Bagaimana Konservasi yang Baik untuk Lumba-lumba?

1 November 2018 11:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik Sirkus Lumba-lumba. (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Polemik Sirkus Lumba-lumba. (Foto: kumparan)
ADVERTISEMENT
Sebuah poster raksasa terpasang di pertigaan Jalan Raya Grand Depok City, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
"Saksikanlah!!! Pentas lumba-lumba dan aneka satwa. Buka setiap hari di samping Waterpark GDC Kota Kembang Depok".
Pengumuman tersebut disertai dengan gambar lumba-lumba beserta pengunjung yang antre berfoto bersama si bintang pentas. Tenda biru besar dibangun di sebuah lahan kosong yang sesak oleh pengunjung juga penjual makanan ringan.
Pengeras suara tak hentinya berbunyi, mengajak masyarakat untuk segera membeli tiket sirkus lumba-lumba yang jadi hiburan utama.
Dalam sehari, sirkus lumba lumba oleh PT. Wersut Seguni Indonesia (WSI) ini digelar sebanyak 4 hingga 5 kali. Mulai pukul 8 pagi hingga 9 malam.
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Menurut WSI sirkus lumba-lumba keliling merupakan bentuk konservasi sekaligus edukasi yang murah dan menyenangkan bagi anak-anak.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, peneliti Oseanografi LIPI Sekar Mira, berpendapat bahwa konservasi yang paling baik dilakukan di habitat asli si mamalia yakni di lautan.
"Konservasi yang paling baik adl konservasi yang dilakukan di alamnya dengan meminimalisir segala tekanan kepada satwa tersebut, jadi konservasi secara insitu itu lebih baik," ungkap Mira panggilan akrabnya pada Selasa (23/10).
Mira beranggapan, konservasi eksitu idealnya dipergunakan apabila satwa tersebut dalam kondisi rawan kepunahan. Sedangkan lumba-lumba saat ini masih berstatus sebagai satwa dilindungi bukan satwa langka.
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Tak lupa, Mira menegaskan, konservasi eksitu harus memegang prinsip rescue (penyelamatan), rehabilitasi dan release (pelepasan ke habitat asli).
"Pertama kita melakukan pengambilan, pemeliharaan untuk me-rescue atau menyelamatkan nyawa dari hewan tersebut. Lalu ketika kita sudah menyelamatkan kita memegang prinsip rehab. Artinya ketika pulih, kita harus lepaskan kembali ke alam yaitu release. Nah itu yang kadang kita lupa bahwa ada siklus itu yang kita jalankan," lanjut Mira.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Mira, Benfika aktivis hewan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengatakan di habitat aslinya lumba-lumba bisa bertahan hidup hingga lebih dari 30 tahun lamanya.
Namun, bila lumba-lumba dibiarkan hidup dalam kolam kecil dengan air laut buatan, dibawa keliling menggunakan jalur darat dalam kotak sempit, mamalia cerdas ini hanya bisa bertahan hidup selama 3-10 tahun.
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sirkus lumba-lumba keliling. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Belum lagi, suara riuh penonton dan musik yang keras menyebabkan lumba-lumba rawan stress karena tak sesuai dengan habitat aslinya.
"Lumba-lumba memang berkomunikasi dengan gelombang ultrasonik tapi dia juga bisa mendengar, gelombang suara yang bisa didengar oleh kita. Artinya ketika dia di sirkus, itu dia bisa mendengar musik. Dan pastinya sangat bising ya, karena kan kalau di laut enggak seperti itu. Lagi pada sorak sorai, kencang musiknya gitu kan," jelas Mira.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, konservasi lumba-lumba secara insitu sudah dilakukan di beberapa tempat. Seperti, di Teluk Kilauan, Lampung. Masyarakat yang ingin mengenal lebih dekat lumba-lumba bisa berkunjung ke sana dan melihat langsung bagaimana mamalia itu hidup di alamnya.
-------------------------------------
Simak ulasan lengkap sirkus lumba-lumba keliling di konten spesial kumparan dengan mengikuti topik Sirkus Lumba-lumba