Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Dalam satu pesta elite nan megah, sebuah keluarga mengundang tetangga mereka untuk datang. Ajaibnya pesta itu bukan diperuntukkan untuk keluarga mereka melainkan ke tetangga yang seorang putranya baru diterima kuliah kedokteran di kampus terbaik.
ADVERTISEMENT
Usut diusut, ternyata si remaja laki-laki itu lolos setelah mengikuti bimbel jutaan dolar. Bimbel tersebut hanya memiliki dua murid setiap tahunnya. Tetapi, garansinya sudah pasti, diterima di fakultas kedokteran, sesuai keinginan orang tua si remaja. Meski begitu belajar di bimbel ini justru memiliki efek samping.
Si anak laki-laki yang dianggap pintar ini kemudian justru ingin berbalik balas dendam ke orang tuanya. Rasa benci yang sudah berada di titik nadir tak bisa lagi ditahan. Alhasil, saat sang ibu mengetahui niatan tersebut, tak lama berselang ia menembakkan pistol ke lehernya. Perempuan paruh baya itu meninggal seketika. Darah bercucuran mengalir di tengah semilir udara dingin yang mencekam.
Pertanyaannya, kok bisa?
Tenang, itu hanya sandiwara belaka. Cerita itu hanyalah cuplikan drama Korea Sky Castle yang meraih rating tertinggi di negerinya.
ADVERTISEMENT
Drama tersebut seolah menjadi senarai replika atas apa yang sedang terjadi di negeri ginseng. Persaingan ketat nan mencekik terjadi kala anak-anak SMA berebut kursi universitas negeri. Utamanya untuk jurusan-jurusan favorit, semisal kedokteran.
Ihwal Sky Castle yang sedang digemari ini, nyatanya persaingan ketat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) juga terjadi di Indonesia. Data Kementerian Riset dan Teknologi menyebut, dari tahun 2014 hingga 2018 jumlah pendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN ) cenderung meningkat. Tahun 2018, pendaftar SBMPTN mencapai angka 817.257 peserta. Mereka berebut kursi-kursi di PTN dan jurusan favorit.
Sebagai contoh Raania Amaani (22). Tahun 2014, perempuan asal Lombok Timur itu turut dalam sengitnya perebutan kursi PTN. Raania berebut 1 dari 75 kursi jurusan kedokteran Universitas Indonesia yang dipertaruhkan di SBMPTN.
ADVERTISEMENT
“Yang daftar FK UI kalau enggak salah 5.000. Makanya aku enggak mau terlalu berharap tapi enggak mau pesimis juga. Doa saja,” cerita Raania saat berbincang dengan kumparan, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (17/2).
Ragam usaha dilakukan Raania demi mewujudkan mimpinya. Salah satunya adalah dengan mengikuti bimbingan belajar model karantina bernama Lavender di Depok, Jawa Barat.
“Aku tahunya dari website nyari-nyari sendiri. Wah yang punya bimbel Lavender dosen UI juga, aku mikir gitu kan. Ya sudah di situ aja,” Raania menjelaskan.
Selama dua bulan Raania ikut dalam program intensif bimbel Lavender dan merasa cocok dengan sistem yang diterapkan. Santai, tapi pengajar bimbel hampir selalu ada setiap saat. Jenis soal yang diberikan cukup banyak dan beragam. Meski orang tuanya harus menggelontorkan dana yang fantastis, yakni Rp 40 juta, Raania tetap mantap memilih bimbel mewah itu.
ADVERTISEMENT
Jika pada 2014 biaya bimbel karantina di Lavender Rp 40 juta, tahun 2019 sudah meningkat jadi Rp 56-68 juta untuk periode 5 pekan. Sementara, program nonkarantina dihargai sekitar Rp 37,5 juta untuk periode setahun.
Pemilik sekaligus pendiri bimbel Lavender, Galih Pandekar, membeberkan mengapa bimbel yang dikelolanya begitu mahal.
“Ya sekarang direct cost-nya memang sudah mahal. Nginep sudah di Santika (hotel berbintang). Coba saja tidur di Santika berapa harganya semalam? Taruhlah sehari Rp 700 ribu kali 30 hari berapa, itu baru kamar sama breakfast lho. Sementara kita harus nambah makan siang, makan malam, kelas,” papar Galih yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) ini kepada kumparan, Sabtu (17/2).
Dengan jargon the first exclusive bimbel in Indonesia Galih mulai menjalankan usahanya ini sedari 2011. Menurutnya, eksklusivitas dan fasilitas yang mewah mampu meminimalisasi berbagai hambatan pembelajaran. Selain itu, bimbelnya juga memberikan soal-soal yang tidak mudah. Satu prinsip yang dipegangnya, dia tak ingin memberikan soal-soal yang menyenangkan siswanya alias mudah. Tapi, Galih ingin memberikan soal yang sesuai kebutuhan siswa untuk ujian PTN.
ADVERTISEMENT
“Ibaratnya you bayar saya mahal, saya harus deliver something kan. Kalau enggak mau, ya terserah Anda. Katanya mau masuk FK? Masuk FK bisa enggak? Bisa tapi saya enggak bilang pelatihannya ringan lho,” kata Galih.
Beberapa kali Galih diprotes oleh anak didiknya karena nilai selama di Lavender tak lebih baik daripada di tempat-tempat bimbel lain. Meski begitu, bila dilihat pada akhirnya persentase kelulusan siswa-siswi Lavender menurut Galih relatif tinggi.
“Ya kadang 85 persen, berubah-ubah tapi jangan sampai di bawah 80 persenlah. Kalau yang reguler itu lebih rendah sekitar 70 persen-an. Karena kalau reguler kan kita enggak bisa kontrol dia datang,” Galih menyebutkan.
Tak Sepi Peminat
Yang jelas, banderol mahal tak lantas membuat bimbel mewah sepi peminat. Selain Raania, adapula Anggi. Bila Raania lolos masuk FK UI setelah ikut bimbel mewah selama dua bulan, Anggi harus melapangkan hati menunda satu tahun kuliahnya.
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 Anggi mendaftar jurusan kedokteran di Universitas Sebelas Maret, Universitas Jenderal Soedirman, dan Universitas Riau. Namun, siswi asal Padang, Sumatera Barat, itu tak lolos dalam seleksi tersebut.
Dia lantas memutuskan untuk menunda kuliah. Anggi memilih mempersiapkan diri dengan belajar setahun penuh untuk ikut lagi dalam SBMPTN 2019. Keinginan masuk jurusan kedokteran tak dapat tergantikan mengingat kuatnya tekad Anggi ditambah lagi dorongan sang orang tua.
“Pertama motivasi dari orang tua karena orang tuaku juga dokter. Papa dokter spesialis mata. Dia sudah nyemangatin dari kecil, pokoknya kamu harus jadi kayak ayah dong, ayah bisa masak kamu enggak bisa,” cerita Anggi saat bersua kumparan, Senin (18/2).
Anggi lalu terbang jauh-jauh dari Padang untuk ikut bimbel Lavender yang ada di Depok. Dia ikut program setahun yang dibanderol dengan harga Rp 37,5 juta. Baginya biaya tak menjadi masalah. Asal, kelak dia bisa diterima di PTN dengan jurusan kedokteran.
ADVERTISEMENT
Kisah serupa juga dialami oleh Ammar. Sama-sama dari Padang, Ammar juga berhasrat tinggi masuk ke jurusan kedokteran. Dia rela mempertaruhkan waktu satu tahunnya untuk fokus di Depok belajar mempersiapkan diri merebut satu kursi FK pada 2019. Musababnya sederhana, tapi terus terkenang dalam benak laki-laki 18 tahun itu.
“Waktu kecil saya pernah menderita asma kambuh, sakit demam dan dipanggil dokter dari lulusan PTS bukan PTN. Dia memberi saya obat yang dalam beberapa menit yang panas langsung dingin. Itu saya menyebut malapraktik, enggak mungkin dikasih obat langsung dingin,” cerita Ammar ketika ditemui di Lavender.
Selain Lavender, banyak juga calon mahasiswa yang ikut bimbel mewah lain demi menggaet jurusan favorit di kampus ternama. Semisal Akbar yang juga bertekad menjadi dokter. Dia ikut dalam bimbel reguler seharga Rp 20 juta pada tahun 2018 tetapi gagal dalam SBMPTN.
ADVERTISEMENT
Akbar tak patah arang. Dia lantas memutuskan bergabung dalam bimbel karantina Supercamp Matrix di Depok seharga Rp 49 juta. Tingginya biaya tersebut bagi Akbar tak jadi problem. Yang penting dia bisa lulus, jadi dokter, dan bisa mengobati banyak orang. Dengan modal demikian, Akbar berharap akan berhasil di percobaan keduanya tahun 2019 ini.
Yang menarik sekarang, mengapa para “pejuang” fakultas kedokteran itu melabuhkan asanya pada bimbel mewah?
Bimbel vs Sekolah
Jika menilik 10 tahun ke belakang, rupa bisnis bimbel tak seberagam sekarang. Bimbel seolah-seolah memiliki magi yang membuat orang berbondong-bondong mendaftar. Peserta bahkan tak ragu merogoh kocek dalam-dalam untuk mendaftar di bimbel mewah.
Bimbel bisa jadi sekolah kedua bagi sebagian orang. Tetapi, ada juga yang memilih bimbel sebagai ‘sekolah’ utama mereka. Salah seorang siswa SMAK BPK Penabur 3 Jakarta, Christopher Wijaya, mengaku lebih memilih bimbel daripada sekolah. Dia mengikuti program bimbel di Prosus Inten selama setahun dengan biaya Rp 13,5 juta.
ADVERTISEMENT
“Lebih pilih bimbel sebenarnya daripada sekolah, gara-gara lebih ngejar PTN-nya sih,” tutur Christ yang bertekad masuk jurusan akuntansi UGM ini.
Kondisi tersebut, menurut pemilik bimbel seperti Galih, mengindikasikan adanya kekurangan dalam dunia sekolah di Indonesia.
“Sekolah malah sibuk nyalahin bimbel bukan memperbaiki dirinya. Sekolah sibuk memperbaiki kurikulum. Padahal mesin utama itu apa? Gurunya. Jadi yang harus diperbaiki the people,” Galih mengungkapkan.
Adapun Ibu Christ, Lingga, sebenarnya berat hati memasukan anaknya ke bimbel mahal. Persoalannya berujung di masalah biaya.
“Kalau saya sih sebenarnya jadi masalah jugalah, mahal Rp 13,5 juta. Saya bayarnya nyicil, tiga kali pembayaran gitu lho. Ya saya pikir, ya sudahlah, bela-belain ajalah buat cita-citanya dia,” tutur Lingga.
ADVERTISEMENT
Namun, ia tegas tak setuju dengan sistem bimbel karantina yang sedang menjamur saat ini. Menurutnya, bimbel semacam itu menggunakan cara instan dengan menjejali materi ke peserta.
“Pelajaran setahun di-press dalam 5 minggu. Apa bisa? Pikiran saya sih gitu ya, apa anaknya sanggup? Kalau mungkin anaknya biasa tinggal jauh dari orang tua sih oke-oke aja,” tambah Lingga.
Kalau sudah begini, lantas bagaimana baiknya? Mari kita serap kata-kata yang diungkap salah satu keluarga dalam episode terakhir Sky Castle.
“Kita tidak dapat mengganti sistem pendidikan yang jelimet ini. Jadi hal yang setidaknya bisa kita lakukan sebagai orang tua adalah membantu anak kita. Menangkal sistem yang kejam ini dengan menyayangi anak kita.”
Anda sepakat?
ADVERTISEMENT
Sila tuliskan pendapat Anda di kolom komentar dan simak ulasan kami selengkapnya di topik bimbel mewah .