Bagi Nia Dinata, Film Jadi Alat Menyuarakan Kebenaran

18 November 2017 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nia Dinata pada Konferensi Pers (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nia Dinata pada Konferensi Pers (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sutradara Nia Dinata menjadi salah satu pendukung EnamBelas Film Festival. Perempuan 47 tahun itu tertarik untuk bergabung karena kecintaannya terhadap dunia film.
ADVERTISEMENT
EnamBelas Film Festival merupakan sebuah festival film yang akan memutarkan 16 film panjang dan 16 film pendek karya anak bangsa. Film yang diputar bertemakan penghapusan kekerasan berbasis gender dan seksual. EnamBelas Film Festival akan dimulai pada 25 November sampai 10 Desember 2017 di berbagai kota Indonesia.
"Ya, pasti aku tertarik, karena dari dulu aku memang sudah apa ya, hatiku udah ke situ," kata Nia ketika ditemui di Art Society, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (17/11).
Nia Dinata (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Nia Dinata (Foto: Munady)
Menurut sutradara film 'Arisan!' itu, film merupakan media yang tepat untuk menyuarakan kebenaran. Sebab, sebuah film bisa menjadi alat komunikasi dan menginspirasi masyarakat.
"Film adalah tools aku untuk menyuarakan kebenaran, menyuarakan hal-hal yang sifatnya mungkin tidak adil, tidak setara," ujar Nia.
ADVERTISEMENT
Nia memulai kariernya sebagai seorang sutradara sejak 2002 lalu. Saat itu, ia menjadi sutradara film 'Ca Bau Kan', yang dibintangi oleh Ferry Salim. Nia pun kerap memproduksi film yang mengangkat tema mengenai perempuan.
"Sebagai orang yang membuat suatu medium, merasa ini (film tentang isu perempuan) masih menjadi penting kita bikin, karena kalau enggak nanti jad seragam, which is very dangerous" ujar Nia.
Nia tentu berharap film yang disutradarainya bisa membawa perubahan bagi masyarakat. Hal itu ternyata tercapai ketika ia menyutradarai film Ca Bau Kan. Ada seorang nenek keturunan Tionghoa yang menghampirnya setelah menonton film tersebut.
"Hal sesimpel bahwa ada oma-oma gitu ya yang keturunan Tionghoa yang nyamperin aku. 'Aduh aku tuh kemarin ini abis nonton lagi sama cucu-cucu ku, supaya mereka tuh tahu bagaimana sih cerita-cerita yang berhubungan dengan nenek moyangnya waktu awal Indonesia merdeka'," tutur Nia.
ADVERTISEMENT
"Itukan sebuah perubahan. Mungkin itu cuma baby step, tapi, its changing their family, jadi mungkin bisa ngomongin sesuatu, enggak malu lagi ngomongin nenek moyangnya. Selama ini kan selama sebelum reformasi tahun 98 dibungkam, enggak boleh diomongin," pungkasnya.
Film Ca Bau Kan mengangkat budaya Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda dan Indonesia. Latar cerita film tersebut mencakup zaman kolonial Belanda pada tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca kemerdekaan tahun 1960.
Ca Bau Kan merupakan bahasa Hokkian yang berarti perempuan. Pada zaman kolonial, Ca Bau Kan diasosiasikan dengan gundik atau perempuan simpanan orang Tionghoa.