Aturan Larangan Publikasi Hasil Survei Digugat ke MK

15 Maret 2019 16:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) mengajukan uji materi atau judicial review (JC) pasal pelarangan publikasi hasil survei di masa tenang pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Larangan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
ADVERTISEMENT
"Larangan itu ada di pasal 449 ayat 2 dan 5 tentang pengumuman hasil survei yang tidak boleh dilakukan di masa tenang dan pengumuman hasil hitung cepat hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah waktu Indonesia bagian barat," kata ketua AROPI, Sunarto Cipto Harjono, di Gedung LSI, Jakarta Timur, Jumat (15/3).
Sunarto mengatakan, pasal ini menyebabkan masyarakat yang ingin tahu hasil pemilu lebih cepat kecewa. Sebab, hasil hitung cepat baru bisa dipublikasikan dua jam usai pemungutan suara selesai dilakukan di wilayah waktu Indonesia bagian barat.
Selain pasal 449, AROPI juga turut melakukan JC pada dua pasal lainnya, yakni pasal 509 yang berisi ancaman hukuman pidana pada pihak yang mengumumkan hasil survei. Serta pasal 540 ayat 2 yang berisi ancaman pidana penjara dan denda apabila Lembaga Survei masih melakukan tindakan sebagaimana yang tertuang di pasal 449 ayat 2 dan 5.
ADVERTISEMENT
"AROPI mengajak seluruh elemen masyarakat yang lembaga terkait, seperti lembaga penyiaran, asosiasi jurnalis, dan seluruh lembaga survei untuk mendukung langkah-langkah judicial review ini, karena hal ini juga merugikan media," katanya.
Ketua AROPI, Sunarto Cipto Harjono, di Gedung LSI, Jakarta Timur, Jumat (15/3). Foto: Lutfan Darmawan/kumparan
Pernah diuji materi dua kali dan dikabulkan
Pasal terkait pelarangan ini sebenarnya sudah pernah dua kali dilakukan JC oleh AROPI. Yang pertama pada tahun 2008, yang dilakukan terhadap UU nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Dalam pasal 188 ayat 2,3, dan 5 serta pasal 228 dan pasal 255 di UU tersebut, tertuang penjelasan yang memungkinkan peneliti lembaga survei dijerat hukum pidana apabila mengumumkan hasil survei pada masa tenang dan mempublikasikan perhitungan cepat di hari 'H' pemilu. Permintaan JC yang dilakukan oleh AROPI tersebut pun dikabulkan oleh MK sehingga larangan dicabut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya hal yang sama terulang di tahun 2014. Namun kala itu, yang mengajukan JC adalah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) ke MK.
JC tersebut bertujuan untuk meninjau kembali UU Nomor 8 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang tersebut memuat peraturan yang serupa dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 yang berisi pembatasan penyiaran hitung cepat 2 jam setelah TPS ditutup di wilayah waktu Indonesia bagian barat. Kembali JC dikabulkan oleh MK.
"Perkara semacam ini seharusnya tidak perlu terulang kembali. Mengingat Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan judicial review yang diajukan AROPI dan PERSEPI dengan substansi permasalahan serupa. Apabila undang-undang ini tetap digunakan justru akan menimbulkan ketidakpastiaan hukum," katanya.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian hukum tersebut sebab putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 terkait JC sebelumnya masih berlaku. Sunarto menyebut, perkara ini juga mengindikasikan contoh bentuk produk legislasi yang tidak tertib. Peraturan dengan substansi serupa terus dihidupkan kembali, padahal sudah berulang kali digugat dan dikabulkan oleh MK.
"Pengajuan judicial review terhadap undang-undang yang mengancam hak keingintahuan masyarakat terkait hasil hitung cepat juga dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat berdasar," imbuhnya.
Mengingat pemilu tinggal satu bulan lagi dan hasil hitung cepat bakal keluar beberapa saat setelah pemilu, Sunarto meminta MK untuk bisa merespons JC ini dengan cepat.
"AROPI memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempercepat putusan atas permohonan judicial review ini sebelum Masa Tenang," pungkasnya.
Berikut pasal 449 ayat 2 dan 5, pasal 509, dan 540 ayat 2 UU Pemilu yang diuji materi ke MK,
ADVERTISEMENT
Pasal 449
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang.
(5) Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat
Pasal 509
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
Pasal 540
(2) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)
ADVERTISEMENT