Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
4 Mitigasi Gempa Bumi Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia
17 Desember 2017 10:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Berada di wilayah yang diapit oleh 3 lempeng tektonik, membuat Indonesia kerap dilanda gempa bumi. Seperti baru-baru ini, gempa bumi mengguncang Tasikmalaya dan beberapa wilayah di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Keresahan dan kepanikan kemudian menjadi hal yang menyelimuti masyarakat setelah gempa melanda. Tak selang lama, terminologi 'mitigasi' kerap dilontarkan untuk membekali masyarakat menghadapi gempa bumi ke depannya.
Biasanya, Jepang adalah negara yang sering dirujuk mengenai urusan gempa bumi. Namun, siapa sangka bahwa masyarakat Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki cara mitigasi gempa bumi berdasarkan kearifan lokal mereka. Kearifan lokal sendiri adalah kepribadian, identitas kultural mayarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, dan adat istiadat yang diajarkan dan dipraktikkan secara turun menurun.
Seperti apa mitigasi gempa bumi berbasis kearifan lokal masyarakat Indonesia? Berikut ini kumparan (kumparan.com) merangkum 4 mitigasi gempa bumi yang berbasis kearifan lokal di Indonesia.
1. Mitigasi Gempa Bumi Suku Baduy
ADVERTISEMENT
Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Masyarakat Baduy saat ini banyak yang mendiami Pegunungan Keundeng di Kabupaten Lebak, Banten.
Dalam merespons adanya gempa bumi, seperti digambarkan Suparmini dalam jurnalnya tahun 2014 masyarakat Baduy menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah tidak mudah roboh.
Selain itu, kolom bangunan dan sambungan tidak boleh menggunakan paku, hanya pasak dan tali ijuk yang boleh digunakan. Dengan demikian, meski terjadi gempa bumi, tercatat lingkungan masyarakat Baduy belum pernah mengalami kerusakan hebat.
ADVERTISEMENT
2. Mitigasi Gempa Bumi Masyarakat Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah kelompok individu yang tinggal di pulau-pulau kecil di bagian barat Provinsi Sumatera Barat. Wilayah Mentawai tercatat kerap dilanda gempa bumi dengan skala tinggi.
Oleh karena kerap dilanda gempa bumi, masyarakat Mentawai memiliki mitigasi yang berbasis kearifan lokal tersendiri. Berdasarkan uraian Ade Rahadian, penulis berdarah Minangkabau, mereka memiliki lagu berjudul Teteu Amusiast Loga (gempa akan datang tupai sudah menjerit).
Lagu tersebut kerap dinyanyikan oleh anak-anak Mentawai saat bermain gasing dari batang bakau atau manggis hutan juga saat bermain petak umpet. Namun, mereka yang menyanyikannya ini tidak tahu bahwa ada makna lain di balik lagu ini.
Kata 'Teteu' diartikan sebagai kakek atau juga bisa sebagai gempa bumi. Menurut kepercayaan masyarakat Mentawai yang beraliran Arat Sabulungan, mereka percaya pada roh-roh penguasa alam sejagat. Teteu adalah salah satu penguasa bumi. Jika Teteu murka, maka ia akan menggoncangkan bumi hingga mengeluarkan gempa.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum gempa tersebut mengguncang, ada beberapa pertanda yang disampaikan oleh binatang. Sebagai contohnya adalah tupai akan gelisah, begitu juga dengan ayam peliharaan akan berkotek tanpa sebab. Lagu ini tak ubahnya seperti early warning system yang bersifat kultural bagi masyarakat di Kepulauan Mentawai.
3. Mitigasi Gempa Bumi Masyarakat Tana Ai, Nusa Tenggara Timur
Masyarakat Tana Ai tinggal di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Menurut Ignasius Suban Angin dalam jurnalnya pada 2016, mereka percaya bahwa bumi diseimbangkan oleh ular naga. Gempa bumi kemudian akan mengguncang apabila ular naga tidak diberikan sesaji. Ular naga akan berontak karena murka dan menggetarkan bumi.
Saat gempa bumi terjadi, masyarakat Tana Ai akan berteriak ami norang (kami ada). Hal tersebut dilakukan untuk menjelaskan kepada ular naga yang sebelumnya merasa tidak ada lagi orang di muka bumi yang memberinya makan.
ADVERTISEMENT
Saat daerah mereka berguncang, masyarakat Tana Ai berhamburan keluar rumah dan mencari tempat aman, seperti lapangan terbuka. Mereka membangun barak untuk melindungi anak-anak dan orang tua.
4. Mitigasi Gempa Bumi Masyarakat Bali
Merujuk kepada penelitian I Wayan Subagia tahun 2012, masyarakat Bali belum memiliki pengetahuan memadai mengenai gempa bumi. Soal gempa bumi, masyarakat di Pulau Dewata, khususnya yang berada di Desa Culik, Kabupaten Karangasem dan Desa Pengastulan, Kabupate Buleleng percaya bahwa guncangan tersebut disebabkan oleh pergerakan ular besar (naga).
Saat gempa bumi terjadi, masyarakat Bali lari bergegas keluar, masuk ke kolong tempat tidur atau kolong meja, berangkulan satu sama lain, berteriak linuh, linuh, linuh, dan hidup, hidup, hidup.
ADVERTISEMENT
Mitigasi gempa bumi yang dilakukan masyarakat Bali digolongkan sebagai aksi spontan yang dilakukan secara turun menurun. Aksi spontan tersebut dikelompokkan menjadi 4 macam, seperti mencari perlindungan, memberitahu orang lain, menyampaikan keadaan diri sendiri, dan memohon perlindungan kepada Tuhan yang Maha Esa.