2017 di Pusaran HAM

28 Desember 2017 11:55 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana HAM di Indonesia menjadi salah satu persoalan yang paling banyak terjadi selama 2017. Mulai dari soal perbudakan anak buah kapal Indonesia, Undang-Undang Ormas, penganut kepercayaan, kekerasan di Papua, hingga terkait diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
ADVERTISEMENT
Berikut kaleidoskop persoalan HAM 2017:
Perbudakan Anak Buah Kapal Indonesia
Masyarakat umumnya memandang perbudakan sebagai sebuah kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah berakhir bersama runtuhnya imperium-imperium kolonialisme pada pertengahan abad ke-20. Namun ternyata, perbudakan belum benar-benar selesai dan menjadi ancaman serius HAM sampai saat ini.
Pada Januari 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan ada sekitar 250 ribu Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal asing rawan menjadi korban perbudakan dan perdagangan manusia. Geram menghadapi ancaman pelanggaran HAM itu, Menteri Susi Pudijastuti menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.
"Kami sedang mencari 250 ribu ABK yang bekerja di kapal asing yang berpotensi terjebak dalam kejahatan perdagangan orang," ujar Susi.
ADVERTISEMENT
Peraturan tersebut didasarkan atas laporan hasil penelitian International Organization of Migration (IOM) tentang perdagangan manusia di sektor perikanan Indonesia. Hasil penelitian itu menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis dan masif.
Terdapat lima butir laporan hasil penelitian IOM. Pertama, penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktik perekrutan dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara. Kedua, berbagai pernyataan dari saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Proses pembuatan kapal pinisi di Bulukumba (Foto: Instagram @explorebulukumba)
Ketiga, eksploitasi tenaga kerja dengan memaksa ABK bekerja lebih dari 20 jam per hari. Keempat, berbagai bentuk tindakan melawan hukum. Di antaranya mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, pemindahan kapal secara ilegal, dan pemalsuan dokumen.
ADVERTISEMENT
Kelima, tumpang tindih peraturan perundangan. Persoalan ini mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan perekrutan tenaga kerja, kondisi tenaga kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.
Kepala Misi IOM Indonesia Mark Getchell mengatakan, laporan setebal 122 halaman itu disusun berdasarkan kesaksian langsung para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapal. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan lkan Secara Ilegal (Satgas 115), KKP, serta bantuan dari Universitas Indonesia dan Universitas Coventry.
“Penelitian terhadap hasil wawancara dengan lebih dari 1.100 korban perdagangan orang menunjukkan pelanggaran HAM yang sistematis dan masif,” kata Getchell.
Peraturan ini menjadi penting mengingat Indonesia adalah pemasok terbesar ABK ke berbagai kapal, baik Kapal Ikan Asing (KIA) maupun Kapal Ikan Indonesia (KII). IOM juga melaporkan bahwa 1.207 dari 1.258 nelayan asing yang bekerja di kapal ikan asing merupakan korban perdagangan manusia di perairan domestik. IOM meminta pemerintah Indonesia lebih teliti merekam pergerakan kapal di perairannya, serta berinvestasi dalam pelatihan HAM dan Illegal Unregulated and Unreported (IUU) Fishing.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, KKP juga telah melakukan analisis dan evaluasi (AnEv) pada kapal ikan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri. Pasalnya banyak pelanggaran HAM serius terhadap tenaga kerja dalam pembuatan kapal tersebut. Hasil AnEv menemukan terjadinya perdagangan manusia dan perbudakan pada setidaknya 168 dari 1.132 kapal ikan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri.
Aksi Damai Tolak Perppu Ormas (Foto: Wahyuni Sahara/kumparan)
Revisi UU Ormas: Membatasi Kebebasan Berserikat?
Kecemasan berkembanganya kelompok dengan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila telah mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Penerbitan Perppu itu diumumkan oleh Menkopolhukam Wiranto pada 12 Juli 2017.
Menurut Wiranto, pertimbangan perlunya Perppu tersebut diterbitkan karena Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai untuk mencegah ideologi ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, baik dari aspek substantif ataupun prosedur.
ADVERTISEMENT
Alasan yang kedua ialah adanya keadaan yang membutuhkan atau mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Undang-undang yang lama, kata Wiranto, tidak membahas mengenai itu, sehingga terjadi kekosongan hukum.
"Yang ketiga, kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang baru yang secara prosedur membutuhkan waktu yang cukup lama, padahal suasananya sudah harus diselesaikan dan dituntaskan. Kalau menunggu, waktunya lama dan enggak bisa untuk segera mengatasi permasalahan yang ada," ungkap Wiranto di Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, 12 Juli 2017.
Perppu ini kemudian mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama tentu saja dari organisasi masyarakat. Di antaranya, tanggapan dari Nahdlatul Ulama yang bersikap mendukung Perppu itu menjadi undang-undang, dan dari Muhammadiyah yang bersikap sebaliknya.
Sejumlah anggota walkout di Paripurna Perppu Ormas (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Ketua Bidang Hukum PBNU Robiki Emhas berpendapat bahwa kelemahan dalam UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 ialah hanya mendefinisikan ideologi anti Pancasila berupa marxisme dan komunisme. Padahal ada banyak ideologi di dunia. Di sinilah Perppu tersebut menambal kelemahan UU Ormas itu dengan memperluas cakupan ideologi yang dinilai bertentangan dengan Pancasila..
ADVERTISEMENT
Sementara Muhammadiyah berargumen, bahwa Perppu tersebut secara substansial bertentangan dengan prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Pemerintah dikhawatirkan akan bertindak sewenang-wenang membubarkan suatu ormas jika dipandang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perppu ini pun dikenal sebagai Perppu 'pembubaran ormas', karena disusun setelah pemerintah mengumumkan sikapnya untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli.
Dalam perspektif HAM, Perppu ini dinilai mengancam HAM dan demokrasi Indonesia. Selain itu juga memunculkan potensi kekuasaan rezim menjadi otoriter. Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan, masyarakat sipil sebaiknya merapatkan barisan untuk mengawal agar rezim pemerintahan Presiden Jokowi tidak bertindak sewenang-wenang.
"Komnas HAM sudah sedari awal mengingatkan bahwa upaya negara menjaga kedaulatan bangsa dan falsafah negara, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum dan penghormatan HAM sebagaimana mandat konstitusi,” ujar Maneger, 20 Juli 2017.
ADVERTISEMENT
Perppu Ormas itu pun kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada 24 Oktober. HTI dan Persatuan Islam (Persis) mengajukan gugatan UU Ormas tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Kolom Agama di KTP: Tonggak Baru Emansipasi Penganut Kepercayaan
7 November 2017 merupakan hari yang bersejarah bagi para penganut kepercayaan di Indonesia. Sejak hari itu para penganut kepercayaan boleh mencantumkan kepercayaan mereka di luar 6 agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu) yang diakui pada kolom agama di KTP, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Putusan itu berawal dari 4 pemohon, yaitu dari penganut kepercayaan Komunitas Marapu di Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, dan penganut kepercayaan Sapto Darmo di Brebes.
ADVERTISEMENT
Mereka menggugat ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, yang pada intinya penganut kepercayaan tidak dicantumkan dalam kolom agama.
Ketentuan itu menghambat para pemohon yang merupakan penganut kepercayaan untuk bisa mengakses layanan publik, pendidikan, hingga bantuan sosial. Hal itu terjadi disebabkan kolom agama di KTP mereka yang dikosongkan, meski tercatat secara administrasi kependudukan.
Maka dari segi hak asasi manusia dan pemenuhan hak sipil warga negara, keputusan MK itu sangat penting dan bisa berdampak luas terhadap langkah pemberian jaminan serta kepastian hukum bagi penghayat kepercayaan di Indonesia.
Penghayat Ugamo dan Sunda Wiwitan di MK. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
Para penganut kepercayaan tidak lagi perlu mengosongkan kolom agama mereka atau menuliskan salah satu dari 6 agama resmi yang diakui pada kolom tersebut --yang bukan kepercayaan mereka-- agar dapat mengakses layanan publik.
ADVERTISEMENT
Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Suprih Suhartono menyatakan, dengan adanya putusan MK, kedudukan agama dan aliran kepercayaan menjadi dua entitas yang setara. “Kami bisa menuliskan kepercayaan kami seperti halnya saudara-saudara kami yang lain, di kolom KTP,” ujar Suprih kepada kumparan (21/11).
Putusan MK jelas bersifat mengikat. Artinya, pemerintah berkewajiban untuk mematuhinya. Namun, seperti halnya produk hukum lain, putusan MK ini tetap memiliki ruang interpretasi yang dapat diterjemahkan pemerintah sesuai konteks politik yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, secara politis, nasib para penghayat kepercayaan sebenarnya masih mengambang, sampai pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang bersifat implementatif. Maka persoalan tentang bagaimana putusan MK diterjemahkan pemerintah dalam tataran praktis, agaknya menjadi persoalan yang penting untuk diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini Kemendagri telah mewacanakan setidaknya tiga opsi pengisian kolom agama di e-KTP. Pertama, mencantumkan tulisan “Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, menuliskan “Penghayat Kepercayaan”. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama masing-masing aliran kepercayaan ke kolom agama e-KTP.
Tampaknya jalan masih panjang untuk membuat suatu kebijakan yang impelementatif terhadap putusan MK tersebut. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan perlu waktu untuk mendata kembali aliran kepercayaan yang saat ini tercatat ada 187 aliran kepercayaan versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembebasan KKB di Papua (Foto: Dok. Multimedia Polri)
Kekerasan dan Bias Pemberitaan di Papua
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kekerasan masih terjadi di Papua pada 2017. Setidaknya ada sekitar 13 kali terjadi kontak senjata antara aparat keamanan gabungan Polri dan TNI dengan kelompok yang disebut pemerintah sebagai “Kelompok Kriminal Bersenjata” (KKB) hingga bulan November.
ADVERTISEMENT
Pihak Kepolisian menyebut KKB mengisolasi akses jalan dari dan menuju desa Banti dan Kimbely di Kabupaten Timika. Kelompok itu juga dituding menyandera sekitar 1.300 warga yang sebagian besar adalah pendulang emas tradisional. Persoalan ini membuat pemerintah melakukan operasi pembebasan dengan menurunkan 200 petugas gabungan dari TNI dan Polri.
Beberapa pihak meragukan terjadinya penyanderaan sebagaimana yang dikatakan oleh aparat kepolisian. Keraguan itu muncul, salah satunya, karena kelompok penyandera tidak meminta tuntutan apa pun. Mereka yang meragukan klaim kepolisian itu memandang bahwa frasa penyanderaan digunakan untuk merepresi kelompok-kelompok yang mengekspresikan ketidakpuasan yang terjadi di Papua, misalnya soal pelanggaran HAM.
Peneliti dan penggiat hak asasi manusia dari Human Rigths Watch, Andreas Harsono, mengatakan bahwa istilah KKB atau sebutan separatis bagi kelompok tersebut sudah biasa digunakan oleh polisi dan tentara. Kemudian istilah tersebut diteruskan oleh berbagai media yang sebagian besar berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Itu kan bukan sandera dalam pengertian yang baku, kan yang terjadi itu. Tidak ada permintaan tebusan misalnya. Jadi saya kira istilah yang biasa menipu. Saya kira isu yang dipakai oleh polisi dan tentara di situ maupun media-media di sini, itu memelintir, menipu tujuannya,” kata Andreas kepada kumparan (20/11).
Masa Depan Hak Asasi Manusia (Foto: Getty Images)
Sehingga pemberitaan menyangkut persoalan kekerasan yang terjadi di Papua seringkali bias. Media-media besar yang berbasis di Jakarta cenderung menggunakan sumber hanya dari pihak pemerintah, misalnya TNI dan Polri. Wartawan asing pun masih belum bebas melakukan peliputan di Papua.
Akses untuk memperoleh informasi bagi wartawan yang melakukan peliputan di Papua cenderung sulit. Baik karena segi geografis yang membutuhkan biaya besar, maupun dari pihak pemerintah yang tidak memberikan kebebasan bagi wartawan di Papua. Andreas mengatakan sering ada ancaman dari pihak aparat keamanan kepada wartawan yang melakukan peliputan di sana.
ADVERTISEMENT
“Jadi meliput misalnya sengketa lahan ya di mana-mana di Indonesia itu berbahaya tetapi di Papua jauh lebih bahaya lagi. Sehingga banyak wartawan ketakutan, ada faktor ketakutan. Sehingga mereka cenderung mau main aman, main aman tentu berpihak pada yang kuat,” ujarnya.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berpandangan bahwa pemerintah mesti menjunjung asas keterbukaan guna menghindari friksi yang tidak perlu. Situasi ini pun harus dilihat sebagai bentuk ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua terhadap praktik kebijakan pemerintah di Papua.
"Pemerintah harus mampu menjawab akar persoalan sesungguhnya di Papua secara menyeluruh, termasuk berbagai ketidakadilan struktural dan impunitas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua," ujar Koordinator Kontras, Yati Andriyani pada Sabtu (11/11).
LGBT (Foto: Adam Berry/Getty Images)
MK Tolak Kriminalisasi Kumpul Kebo dan LGBT
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait perluasan aturan soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Gugatan tersebut terkait perbuatan zina dalam kumpul kebo hingga soal pemidanaan LGBT.
Pemohon menggugat Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang mengatur soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Pada gugatannya, pemohon meminta MK mengubah frasa dalam aturan-aturan tersebut agar membuat objek dalam aturan tersebut menjadi lebih luas.
Zina pada pasal 284 KUHP diminta turut mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Dengan kata lain, maka kumpul kebo akan bisa dijerat bila gugatan dikabulkan.
Pemerkosaan pada pasal 285 KUHP diminta mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun sebaliknya. Dengan kata lain, maka seorang perempuan yang memperkosa atau mencoba memperkosa laki-laki juga bisa dipidana.
ADVERTISEMENT
Perbuatan cabul sebagaimana pada pasal 292 KUHP diminta turut mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur. Hal ini membuat orang-orang yang memilih orientasi seksual sebagai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) akan bisa dijerat pidana.
Shinta Ratri di Pesantren Waria Yogya. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Menurut peneliti dan penggiat persoalan hak asasi manusia Rafendi Djamin, yang harus digaris bawahi terkait putusan MK adalah pertimbangan terhadap kondisi masyarakat saat ini. Hal tersebut tercermin dalam sikap toleransi dalam menyikapi permasalahan yang semestinya melalui peraturan-peraturan yang berlaku agar tidak memunculkan kekerasan dan main hakim sendiri.
“Jangan sampai memaksakan yang kemudian memunculkan tindakan-tindakan kekerasan, apalagi adanya suatu penyebaran kebencian kelompok tertentu yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan kekerasan tadi, yang jelas merupakan tindakan pidana tersendiri juga,” ujar Rafendi kepada kumparan, Kamis (14/12).
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Rafendi, acuan yang digunakan adalah konstitusi dan Pancasila. Serta norma-norma internasional yang sudah diadopsi, yang kemudian menjadi hukum internasional, yaitu semua norma yang ada dalam konvensi hak asasi manusia.
Terkait perilaku LGBT, Rafendi berpendapat persoalan itu berada di ranah privat, sehingga alih-alih dipidanakan justru negara memiliki kewajiban untuk melindunginya. Kelompok LGBT di Indonesia memang masih mengalami perlakukan yang diskriminatif melalui berbagai tindakan kelompok intoleran, kebijakan pemerintah, atau perorangan.
Hal itu tergambar dari beberapa kasus yang terjadi pada tahun 2017 seperti penangkapan 141 orang yang diduga melakukan “pesta seks gay” pada 25 Mei di Jakarta dan 51 orang pada 6 Oktober. Mereka ditahan oleh polisi karena dianggap melakukan hubungan sesama jenis sehingga dituduh melanggar Undang-Undang Pornografi.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, beredar juga sejumlah foto pesta gay di media sosial, padahal hal itu adalah ranah pribadi. Di Indonesia, hubungan sesama jenis memang tidak dianggap sebagai tindakan melanggar KUHP kecuali di Aceh.
Tentu ada banyak persoalan HAM lainnya yang terjadi selama tahun ini. Misalnya persekusi, penyerangan kebebasan berekspresi di kantor LBH Jakarta, putusan MK yang membolehkan pernikahan dengan orang satu kantor, dan tentu saja soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, seperti pembantaian pada 1965-1966, kasus Munir, dan pelanggaran HAM 1998.
Pusaran Kasus HAM di 2017 (Foto: ELSAM)