3 Pasal Krusial Revisi KUHP

30 Mei 2018 9:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat Timus RUU KUHP di Komisi III DPR (Foto: Ricad Saka/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Timus RUU KUHP di Komisi III DPR (Foto: Ricad Saka/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pembahasan Revisi Undang-undang KUHP masih berlanjut hingga kini. Ditargetkan selesai pada 17 Agustus mendatang, namun masih ada beberapa pasal yang belum selesai dirumuskan.
ADVERTISEMENT
Ada tiga pasal dalam draf RUU tersebut yang menuai perdebatan. Pertama perluasan pasal pidana asusila terkait kumpul kebo dan LGBT, kedua pasal tentang penghinaan presiden dan ketiga pasal penghinaan terhadap hakim.
Pasal LGBT dan Kumpul Kebo
Dalam KUHP saat ini, Pasal 495 ayat 1 hanya mengatur setiap orang berumur di bawah 18 tahun yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang berjenis kelamin sama, dipidana penjara dengan hukuman makskmal 9 tahun.
DPR mengusulkan perluasan pemidanaan bagi para LGBT, meminta agar perbuatan homoseksual atau pelaku LGBT antar orang dewasa juga dapat dipidana.
Sementara dalam Pasal 488 yang masuk dalam bagian perzinaan, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, akan dikenai pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta. Dalam perkembangannya, pasal kumpul kebo ini diusulkan menjadi delik aduan.
ADVERTISEMENT
Polemik pun bermunculan, publik menilai perluasan pasal ini berpotensi melanggar batasan ranah privat seseorang. Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menilai yang kepentingan yang dilindungi bersifat abstrak.
"Kalau bicara perluasan itu, yang harus dilihat yang sedang dilindungi kepentingan apa. Kalau di KUHP yang sekarang kan yang sedang dilindungi kan tentang keluarga dalam hal ini suami dan istri, karena dianggap sesuatu yang suci," papar Anggara kepada kumparan, Senin (30/5).
"Ketika ada persoalan dengan suami dan istri, maka itu jadi persoalan pidana tapi itu deliknya delik aduan. Tapi ketika sekarang diperluas kan bukan bentuk yang konkrit tapi bentuk yang abstrak, karena yang dilindungi soal moral," imbuhnya.
Anggara melanjutkan, jika yang dilindungi sudah soal moral maka harus diperhitungkan betul seberapa jauh nantinya pasal itu akan mengintervensi ruang pribat. Hal itu penting, sebab menangkap orang di ranah privat tak boleh dilakukan tanpa ada bukti pelanggaran hukum.
ADVERTISEMENT
"Ada yang namanya privat property itu kan orang enggak bisa masuk sembarangan tanpa izin. Ketika yang terjadi dalam tanda kutip zina di dalam ruang tertutup maka harus ada pelanggaran hukum dulu yang dilakukan, itu memasuki ruang property orang," ucap Anggara.
Selain itu, hal lain yang harus dipertimbangkan terkait hal tersebut adalah kemungkinan ketentuan itu mendiskriminasi strata sosial tertentu. Anggara berpendapat, penggerebekan biasanya terjadi pada strata sosial menengah ke bawah, sementara strata sosial atas tak akan tersentuh.
"Ada beberapa daerah di Indonesia itu maharnya begitu tinggi, sehingga orang jadi hidup serumah. Itu kan (yang dipersoalkan) ada dua, hubungan seksual sama hidup serumah tanpa ikatan pernikahan," kata Anggara.
"Hal-hal yang sangat kultural itu akan jadi persoalan ketika itu dihadapkan kepada hukum pidana. Itu peluang akan persekusinya semakin tinggi karena orang merasa jadi polisi moral," tutupnya.
Joko Widodo dan JK Pimpin Rapat Terbatas (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Joko Widodo dan JK Pimpin Rapat Terbatas (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Pasal Penghinaan Presiden
ADVERTISEMENT
Pasal ini tak kalah kontroversial dan melahirkan kritik dari banyak kalangan, lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 pernah membatalkan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan kepala negara. MK beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Kemudian di tahun 2015, Presiden Joko Widodo menghidupkan pasal penghinaan presiden dengan menyelipkan satu pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015.
Kini dalam RUKHP yang tengah dibahas di Panja RKUHP, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini kembali masuk. Pidananya cukup menakutkan, yakni maksimal selama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Panja RKUHP sendiri masih belum selesai merumuskan apakah pasal tersebut masuk dalam delik aduan atau delik biasa. Ada opsi yang merujuk pada delik biasa, namun lebih menekankan pada rumusan yang ikut diperberat.
ADVERTISEMENT
Terkait definisi penghinaan presiden yang bisa dipidana, menurut Anggota Panja RKUH Arsul Sani, meme atau gambar yang menghina serta menyudutkan presiden juga bisa berujung pidana. "Iya termasuk kan penghinaan, enggak hanya dengan kata-kata. Bisa gambar juga," ujar Arsul pada Selasa (29/5).
Dalam revisi UU KUHP, penghinaan presiden tertera di Pasal 262 hingga 264. Bunyinya adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Namun Anggara lagi-lagi menilai penerapan pasal tersebut tak relevan dalam revisi UU KUHP. Sebab draf KUHP lama yang berisi pasal penghinaan presiden berasal dari Belanda, padahal kondisi di Indonesia jauh berbeda dengan Belanda.
"Kita menggunakan sistem presiden sebagai kepala negara atau pun kepala pemerintahan. Kecuali kalau kita ada perdana menteri gitu," kata Anggara kepada kumparan pada Selasa (29/5).
Kembali masuknya pasal penghinaan presiden, juga dianggap Anggara melanggar etika hukum. "Memang secara aturan tak ada yang dilanggar, namun secara etika, masa iya yang sudah diputuskan MK dimasukkan lagi," ucap Anggara.
"Kalau menurut saya, presiden jangan baper lagi. Kalau baper, jangan jadi presiden," imbuhnya.
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pasal Penghinaan Terhadap Hakim
Dalam pasal ini, pihak yang melakukan penghinaan terhadap lembaga peradilan termasuk hakim bisa dipidana. Definisi penghinaan terhadap hakim, misalnya membuat kekacauan dalam ruang peradilan hingga menghina hakim dengan mengeluarkan kata kotor.
ADVERTISEMENT
Pembahasan itu menuai kontroversi sebab melebar pada kemungkinan laporan pidana, bagi wartawan yang memuat tulisan dan dianggap menghina pengadilan. "Yang harus hati-hati, kalau pasal itu bisa diterjemahkan bahwa siapa pun termasuk media atau medianya itu kemudian bisa dilaporkan karena komentarnya atau berita yang dianggap menghina pengadilan," ujar Arsul.
Adapun pasal penghinaan terhadap hakim dimuat dalam pasal 329 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum :
a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain;
ADVERTISEMENT
b. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.
c. Menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan atau
d. Mempublikasikan atau memperbolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.