4 Alasan MA Lepaskan Terdakwa BLBI Syafruddin Temenggung

1 Oktober 2019 12:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mahkamah Agung (MA) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mahkamah Agung (MA) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) mengungkap 4 pertimbangan yang menjadi dasar mengabulkan kasasi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Atas pertimbangan itu, MA memutuskan untuk melepaskan Syafruddin dalam kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
ADVERTISEMENT
"Oleh karena permohonan kasasi Terdakwa cukup beralasan hukum, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut patut untuk dikabulkan," bunyi putusan kasasi dikutip dari situs MA, Selasa (1/10).
Dalam dakwaan, Syafruddin didakwa melakukan penghapusan piutang BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) kepada petambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira serta menerbitkan SPKPS (Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham) dalam rangka penyelesaian kewajiban BDNI.
Padahal Sjamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim selaku pemilik BDNI tidak mengungkap informasi yang sebenarnya (misrepresentasi) ke BPPN terkait aset petambak. Sjamsul menyebut utang petambak ke BDNI lancar. Namun yang terjadi sesungguhnya utang petambak ke BDNI yang diserahkan ke BPPN merupakan kredit macet.
Eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, usai keluar dari rutan KPK, Selasa (9/7). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Perbuatan Syafruddin itu disebut dalam dakwaan merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
ADVERTISEMENT
Terkait dakwaan itu, hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI sudah menyatakan Syafruddin bersalah. Ia pun dihukum 13 tahun penjara dan kemudian diperberat menjadi 15 tahun penjara.
Dalam pertimbangan kasasi, Majelis Hakim MA menilai bahwa perbuatan Syafruddin terbukti sebagaimana diuraikan dalam dakwaan. Namun, hakim menilai perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.
Menurut hakim kasasi, ada kekeliruan pertimbangan dari hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI. Berikut 4 pertimbangan hakim MA dalam putusan kasasi:
1. Bahwa kekeliruan pertama adalah judex facti lalai mempertimbangkan bahwa kelahiran BPPN lahir dari kondisi darurat atau tidak normal sehingga diberikan hukum yang khusus yang bersifat hukum darurat dan hukum lex specialis.
Hukum darurat yang bersifat lex specialis ini diatur dalam Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN (PP BPPN).
ADVERTISEMENT
Kedua peraturan ini merupakan rezim hukum BPPN. PP BPPN ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan Undang-Undang Perbankan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 37 A Ayat (3) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m, bunyi ketentuan Undang-Undang ini tidak lain adalah norma hukum yang ada dalam peraturan pemerintah turunan atau pelaksanaan dari Pasal 37 A Ayat (9) UU Perbankan. Ketentuan undang-undang ini sebagai politik hukum pemerintah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/P/HUM/1999 yang menolak permohonan Uji Materi terhadap PP BPPN yang diajukan DPP Assosiasi Advokat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu pertimbangan MA dalam putusan ini adalah “Faktor emergency dan occasional demand" yang mendorong kelahiran Peraturan Pemerintah ini sebagai delegated legislation yang bersumber pada Pasal 37A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ....., beralasan untuk dapat diterima sebagai salah satu jalan keluar yang tidak dapat dielakkan .....”.
2. Kekeliruan kedua, judex facti menganggap penerbitan SKL merupakan perbuatan Terdakwa selaku Ketua BPPN secara pribadi. Kekeliruan ini merupakan turunan dari kekeliruan memahami rezim hukum BPPN.
Menurut rezim hukum BPPN setiap perbuatan Ketua BPPN adalah perbuatan BPPN. Sebagai perbuatan BPPN, maka BPPN harus mendapatkan persetujuan KKSK. KKSK memiliki kewenangan yang kuat dan pengambilankeputusan oleh BPPN yakni harus mendapatkan persetujuan KKSK. Dengan demikian, setiap perbuatan BPPN menjadi sah kalau mendapatkan persetujuan KKSK. Keanggotaan KKSK terdiri atas para menteri di bidang ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Susunan keanggotaan KKSK ini merupakan wujud perwakilan dari pemerintah sehingga setiap perbuatan BPPN sesungguhnya juga mengikat secara hukum pemerintah. Penerbitan SKL oleh ketua BPPN dilakukan setelah mendapat persetujuan KKSK. Hal ini berarti, penerbitan SKL sah menurut hukum yang mengaturnya, yaitu rezim hukum BPPN dan merupakan perbuatan hukum pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, walaupun penerbitan SKL dilakukan oleh Ketua BPPN namun pertanggungjawaban hukumnya adalah pemerintah karena pemerintah telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan penerbitan SKL dan pemerintah tidak pernah melakukan penolakan kepada langkah penerbitan SKL.
3. Kekeliruan ketiga, judex facti menerapkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara sebagai dasar hukum meletakkan penerbitan SKL sebagai perbuatan melawan hukum. Kekeliruan ini melawan tiga kenyataan hukum yang berkenaan dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara:
1). Kenyataan hukum pertama, Undang-Undang Perbendaharaan Negara dilahirkan untuk mengatur pelaksanaan ABPN dan APBD sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2). Kenyataan hukum kedua, BPPN bukan merupakan salah satu dari ruang lingkup obyek pengaturan Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
3). Kenyataan yang ketiga, subyek hukum yang tunduk pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara adalah pejabat perbendaharaan yang disebut secara limitatif. Organ BPPN dan juga KKSK tidak masuk dalam daftar pejabat perbendaharaan negara menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
ADVERTISEMENT
4. Kekeliruan yang keempat, judex facti keliru menentukan waktu terjadinya kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara yang dihitung oleh Penuntut Umum bukan pada saat penerbitan SKL tanggal 26 April 2004 dan bukan pada saat berhentinya Terdakwa sebagai Ketua BPPN dan juga bukan pada saat BPPN dinyatakan bubar pada tanggal 30 April 2004.
Kerugian negara baru dihitung pada saat penjualan aset Sjamsul Nursalim oleh Perusahaan Pengelolaan Asset (persero) dan Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Nomor 30/KMK.01/2005 tanggal 24 Mei 2007 kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand - seolah-olah menjadi beban dan tanggung jawab Terdakwa (quod non), padahal Terdakwa sudah tidak menjabat sebagai Ketua BPPN pada tahun 2007 (tiga tahun setelah dinyatakan BPPN telah bubar). Penuntut Umum tidak dapat membuktikan perhitungan kekurangan nilai aset pada saat BPPN dinyatakan bubar tahun 2004 dengan nilai penjualan aset Syamsul Nursalim tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, meskipun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan tetapi perbuatan Terdakwa bukan tindak pidana karena :
1). Bahwa pemberian persetujuan atas penerbitan bukti pelunasan tersebut dilakukan oleh KKSK dan penerbitan SKL merupakan melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa (KKSK dan Menteri BUMN) yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang diatur dan ditegaskan dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP;
2). Bahwa perbuatan Terdakwa tidak bertentangan dengan Undang- Undang Perbendaharaan Negara, karena Pasal 37 A UU Perbankan juncto PP Nomor 17 Tahun 1999 merupakan ketentuan Lex spesialis dari ketentuan umum sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum PP Nomor 17 Tahun 1999, Kewenangan BPPN tunduk pada Undang-Undang Perbankan bukan pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
ADVERTISEMENT
3). Bahwa LHP BPK Nomor 12/LHP/XXI/ tanggal 25 Agustus 2017 tidak sesuai dengan Standar Pemeriksaan Audit yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, yaitu tidak melakukan uji kelayakan atas bukti dokumen pendukung dalam LHP BPK tahun 2017 dengan dokumen atau informasi yang pernah diterima oleh Auditor BPK pada Tahun 2002 dan 2006 sebelumnya. Hal ini menunjukkan kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum KPK bersifat in dubio pro reo, bahwa dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian maka harus diputus dengan menguntungkan Terdakwa.
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan sebagaimana diuraikan di atas maka dakwaan Penuntut Umum Kesatu melanggar Pasal 2, kedua, melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak tepat dan tidak dapat diterapkan pada perbuatan Terdakwa selaku Ketua BPPN Periode 2002 – 2004, yang melaksanakan kewajiban dan perintah undang-undang selaku Pejabat Penyelenggara Negara;
ADVERTISEMENT
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena permohonan kasasi Terdakwa cukup beralasan hukum, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut patut untuk dikabulkan dan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi perbuatan Terdakwa tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum;
Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum sedangkan Terdakwa selama menjalani pemeriksaan dalam perkara ini ditahan, maka terhadap Terdakwa diperintahkan agar segera dikeluarkan dari tahanan.