Beban 10 Ton di Pundak Karwin, Buruh Angkut Tertua di Sunda Kelapa

6 Maret 2018 14:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jakarta selalu punya cerita, begitu katanya. Ada cerita tentang cinta, perjuangan, duka dan nestapa.
ADVERTISEMENT
Tentang perjuangan, ujung Jakarta menyimpan sejuta cerita. Lihat saja Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan tua di Jakarta yang pernah menjadi pusat perdagangan saat masa kerajaan dulu.
Pagi itu matahari cukup bersahabat di Sunda Kelapa, tak terlalu terik tapi cukup hangat. Dari arah menuju pelabuhan, di sebelah kiri Sunda Kelapa, berlabuh kapal-kapal kayu besar.
Di sela-sela kapal besar itu, beberapa orang menawarkan jasa keliling pelabuhan dengan sampannya. Sementara, di sebelah kanannya ada pemandangan sekitar ratusan peti kemas bertumpuk.
Tak banyak orang yang berlalu lalang hari itu. Ya, karena hari Minggu sebagian orang mungkin menghabiskan waktu liburnya.
Namun, tetap saja ada beberapa orang yang beraktivitas. Mereka mengangkut barang dari sebuah kapal ke dalam truk. Di Sunda Kelapa, mereka dikenal sebagai buruh angkut.
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Ratusan buruh angkut hidup di Sunda Kelapa. Mereka datang dari berbagai daerah. Harapannya cuma satu, bisa mengais rupiah supaya keluarga mereka bisa tetap makan.
ADVERTISEMENT
Di antara ratusan buruh itu, tinggal seorang buruh angkut bernama Karwin. Usinya tak lagi muda, tepatnya 66 tahun. Ia disebut-sebut oleh para buruh di sana sebagai buruh angkut paling tua.
Ya, seharusnya orang seusia Karwin tengah bersantai di rumah menghabiskan waktu untuk keluarga. Nyatanya, pria berambut panjang itu justru harus membanting tulang habis-habisan di kerasnya Ibu Kota.
Karwin berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tahun 1986 lalu, ia mulai merantau ke Jakarta menjadi buruh angkut dan meninggalkan istrinya di kampung.
"Ya saya dulunya kan ikut teman. Ada berita kalau kerja di sini menguntungkan ya jadi saya membuktikan. Ya bongkar kayu bongkar kapal. Bawa kayu dari Ponti (Pontianak). Saya mulai kerja di sini tu mulai tahun 1986," cerita Karwin kepada kumparan (kumparan.com) di atas dek kapal, Minggu (4/3).
ADVERTISEMENT
Buruh angkut menjadi pilihan Karwin lantaran ia mengaku tak memiliki satu pun keahlian. Di kampung halamannya, tak ada lapangan pekerjaan yang dirasa pas untuknya. Ia hanya bisa menyadap buah kelapa. Tapi, pekerjaan itu tak bisa menghasilkan pendapatan yang sesuai harapan.
Sampai di Jakarta, 30 tahunan lalu, Karwin mulai menjadi buruh angkut kayu di pelabuhan. Kayu-kayu itu berasal di Kalimantan. Namun, ia kini tak lagi mengangkut kayu. Selepas Suharto lengser, kayu-kayu tak lagi diangkut kapal, melainkan peti kemas. Regulasi mengangkut kayu pun menjadi lebih rumit, itu kata Karwin.
Karwin, Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
Kini, Karwin setiap harinya mengangkut barang-barang rumah tangga dan bangunan. Jumlahnya tak sembarangan, bisa mencapai 300 ton hingga 500 ton yang dikerjakan bersama kelompoknya, berjumlah sekitar 30 hingga 40 orang.
ADVERTISEMENT
"Ya tergantung pengiriman. Kalau pengiriman banyak ya minimal sekitar 300 ton bisa," sebut Karwin.
Tak jarang, pegal-pegal mulai dirasa Karwin setelah mengangkut kayu-kayu. Jamu adalah obat manjur yang setia menemaninya.
"Ya kadang-kadang ya terasa kalau bangun tidur itu terasa pegel-pegel paginya," kata Karwin.
Tertimpa tabung oksigen
Pada suatu hari, nasib malang menghampiri Karwin. Kakinya tertimpa sebuah tabung oksigen besar yang tengah diangkut kala itu. Peristiwa nahas itu terjadi pada Januari 2017.
Kaki Karwin berdarah, muncul sebuah luka cukup luas yang membekas hingga kini.
Meski kakinya terluka parah, tak ada sedikit pun pengobatan yang diterima Karwin dari mandornya saat itu.
"Ini enggak diurus sama mandornya. Sama koperasi juga enggak diurus. Itu ketiban tabung oksigen yang panjang itu," ujar bapak anak tiga itu.
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Setelah ditimpa tabung oksigen, Karwin tak bisa berjalan dengan baik. Ia pun harus rela pulang ke kampung halaman dengan membawa luka parah di kakinya. Tujuh bulan lamanya ia habiskan di rumah.
ADVERTISEMENT
"Sempat enggak bisa jalan. Di rumah itu sampai 7 bulan enggak bisa jalan. Sore kayak digigit semut rasanya terus siang-siang ada pletusan darah," jelas Karwin sembari menunjukkan lukanya.
Tujuh bulan berlalu Karwin akhirnya memutuskan untuk kembali ke Sunda Kelapa. Ia menyebut kakinya sudah kembali normal. Akan tetapi, bila dilihat cara berjalan Karwin sedikit tertatih.
Pendapatan
Soal pendapatan, tak banyak rupiah yang bisa digenggam oleh seorang buruh angkut. Karwin menyebut upah yang ia terima tidaklah pasti.
"Pendapatan itu tergantung orangnya. Misalnya 300 ton itu sampai orang 40 atau 30 ya pendapatannya kecil. Itu waktu dulu, sekarang agak mending itu borongannya langsung dari mandor," terang Karwin.
Tapi ia kini bersyukur, upah yang ia terima bertambah. Meski begitu, upah yang diterima Karwin tersebut masih jauh bila dibandingkan dengan UMR Jakarta yang kini berkisar Rp 3,6 juta.
ADVERTISEMENT
"Paling minim sehari 50 lah. Kalau besar bisa sampai seratus," ucap Karwin.
Upah sebagai buruh angkut dihitung harian. Itu artinya, bila tak bekerja ia tak bisa mendapat uang.
Dengan uang yang cukup, Karwin mengaku bisa pulang ke kampung halaman dengan lega. Namun, bila hanya sedikit uang yang ia kantongi, ia tak berani pulang.
Karwin, Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
Sebagai seorang kepala keluarga, segala kebutuhan rumah tangga hanya bergantung pada Karwin. Dua anaknya masih menempuh pendidikan. Sementara, anak sulungnya kini tengah mencari peruntungan dengan menjual ayam goreng di kampung.
Menjadi seorang buruh angkut tak pernah ada dalam bayangan Karwin. Ia sempat mengeluh hanya bisa menjalani pekerjaan ini.
"Dalam hati sih ya ngeluh. Ngeluhnya kok saya jatuhnya jadi kerja begini. Keluarga enggak bisa ketemu. Menyesal," keluh Karwin.
ADVERTISEMENT
Bagi Karwin, sesama anggota keluarga itu harusnya bisa bertemu setiap saat. Namun, apa yang ia alami adalah sebuah kontradiksi.
Merindukan keluarga adalah hal terberat bagi Karwin. Harapannya, ia bisa segera berkumpul dengan keluarganya. Setelah semua anaknya lulus dari sekolah, Karwin berencana mewujudkan mimpinya itu.