Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
9 Alasan Presidential Threshold 20 Persen Digugat ke MK
21 Juni 2018 18:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold ) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi . Gugatan itu terkait aturan mengenai ambang pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
ADVERTISEMENT
Gugatan dilayangkan oleh 12 pakar yang berasal dari berbagai macam latar belakang. Mereka menginginkan agar ketentuan soal ambang batas menjadi 0% alias semua parpol bisa mengusung pasangan capres-cawapres, meski tidak punya kursi di DPR.
Salah satu penggugat, Hadar Nafis Gumay, mengakui bahwa aturan tersebut sudah pernah digugat sebelumnya dan ditolak oleh MK. Namun, mantan Komisioner KPU itu tetap meyakini gugatan yang dilayangkan kali ini akan dikabulkan. Sebab menurut dia, hal tersebut menyangkut hak warga Indonesia untuk memilih pemimpin.
"Justru karena sangat prinsipnya persoalan ini, maka izinkan kami memperjuangkan lagi hak rakyat Indonesia untuk secara bebas memilih calon presidennya. Kami optimistis dan meyakini bahwa majelis hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berkenan menyidangkan kasus ini secara cepat, dan akhirnya mengabulkan serta mengembalikan hak rakyat Indonesia untuk memilih langsung presidennya, tanpa dibatasi oleh syarat ambang batas pencalonan presiden yang bertentangan dengan UUD 1945," kata Hadar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/6).
Hadar memaparkan ada setidaknya 9 alasan yang dicantumkan dalam gugatan tersebut. Alasan-alasan itu yakni:
ADVERTISEMENT
1. Pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, pasal tersebut hanya mengatur soal syarat, bukan mengatur mengenai tata cara yang diamanatkan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
2. Pengaturan mengenai syarat capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh partai politik. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur adanya syarat persyaratan oleh partai politik bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengusulan calon presiden dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy. Sehingga pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya dinilai irasional. Oleh karenanya, pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya dinilai telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu. Oleh karenanya pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
7. Presidential threshold dinilai menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal. Sehingga hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena dinilai melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hadar mengakui bahwa waktu dalam gugatan yang diajukan ini sudah mepet dengan proses pemilu 2019. Namun ia berharap MK bisa memutus gugatan ini dengan cepat dan tepat karena perkara yang diajukan bukanlah perkara baru.
Ia pun meminta agar gugatan ini bisa langsung diterapkan bila nantinya dikabulkan. "Kami juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222 yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Gugatan sendiri diajukan oleh 12 orang, yakni Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua KY), Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (Ekonom), Hadar N. Gumay (mantan Pimpinan KPU), Bambang Widjojanto (mantan Pimpinan KPK), Rocky Gerung (Akademisi), Robertus Robet (Akademisi), Feri Amsari (Direktur Pusako Universitas Andalas).
Kemudian Angga Dwimas Sasongko (Profesional/Sutradara Film), Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah), Titi Anggraini (Direktur Perludem), dan Hasan Yahya (Profesional). Bertindak sebagai kuasa hukum atas permohonan ini adalah INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society).
Adapun ahli yang terlibat dalam gugatan ini, Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti.