Kata Psikolog: Mengadopsi Anak Korban Gempa Tak Bisa Jadi Solusi

7 Oktober 2018 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Putri Ramadhani (kiri), Nur Nissa (tengah) dan Ainun Naziah (kanan) di depan Masjid Al-Amiin, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Putri Ramadhani (kiri), Nur Nissa (tengah) dan Ainun Naziah (kanan) di depan Masjid Al-Amiin, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan )
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gempa yang disusul tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, masih menyisakan duka mendalam pada warga terdampak, termasuk anak-anak yang menjadi korban. Teror bencana ini berpotensi meninggalkan trauma bagi mereka. Bahkan, tak sedikit dari anak-anak itu yang terpisah dari keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kementerian Sosial RI bekerja sama dengan UNICEF dan Yayasan Sayangi Tunas Cilik membuka posko layanan penanganan anak korban gempa Palu yang terpisah dari keluarga.
Posko itu dibuka di Kantor Dinas Sosial Provinsi Sulteng sejak 30 September - 14 Oktober 2018. Tujuannya, untuk memfasilitasi pencarian dan reunifikasi anak dengan keluarganya.
"Sudah banyak yang melapor. Tadi malam (5/10) 21 anak terdaftar. Itu laporan dari orang tua. Sebenarnya masih banyak, tapi mereka masih registrasi," ungkap Karina Sidik, perwakilan Kemensos RI, saat dihubungi kumparan, Sabtu (6/10).
Lalu bagaimana dengan anak yang kedua orang tuanya meninggal? Apakah mengadopsi mereka bisa meringankan beban?
Sejumlah anak korban gempa bumi dan tsunami palu menaiki kapal KRI Makassar-590 untuk dievakuasi ke Makassar. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak korban gempa bumi dan tsunami palu menaiki kapal KRI Makassar-590 untuk dievakuasi ke Makassar. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Menurut psikolog pendidikan dan inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Karina Adistiana, mengadopsi anak-anak yang kehilangan orang tua akibat bencana sebenarnya tidak bisa dijadikan solusi. Sebab, tindakan itu bisa berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni bencana psikologis.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab bencana psikologis adalah apabila si anak ternyata masih memiliki orang tua. Hal ini bisa saja terjadi karena kesimpangsiuran pada situasi bencana. Anak baru ditemukan setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelahnya.
“Bisa jadi anak yang diduga tinggal sebatang kara ternyata sebenarnya masih memiliki keluarga. Di sinilah potensi bencana psikologis, baik bagi anak maupun bagi keluarga yang tertinggal. Mereka saling membutuhkan untuk saling mengisi dan menghibur dalam situasi duka,” jelas Karina kepada kumparanMOM.
Anak yang dicabut dari lingkungan dan budaya aslinya karena diadopsi juga bisa mengalami bencana psikologis. Memindahkan anak dari lingkungan asli dan memberinya budaya baru yang berbeda merupakan bentuk penghapusan identitas.
Ibu dan anak berada di tenda pengungsian di Lapangan Vatulemo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).  (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu dan anak berada di tenda pengungsian di Lapangan Vatulemo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10). (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Identitas seorang individu turut dibentuk oleh latar belakang budayanya. Dalam situasi bencana, anak harus diselamatkan dari bahaya, termasuk bahaya kehilangan identitas budayanya. Bukan sekadar memberikan kebutuhan fisik, seperti makanan dan obat-obatan,” imbuh Karina.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, segala upaya untuk mencari dan menyatukan kembali anak korban gempa dengan keluarganya sangat diperlukan. Untungnya, ada organisasi yang bergerak dalam urusan reunifikasi keluarga pascabencana, seperti yang dibentuk Kemensos bekerja sama dengan UNICEF dan Yayasan Sayangi Tunas Cilik
“Membantu anak dengan ikut menanggung biaya hidup dan pemenuhan hak dasar anak termasuk pendidikan, selama proses pencarian keluarga asli atau reunifikasi masih berlangsung, juga bisa dilakukan tanpa perlu mengadopsi anak,” tutup Karina.