Apakah Instagram Bisa Mendorong Seseorang Jadi Jahat?

20 Juli 2018 18:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Begal (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Begal (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kejahatan yang terjadi di sekitar kita tak melulu dipicu oleh persoalan ekonomi semata. Namun gaya hidup yang kebablasan, kontrol diri yang kurang, ditambah kecenderungan mencari kesempurnaan di media sosial, bisa jadi faktor pendorong munculnya niat jahat.
ADVERTISEMENT
A, seorang begal yang dua kali masuk penjara bercerita, salah satu faktor yang memicu aksinya jadi pencuri motor bukan karena himpitan ekonomi. Dia datang dari keluarga berada. Bisa bersekolah sampai perguruan tinggi swasta. Dia punya kesempatan untuk jadi praktisi industri.
Namun, dia kini malah meringkuk di penjara. Dihukum berbulan-bulan di balik bui. Kakinya ditembak berulang kali oleh polisi. Kuliah berantakan. Demi apa? Ternyata demi sebuah pengakuan.
Pengakuan dari lingkungan sekitar soal eksistensinya secara sosial ternyata turut mempengaruhi aksi kejahatannya. Dan medium utama pengakuan eksistensi itu kini ada di Instagram.
"Ya gimana ya? ya jelaslah, untuk gaya. Kayak bisa dilihat di Instagram," ujar A kepada kumparan saat ditanya soal pemicu aksinya.
ADVERTISEMENT
A dalam akun Instagramnya sering menampilkan foto-foto seorang berandalan penuh gaya. Dia sesekali berpose di atas motor besar. Potret-potret dirinya yang sedang bergaya di beberapa tempat wisata hingga barang-barang bermerek yang ia kenakan terpapar rapi di timeline Instagramnya.
Menurut A, pemilihan gaya yang tepat akan berpengaruh ke strata sosial yang mereka idamkan. Selain itu, gaya hidup yang 'wah' bisa menguatkan posisi di antara para begal sendiri. Singkatnya, 'enggak wah, enggak keren'.
“Nah itu, gaya anak-anak Lampung kan apa namanya, seakan ‘hobi gue mahal bro, gaya hidup gue mewah bro’. Kan gitu kesannya, gengsinya penyebab utama. Mau kerja yang mudah, tapi hasil gede (besar),” kata A.
Ilustrasi Begal dan Rampok (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Begal dan Rampok (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Semakin mahal gaya yang ingin ditampilkan di Instagram, semakin besar daya dorong untuk berbuat jahat. Begitulah kira-kira logika berpikir A.
ADVERTISEMENT
Selain kasus A, pada 2017 lalu publik digemparkan oleh kasus puluhan ribu jemaah yang ditipu oleh Biro Haji dan Umrah First Travel. Adalah Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan yang jadi dalang penipuan.
Saat itu, First Travel mendapatkan omzet sebesar USD 60 juta. Namun jumlah uang fantastis itu tidak digunakan untuk memberangkatkan jemaah, sebagian besar dari uang tersebut digunakan untuk bersenang-senang.
Cincin yang digunakan Anniesa Hasibuan (Foto: Instagram/@anniesahasibuan)
zoom-in-whitePerbesar
Cincin yang digunakan Anniesa Hasibuan (Foto: Instagram/@anniesahasibuan)
Mereka berdua menggunakan uang jemaah untuk berfoya-foya. Mulai dari melancong ke berbagai negara, membeli barang bermerek, hingga mengoleksi kendaraan mewah.
Semua hal itu ditampilkan di Instagram. Rumah mewah di Sentul City, Bogor, mobil Ferrari sampai Lamborghini, tas Hermes, selalu jadi pemandangan sehari-hari postingan foto di akun keduanya.
Belum lagi penampilan dengan barang-barang branded seperti cincin ruby berlapis berlian, Tas Louis Vuitton, Sepatu Gucci, hingga jaket bulu yang kerap digunakan untuk bergaya di media sosial.
Mengalir ke mana duit jemaah First Travel? (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mengalir ke mana duit jemaah First Travel? (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Apakah ada kaitan antara keinginan Anniesa Hasibuan tampil sempurna dengan barang mewah di Instagram dengan kejahatan yang dilakukan? Belum pernah ada pengakuan langsung. Yang jelas, lewat postingan itu, followers dan fans Anniesa semakin bertambah.
ADVERTISEMENT
Tak hanya kejahatan pidana, sejumlah kasus lain yang muncul di Instagram adalah kebohongan. Pemalsuan lokasi foto, bentuk tubuh, barang yang dikenakan, dan sejumlah kepalsuan lain kerap ditunjukkan demi likes dan comments dari para followers. Tak lupa, banyak kasus juga foto-foto ekstrem demi Instagram yang kemudian mengancam keselamatan jiwa.
Pandangan Psikologis
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri menjelaskan, secara umum, tindakan kejahatan selalu didasari oleh dua hal, yaitu motif emosional dan instrumental. Motif emosional ini berhubungan dengan amarah atau muatan negatif tertentu.
“Kedua, juga ada kejahatan yang dilakukan tidak ada sangkut pautnya dengan emosi, namanya instrumental,” kata Reza Indragiri saat dihubungi kumparan, Jumat (20/7).
Untuk kasus A, Reza menjelaskan bahwa sebenarnya kasus tersebut bukanlah hal yang mengejutkan. Karena pada dasarnya, berbuat kejahatan untuk mendapatkan harta, nama, popularitas, atau hal lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan amarah atau emosi adalah motif lama, namun diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Terlebih, menurut Reza, kasus A semakin relevan karena biasanya kejahatan instrumental dilakukan kebanyakan oleh anak muda.
ADVERTISEMENT
“Ini akan semakin relevan kemudian kalo kita bicara pelakunya itu anak-anak muda, remaja, kebutuhan akan pengakuan itu kan sangat mendasar bagi mereka, ya mereka sudah lepas dari masa anak-anak, tapi menemukan kendala untuk eksis di komunitas dewasa,” ujar Reza.
Di ambang kegalauan itu, remaja kadang memilih jalan tengah yang mudah, namun tidak tepat. Hal itu dilakukan untuk dapat masuk dan diterima di komunitas dewasa itu.
Kasus A ini memang sungguh unik, bukan hanya karena dia berbuat kejahatan untuk eksis di media sosial, tetapi ia pun berbuat kejahatan untuk dapat diterima oleh kelompoknya. Secara tidak langsung, melalui media maya, ia ingin terlihat sebagai orang lain, menafikan perilakunya di dunia nyata sebagai begal.
ADVERTISEMENT
“Dia ingin mendapatkan pengakuan, nama di kelompok. Mendapatkan apapun yang tidak ada sangkut pautnya dengan emosi, penerimaan atau pengakuan dari teman sebayanya,” kata Reza.
Ilustrasi anak di penjara (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak di penjara (Foto: Pexels)
“Media sosial hanya sebuah instrumen yang memiliki daya melipatgandakan popularitas seseorang dengan cuma-cuma. kalau dulu mungkin orang coba eksis dengan cara mengukir kalimat di batang pohon. Sekarang bisa pajang di medsos, itu hanya jadi instrumen aja, katalisator, untuk memperkuat perilaku itu,” kata Reza.
Sebenarnya A sempat memiliki niat bertaubat, terlebih setelah ia merasakan dinginnya bui. Namun godaan kawan menjadi salah satu peluluh A hingga akhirnya kembali bergabung sebagai kelompok begal.
Menurut Reza, seorang mantan napi memang akan dihadapkan dengan kondisi yang sulit ketika baru bebas dari bui. Ada stigma seorang ‘bajingan’ yang melekat pada dirinya, dan itu menjadi salah satu faktor sulitnya dia untuk beradaptasi dengan lingkungan. Selain stigma, keinginan untuk eksis pun jadi salah satu penyebab A untuk kembali berporfesi sebagai begal.
ADVERTISEMENT
“Boleh jadi statusnya dia tertolak, dia orang bebas sudah keluar dari lapas, tapi di mata masyarakat dia seorang bajingan. Stigma itu tidak bisa dia tanggalkan, padahal penerimaan sosial itu merupakan sebuah hal yang krusial. Sehingga apa boleh buat, kebutuhan untuk diakui, diterima jadi bagian dari sebuah komunitas atau kelompok sosial harus dipenuhi, tapi kembali lagi dengan cara-cara yang melanggar hukum,” ujar Reza.
“Jadi komunitas itu yang kembali bisa menerima, bisa memaklumi, semacam itu. Ya tentu saja dengan ada faktor penarik dan pendorong,” kata Reza.
Faktor penarik yang dimaksud Reza adalah ajakan dari teman-teman dan lingkungannya. Sedangkan faktor pendorong, adalah ketidakmampuannya untuk berkata tidak, serta ketidakmampuannya untuk mendapatkan opsi-opsi lain.
Tas mewah milik Anniesa Hasibuan. (Foto: Instagram/@anniesahasibuan)
zoom-in-whitePerbesar
Tas mewah milik Anniesa Hasibuan. (Foto: Instagram/@anniesahasibuan)
Berkaca pada Kasus First Travel
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan A, kasus First Travel pun demikian. Mereka menipu orang untuk kepuasan tersendiri, termasuk bergaya di media sosial. Menurut psikolog forensik Kasandra Putranto, tindakan tersebut bisa dijelaskan dengan motif di balik tindakan pelaku.
"Setiap perilaku kejahatan pasti mengandung motif. Motif bisa bermacam-macam, ada motif ekonomi, motif seksual, motif sosial dan seterusnya. Gaya hidup adalah salah satunya," kata Kasandra saat dihubungi kumparan, Jumat (20/7).
Beberapa mobil First Travel yang disita oleh Kejari Depok. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa mobil First Travel yang disita oleh Kejari Depok. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Kasus antara A dengan bos First Travel pun agaknya hampir mirip. Bertindak melawan hukum untuk mendapatkan kepuasan tersendiri. Begitu juga setelah mendapatkan materi melimpah, mereka tetap melanjutkan tindakannya. Dalam pandangan psikologis, hal ini bisa dijelaskan dengan tingkat kapasitas mental pelaku.
"Ketidakmampuan mengendalikan impuls, minimnya pemahaman norma, agresivitas tinggi dan keterbatasan fungsi eksekutif atau pengambilan keputusan kerap menjadi latar belakang psikologis (yang memicu tindakan kriminal),” ujar psikolog forensik Kasandra Putranto.
Ilustrasi platform Instagram. (Foto: Dado Ruvic/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi platform Instagram. (Foto: Dado Ruvic/Reuters)
Instagram Bisa Jadi Candu
ADVERTISEMENT
Pengamat media sosial yang juga seorang akademisi, Agus Sudibyo, mengatakan bahwa secara umum media sosial mendorong orang serba spontan dan instan. Akibatnya seseorang kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi intrapersonal.
"Intrapersonal ini kemampuan orang untuk berbicara dengan diri sendiri. misal, 'ini kalo saya posting ganggu orang ga ya?' Itu yang hilang. Karena orang cenderung spontan dan cepat dalam mengunggah sesuatu," kata Agus saat dihubungi kumparan Jumat (20/7).
Dari hal tersebut, permasalahan mengular. Media sosial yang tadinya merupakan sarana berbagi, berdialog, dan berdiskusi seluas-luasnya telah berubah pakem. Kini media sosial lebih banyak digunakan untuk mendapatkan puja puji dari orang lain.
"Yang terjadi di medsos itu, kini memposting sesuatu bukan untuk berdiskusi lagi, tapi untuk dapat puja-puji dari orang lain. Jadi yang diharapkan seseorang dari postingan itu kini bukan diskusi lagi, tapi mendapatkan pujian, pengakuan, jempol," kata Agus.
Ilustrasi Jempol (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jempol (Foto: Pexels)
Selain itu, media sosial juga kini menjadi candu bagi sebagian penggunanya. "Jadi selalu pengakuan yang jadi trigernya, keinginan dapat pengakuan, bukan untuk berdiskusi, makanya kemudian yang diposting lebih banyak yang privat, orang lagi makan di mana, sedang jengkel ke siapa, itu ditulis, apa hubungannya dengan publik?" kata Agus.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Agus menuturkan bahwa saat ini dampak buruk dari media sosial adalah sulitnya membedakan realitas dengan fiksi. Dalam kasus A atau First Travel, Agus mengatakan bahwa orang-orang tersebut berhalusinasi di ruang publik. Mereka menjadi orang yang berbeda dari kenyataannya di dunia nyata.
"Itu jelas penyakit, orang yang tidak bisa membedakan realitas dengan fiksi," kata Agus.
***
Anda setuju dengan pendapat-pendapat di atas? Atau punya pandangan lain? Silakan share di kolom komentar.