5 Poin Krusial di Draf Revisi UU yang Dianggap Melemahkan KPK

9 September 2019 16:41 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Dalam rapat paripurna pada Kamis, 5 September 2019, seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
ADVERTISEMENT
Saat ini, DPR hanya tinggal mengantongi persetujuan Presiden Jokowi melalui Surat Presiden (Surpres), untuk melanjutkan pembahasan revisi UU KPK.
Semenjak keputusan DPR yang mengajukan revisi UU KPK itu, gelombang penolakan terus mengalir. Sejumlah pihak menuding revisi ini sebagai bentuk upaya untuk melemahkan kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Sejumlah poin yang terkandung dalam draf itu dinilai melumpuhkan kewenangan yang selama ini dimiliki KPK. Mulai dari dari penyadapan hingga penghentian penyidikan dan penuntuan.
Berikut sejumlah poin dalam revisi UU KPK yang dinilai berdampak pada kerja KPK dalam pemberantasan korupsi:
Peraturan ini tertuang dalam draf di Pasal 1 angka 7, serta Pasal 24 ayat 2 dan 3. Dalam pasal itu, mengatur agar seluruh Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
ADVERTISEMENT
Nantinya, Pegawai Tetap KPK non-PNS akan termasuk ketegori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Sementara Pegawai Negeri yang Dipekerjakan di KPK akan menjadi ASN.
Hal itu dinilai akan berdampak pada independensi Pegawai KPK dalam penanganan perkara. Sebab, kenaikan pangkat, mutasi, hingga pengawasan akan melibatkan kementerian terkait.
Selain itu, berdasarkan draft itu pula nantinya Wadah Pegawai KPK akan digantikan oleh KOPRI. Sebab, seluruh ASN harus tergabung dalam wadah tunggal KOPRI.
Hal ini diatur dalam draf revisi di Pasal 12 B, Pasal 12 C, serta Pasal 37 E. Keempat pasal itu mengatur adanya Dewan pengawas yang nantinya akan mengawasi kerja KPK.
Pimpinan dan anggota Dewan Pengawas itu nantinya akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) atas usulan Presiden.
ADVERTISEMENT
Nantinya, proses hukum KPK seperti penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan, memerlukan izin Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas juga dinilai berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam melakukan tugasnya. Sehingga, proses hukum yang dilakukan KPK rentan bocor.
Peraturan ini diatur dalam draf revisi Pasal 40. Dalam pasal itu diatur. Nantinya, KPK dapat melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan yang prosesnya belum selesai dalam jangka waktu selama 1 tahun.
Kewenangan itu dinilai akan membuat penanganan kasus menjadi rawan untuk diintervensi. Hal itu juga dinilai akan memengaruhi menurunnya standar KPK dalam penanganan kasus.
Sebab, penanganan kasus besar dan lintas negara dipandang akan sangat sulit diselesaikan dalam waktu setahun.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini tertuang dalam Pasal 11 dalam RUU KPK. Dalam pasal itu, hanya ada kategori kasus yang dapat ditangani KPK.
Pertama, kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang berkaitan dengan kasus yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara. Kedua, kasus korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Tak ada lagi kategori kasus yang meresahkan masyarakat. Hal itu dinilai membatasi kewenangan KPK.
Ketentuan ini tertuang dalam revisi UU KPK Pasal 43 dan Pasal 43 A. Draf tersebut mengatur bahwa KPK hanya dibolehkan untuk merekrut penyelidik dari pihak Kepolisian.
Hal itu dinilai bisa menggangu independensi penyelidikan yang dilakukan KPK. Sebab saat ini, penyelidik KPK direkrut secara independen sebagai Pegawai Tetap dari berbagai keahlian.
ADVERTISEMENT
Aturan itu membuat penyelidik independen tidak akan ada lagi. Serta, nantinya penyelidik tidak punya kapasitas beragam dalam menghadapi kerumitan kasus.
Sedangkan untuk penyidik mensyaratkan harus berasal dari Kepolisian, Kejaksaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sehingga tidak mungkin penyidik berasal dari ketiga institusi tersebut. Artinya dihapuskan keberadaan penyidik independen.