RUU Permusikan yang Dianggap Berpotensi Mendiskriminasi Musisi

4 Februari 2019 18:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koalisi Nasional tolak RUU Permusikan. Foto: Instagram/@danillariyadi
zoom-in-whitePerbesar
Koalisi Nasional tolak RUU Permusikan. Foto: Instagram/@danillariyadi
ADVERTISEMENT
Naskah RUU Permusikan yang diusulkan oleh musisi sekaligus anggota legislatif Anang Hermansyah dan tim Komisi X DPR sedang menjadi perbincangan publik. Draft tersebut meresahkan sejumlah musisi di industri musik Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Mereka menganggap beberapa naskah dalam RUU Permusikan membatasi dan menghambat proses kreatif musisi. Dalam kata lain, naskah RUU Permusikan dianggap merepresi para pekerja musik.
Selain itu, RUU Permusikan juga dianggap tumpang-tindih dengan beberapa UU lainnya, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE, hingga Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Anggota DPR Anang Hermansyah saat diskusi RUU permusikan di Cilandak Town Square Jakarta Senin (4/2). Foto: Ronny/kumparan
Untuk itu dibentuklah Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Di dalamnnya, terdapat lebih dari 250 musisi seperti Danilla, Rara Sekar, Mondo Gascaro, Jerinx 'SID', Marcell Siahaan, dan masih banyak lagi, yang menentang RUU Permusikan.
Menurut Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan yang disingkat KNTL RUUP, ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama dari naskah RUU Permusikan. Yang pertama adalah Pasal karet.
ADVERTISEMENT
“Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai,” ujar Cholil Mahmud 'Efek Rumah Kaca' melalui keterangan pers yang diterima kumparan, Senin (4/2).
Jason Ranti membuatnya lebih singkat, padat, dan jelas. “Ini kan gaya Orde Baru,” ucapnya.
Kedua, memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Hal ini berhubungan dengan Pasal 10 naskah RUU Permusikan yang mengatur distribusi karya musik. Tepatnya, tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri.
“Referensi pembuatan RUU ini tidak paham gerakan dan napas kelompok musik bawah tanah," kata Endah Widiastuti 'Endah N Rhesa'.
Ketiga, naskah RUU Permusikan dianggap memaksakan kehendak dan mendiskriminasi, khususnya di bagian uji kompetensi dan sertifikasi. Hal ini dianggap berpotensi mendiskriminasi musisi.
ADVERTISEMENT
“Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional,” kata Mondo Gascaro.
Keempat, naskah RUU Permusikan dilihat hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur. Pasal 11 dan 15, misalnya, yang dianggap tidak memiliki nilai lebih. Begitu juga dengan Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia.
“Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur,” jelas Puti Chitara 'Barasuara'.
Intinya, KNTL RUUP melihat ada lebih dari 19 Pasal yang bermasalah dari RUU Permusikan. Mereka menganggap hal itu menunjukkan kekurangpahaman para penyusun naskah RUU Permusikan tentang keanekaragaman potensi dan tantangan yang ada di dunia musik.
Anggota DPR Anang Hermansyah saat diskusi RUU permusikan di Cilandak Town Square Jakarta Senin (4/2). Foto: Ronny/kumparan
Di sisi lain, Anang memberikan pernyataannya terkait RUU Permusikan yang masih berbentuk draft. Dia menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat adalah unsur penting dalam pembuatan sebuah UU, sebagaimana tertuang dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
"Mungkin ada pasal-pasal yang terlewat. Ini juga kan, masih draft. Butuh masukan dari kita semua," ucap Anang saat menggelar diskusi RUU Permusikan dengan sejumlah musisi pada hari ini, Senin (4/2) di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.
Nah, bagaimana menurutmu? Apakah kamu setuju dengan isi naskah RUU Permusikan? Berikan pendapatmu dalam kolom komentar!