk; dari nasi, sayuran, daging, hingga sambal. Semuanya tersaji di piring terpisah dan siapa saja bisa mengambilnya.
Biasanya, ketika dekat dengan meja makan, warna, rasa, hingga aromanya selalu berhasil membuat perut memberontak. Semua lauk-pauk itu ditakar dalam porsi besar sehingga bisa memenuhi kecukupan semua keluarga.
Kira-kira begitulah penyajian makanan ala masyarakat Indonesia. Mereka biasa menyebutnya dengan nama 'makan tengah'.
Siapa sangka, konsep penyajian makanan itu ternyata hasil akulturasi budaya saat zaman penjajahan Belanda. Cara penyajian tersebut lazimnya dikenal dengan nama rijsttafel.
Secara etimologi, rijsttafel berasal dari kata 'rijst' yang berarti nasi atau beras yang sudah dimasak, sedangkan 'tafel' berarti meja yang bermakna kiasan untuk hidangan.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, rijsttafel adalah sebuah konsep penyajian makanan Indonesia dengan gaya Eropa, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Belanda yang tinggal di Indonesia. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, rijsttafel kemudian berkembang ke seluruh lapisan masyarakat.
Ilustrasi Kuliner Indonesia Foto: Shutterstock/Ariyani Tedjo
Rijsttafel diperkirakan telah ada sejak 1870-an
Menurut Murdijati Gardjito dalam pengantar buku berjudul Pusaka Cita Rasa Indonesia (2019), istilah rijsttafel diperkirakan telah ada sejak era 1870-an. Kala itu telah terjadi perpaduan budaya makan pribumi dan Eropa yang nampak dalam pelayanan, tata cara makan, hingga hidangan.
Pada era tersebut, para nyai (sebutan untuk perempuan pribumi) menampilkan budaya kuliner sesuai dengan selera dan cita rasa suaminya yang notabene orang Belanda asli. Sedangkan para nyonya Belanda menyelipkan cara memasak dan bahan yang biasa dipakai dalam kuliner Eropa ke dalam berbagai jenis makanan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua arah seni kuliner inilah kemudian menjadi bibit lahirnya budaya kuliner yang dikenal dengan nama rijsttafel.
Perkembangan komposisi hidangan dalam rijsttafel
Meski disebutkan bahwa rijsttafel berkembang ke seluruh lapisan masyarakat, nyatanya hidangan dan cara penyajian tersebut hanya dapat dijangkau oleh orang-orang atau golongan masyarakat kelas atas.
Tak heran, karena rijsttafel biasanya dibalut dengan kesan mewah pada semua aspeknya. Ruangan untuk perjamuan makanan yang berdekorasi mewah, perabotan (meja dan kursi), peralatan makan (piring dan sendok), hingga pelayan yang berjumlah 20-30 orang dengan kedua tangan memegang piring.
Sedangkan untuk jumlah hidangan yang disajikan, berjumlah dua kali lipat dari pelayan yang ada. Menariknya, komposisi hidangan pada rijsttafel juga mengalami perkembangan.
Masih dalam buku Pusaka Cita Rasa Indonesia (2019), disebutkan bahwa sebelum abad ke-20, nasi dan hidangan pribumi mendominasi sajian rijsttafel. Menunya lengkap, nasi, sayur, dan lauk sebagai pembuka, beefstuck atau hutspot tampil sebagai makanan utama, dan terakhir hidangan penutup ada mangga, nanas, hingga duku.
Ilustrasi Kuliner Indonesia Foto: Shutterstock/Ariyani Tedjo
Lalu, memasuki abad ke-20 komposisi hidangan dalam rijsttafel mengalami variasi dari hasil campuran budaya pribumi dengan Eropa dan Cina. Pengaruh hidangan Cina itu muncul sebab berkembangnya restoran Cina dan banyaknya para pedagang keliling yang menjajakan makanan Cina di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, hidangan pribumi tetap mendominasi karena memiliki kelebihan dari segi cita rasa yang menggugah selera. Berbicara soal hidangan pribumi dan Eropa yang selalu disajikan di rijsttafel, ternyata keduanya juga mengalami akulturasi.
Seperti bruine bone soep (sup kacang merah), huzarensla (selada belanda), indische pastei (pastel tutup), dan zwartzuur (ayam suwir) yang mengalami penyesuaian bumbu dengan penggunaan rempah-rempah pribumi.
Ilustrasi Kuliner Indonesia Foto: Shutterstock/Ariyani Tedjo
Berakhirnya masa kejayaan rijsttafel di Indonesia
Masa kejayaan budaya rijsttafel di Indonesia berakhir ketika Perang Dunia II dan invasi Jepang ke Nusantara. Para kolonial secara perlahan kembali ke negaranya, dan kondisi ini membuat rijsttafel perlahan ditinggalkan.
Namun, orang-orang Belanda masih membawa kebiasaan itu ke tanah kelahiran mereka. Di sana, rijsttafel tumbuh menjadi sebuah nostalgia tersendiri bagi mereka yang memiliki kerindunan akan makanan-makanan Indonesia yang disajikan ala Eropa.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia sendiri, rijsttafel tidak begitu mudah ditemukan. Biasanya, cara penyajian ini disajikan di beberapa hotel dan restoran pada musim-musim tertentu.
Memadukan kuliner Indonesia dalam konsep makan tengah berbalut nuansa mewah memang menarik untuk dikulik. Siapa tahu, rijsttafel bisa jadi konsep branding menarik agar kuliner Indonesia makin diterima di benua Eropa.
Bagaimana menurutmu?