Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suasana anjungan YYA milik anak perusahaan Pertamina di lepas pantai Karawang berubah mencekam Senin siang (15/7). Menara atau rig pengeboran ENSCO 67 yang berada di anjungan tiba-tiba mengeluarkan asap cokelat pekat. Melihat itu, empat orang pekerja berseragam oranye yang berada di bagian atas menara lari tunggang-langgang menuruni puluhan anak tangga anjungan. Sementara pekerja lain di seberang menara terdengar menenangkan rekan-rekannya yang bertemperasan. Ia berseru, “Jangan panik, jangan panik.”
Situasi tersebut terekam dalam video singkat yang diterima kumparan pada Jumat malam (2/8). Video yang didapat sumber kumparan dari lingkaran Pertamina itu merupakan fragmen atas rangkaian petaka kebocoran sumur minyak di anjungan YYA milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ). Kebocoran itu lantas mengakibatkan tumpahan minyak menyebar ke perairan Karawang di Jawa Barat hingga Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta.
Pertamina mengatakan, kebocoran sumur minyak YYA-1 terjadi sejak Jumat 12 Juli 2019 pukul 01.30 WIB. Kala itu para pekerja tengah membuka kembali sumur minyak (re-entry) yang sebelumnya pernah digali tahun 2011 dengan nama YYA-4. Namun saat pekerja tengah melakukan pelubangan ulang (re-perforasi), tiba-tiba muncul gelembung gas di sana.
Petugas operasional anjungan kemudian berusaha mengatasi masalah tersebut, tetapi gelembung gas ternyata kian besar dua hari kemudian. Minggu malam (14/7) pukul 22.40 WIB, sekitar 60 pekerja dievakuasi dari anjungan yang berjarak dua kilometer dari pantai.
“Ketika mulai ada gelembung gas ini, teman-teman sudah mulai merasa this is more than apa yang mereka ekspektasikan,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman kepada kumparan usai konferensi pers ‘Penanganan Tumpahan Minyak di Perairan Karawang’ di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (1/8).
Awal pekan, 15 Juli, kondisi di anjungan YY semakin genting sehingga PHE ONWJ menyatakan keadaan darurat. Mereka berkirim surat kepada SKK Migas dan Kementerian ESDM untuk mengabarkan situasi tersebut sekaligus meminta bantuan.
Direktur Hulu Pertamina Dharmawan Samsu bergegas menghubungi pihak-pihak terkait seperti Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, Kementerian LHK, TNI dan Polri, Kemenko Ekonomi, Basarnas, Pemda, WALHI, dan lain-lain untuk melakukan koordinasi darurat.
Sementara koordinasi berlangsung, kondisi di lapangan setiap harinya semakin parah. Keesokannya, Selasa (16/7), selain gelembung gas yang terus keluar, lapisan minyak (oil sheen) mulai terlihat di permukaan laut sekitar anjungan YY.
Rabu (17/7), bukan hanya lapisan minyak yang muncul, tapi juga tumpahan minyak (oil spill) yang mulai terlihat mengambang. Tumpahan minyak itu menyebar ke berbagai area anjungan hingga mencapai pantai Karawang pada hari berikutnya, Kamis (18/7).
Direksi Pertamina terus bersiaga 24 jam. “Jangankan operasional, saya aja yang jadi VP Communication 24 jam (berjaga),” ujar Fajriyah.
Indikasi sementara dari fakta yang ditemukan di lapangan adalah terjadi anomali tekanan pada saat mengebor sumur YYA-1. Namun, soal kenapa bisa muncul anomali tekanan itu, Pertamina belum bisa menjelaskan karena proses investigasi masih berjalan.
Dugaan keterkaitan skema gross split—yang saat ini diterapkan PT Pertamina Hulu Energi untuk pertama kalinya—dengan musibah kebocoran minyak tersebut dibantah oleh Dharmawan selaku Direktur Hulu Pertamina.
Gross split adalah perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang dilakukan di awal. Dengan skema ini, biaya operasional sepenuhnya ditanggung kontraktor. PHE di awal pelaksanaan sistem gross split mendapatkan bagi hasil minyak sebesar 57,5 persen dan gas 62,5 persen, sedangkan bagian sisanya untuk negara. Persentase pembagian terus mengalami perubahan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Skema itu berlaku efektif sejak 19 Januari 2017 dengan jangka waktu kontrak 20 tahun. Sebelumnya, PHE menggunakan skema cost recovery atau pengembalian biaya operasional. Artinya, biaya operasional yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas akan diganti oleh negara.
Spekulasi beredar bahwa gross split membuat PHE melakukan efesiensi atau pemangkasan ongkos produksi. Hal itulah yang dibantah mentah-mentah oleh Dharmawan.
“Tidak ada prosedur yang dikorbankan hanya karena kita melakukan gross split,” ujarnya.
Blok PHE ONWJ sudah beroperasi sejak tahun 1971. Area seluas 8.300 km persegi ini membentang dari utara Cirebon sampai Kepulauan Seribu. Di sana, terdapat sekitar 200 sumur minyak aktif dan 219 struktur anjungan lepas pantai yang 136 di antaranya merupakan anjungan aktif.
Blok tersebut memproduksi 28 ribu sampai 29 ribu barel per hari untuk 100 juta kaki kubik minyak dan gas per hari yang dipakai untuk kebutuhan industri di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Anjungan YYA yang jadi zona awal kebocoran minyak rencananya mulai berproduksi lagi pada September 2019. Proyek ini semula diproyeksikan menyumbang produksi minyak tambahan 4.065 barel per hari dan gas 25,5 juta kaki kubik per hari. Untuk melaksanakan proyek itu, Pertamina membutuhkan biaya sebesar US$ 85,4 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun.
Sayangnya, belum sempat harapan tersebut terwujud, sumur YYA-1 yang sedang dilubangi ulang justru mengalami kebocoran. Dampaknya tak main-main. Volume tumpahan minyak yang keluar sejak hari pertama konstan berada di angka 3.000 barel per hari. Ia merangsek daratan dan mengganggu aktivitas warga pesisir seperti nelayan, penambak, dan petani keramba.
Sekitar dua pekan setelah munculnya tumpahan minyak di perairan Karawang, warga Kepulauan Seribu di utara Jakarta juga melihat wujud senyawa hidrokarbon itu.
“(Minyak) sudah ada dua minggu ini. Pas kebocoran (di perairan Karawang) itu, malamnya bocor, lalu langsung sampai ke mari itu minyaknya,” kata Udin, nelayan setempat, kepada kumparan di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Rabu (31/7).
Udin yang biasa melaut pun hari itu tak pergi ke laut. Nasibnya jadi tak menentu karena ikan-ikan di laut banyak yang mati setelah serbuan tumpahan minyak atau pek itu. Mana lagi, perairan yang tercemar membuat turis hengkang. Denyut bisnis pariwisata di pulau favorit para pelancong itu ikut surut.
“Pek itu bentuknya gumpalan besar-besar dan banyak di air. Waktu sampai pantai, udah kena sinar matahari pada lumer, mencair. Nah, pek itu terinjak wisatawan dan bikin cemong. Kotor kaki mereka,” ujar Udin.
Kini Udin dan warga lain membersihkan limbah pek bersama-sama. Menurut Udin, beberapa orang berseragam Pertamina pun mulai datang untuk memungut limbah pek guna dimasukkan ke dalam karung dan diangkut.
Kendati warga di Kepulauan Seribu yakin bahwa limbah pek yang mereka lihat akhir-akhir ini berasal dari kebocoran minyak di perairan Karawang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengeceknya.
“Kami pastikan, betul atau tidak karakteristik (pek) di Karawang dan Pulau Seribu (sama),” kata Dirjen Pengendalian Pencemaran KLHK Karliansyah kepada kumparan.
Sementara itu, KLHK mendesak Pertamina untuk segera menutup sumber tumpahan minyak sesuai amanat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi bahwa siapa yang mencemari lingkungan harus membayar ganti rugi dan memulihkannya.
Nantinya setelah semburan minyak bisa dihentikan dan tak lagi menyebar, KLHK akan melakukan rehabilitasi kerusakan lingkungan. Namun untuk saat ini, ujar Karliansyah, sebaran tumpahan minyak masih sulit dikendalikan.
“Susah, itu tergantung gelombang, angin. Sebarannya kadang kecil, kadang melebar. Kalau sumbernya tidak segera ditutup, (sebaran minyak) jalan terus,” kata dia.
Pertamina kini menggandeng Boots & Coots untuk menutup sumber kebocoran. Perusahaan asal Amerika Serikat itu dipercaya karena berpengalaman dalam menangani kasus serupa dalam skala lebih besar di Teluk Meksiko pada 2010.
Kala itu, anjungan Deepwater Horizon yang telah berdiri selama sembilan tahun diguncang ledakan setelah gas keluar dari sumurnya. Tragedi yang menewaskan 11 pekerja anjungan itu kemudian difilmkan dengan judul serupa—Deepwater Horizon. Itu adalah tumpahan minyak terbesar dalam sejarah AS.
Bersama Boots & Coots, Pertamina menargetkan penutupan sumur YYA-1—yang dimulai sejak 25 Juli—berlangsung selama delapan minggu. Artinya, hingga akhir September.
Menteri KKP Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers bersama Pertamina di kementeriannya menyatakan, kebocoran minyak yang mencemari Laut Jawa adalah kecelakaan dan musibah. Ia menjamin pemerintah akan memastikan Pertamina melakukan pemulihan terhadap dampak buruk yang timbuk akibat musibah tersebut.
“Tidak ada yang menginginkan accident. … sekarang kita harus recovery, harus handling, harus approach bagaimana menanganinya,” ucap Susi.
“Jadi semua langkah, best effort at any cost, kami lakukan untuk penanganan di anjungan YYA-1 PHE ONWJ,” kata Dirut Pertamina Nicke Widyawati.
Untuk menutup sumber kebocoran, Pertamina menggunakan rig Soehanah yang diletakkan berdekatan dengan anjungan YYA. Rig Soehanah akan mengebor horizontal (relief well drilling) ke arah pengeboran sumur YYA-1. Relief well akan diisi lumpur dan massa berat sehingga material tersebut terdorong bor ke titik bocor dan menutup bocoran minyak.
Pengeboran itu telah dimulai 1 Agustus dan mencapai kedalaman 136 meter per 3 Agustus. Pengeboran akan berlanjut hingga kedalaman 2.765 meter.
Pertamina juga berupaya menghilangkan tumpahan minyak yang menyebar ke sembilan desa di Karawang dan dua desa di Bekasi dengan memasang tujuh lapis proteksi.
Pada lapis pertama di sekitar area YY dipasang static oil boom sepanjang 2.450 meter untuk menahan tumpahan minyak dari sumber utama agar tetap berada di anjungan. Berikutnya di lapis kedua dipasang movable oil boom sepanjang 400 meter yang ditarik oleh kapal untuk mengejar tumpahan minyak yang lolos dari lapis pertama.
Lapis ketiga ialah pengulangan layer kedua untuk memastikan lapis-lapis tersebut bisa menahan tumpahan minyak yang masih juga lolos karena faktor gelombang, angin, dan lain-lain. Selanjutnya, lapis keempat, difungsikan untuk melindungi anjungan di dekat area YY yang terkena sebaran minyak.
Lapis kelima dan keenam dipasang di sekitar Tanjung Sedari dan Tanjung Bekasi untuk menangkap minyak yang telah jauh menyebar. Untuk itu Pertamina juga memasang tiga unit oil skimmer atau oil separator guna mengangkat dan menyedot minyak tersebut. Minyak kemudian ditampung di 39 kapal yang telah dikerahkan Pertamina.
Terakhir, lapis ketujuh, berupa pantauan udara dan pemasangan oil boom dengan mobilitas tinggi untuk menangkap minyak yang terlanjur menyebar.
Pertamina mengklaim volume tumpahan minyak saat ini telah surut menjadi 10 persen dari hari pertama yang sebanyak 300 barel per hari. Meski demikian, mitigasi bencana Pertamina mendapat kritikan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia karena dianggap belum mumpuni.
“Bahkan (Pertamina) sempat kerahkan warga (untuk mengumpulkan tumpahan minyak). Padahal kasus seperti ini harus ditangani khusus,” kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI, Dwi Sawung, di Jakarta Selatan, Jumat (2/8).
Sejumlah warga yang ikut mengambil tumpahan minyak terlihat tidak dilengkapi peralatan sesuai standar. Sebagian dari mereka juga tidak menggunakan penutup tangan. Padahal kandungan minyak yang mereka sentuh berbahaya sehingga seharusnya mereka mengenakan pakaian, masker, dan sarung tangan khusus.
Pakaian dan perlengkapan khusus itu sesungguhnya sudah disediakan Pertamina, namun banyak warga menolak karena merasa kepanasan ketika memakainya. “Gerah, jadi nggak dipakai,” kata Nurhadi, seorang warga Tanjung Pakis, Karawang.
WALHI menilai Pertamina belum sepenuhnya transparan dalam menjelaskan rincian kebocoran sumur YYA-1. Ada beberapa perkara penting yang belum diungkap seperti operator yang terlibat serta ukuran tekanan dalam proses pengeboran..
“Dia cuma bilang ada tekanan berlebih, tapi enggak bilang soal sebenarnya ini kan sumur eksplorasi yang sudah naik jadi sumur produksi. Harusnya sudah punya data sebelumnya karena mereka sudah pernah ngebor di sana,” ujar Dwi.
Kardaya Warnika, anggota Komisi VII DPR yang membidangi ESDM, menduga standar pengamanan saat pengeboran masih kurang. Menurutnya, sumur yang sempat dilubangi namun kemudian tak dipakai lagi, mestinya disemen.
“Kemungkinan besar penyemenan itu tidak baik. Begitu dibor lagi, ada minyak yang keluar dengan tekanan tinggi,” kata Kardaya.
Bila sudah bocor begini, ujar Kardaya, Pertamina mesti memprioritaskan penanganan terhadap masyarakat pesisir yang terdampak tumpahan minyak .
_________________
Catatan editor: kumparan melakukan minor reedit pada video “Bencana Minyak di Laut Jawa ” yang sudah tayang pada 5 Agustus 2019, dan menggunggah ulang video tersebut pada 8 Agustus tanpa mengurangi esensi dan narasi dari video sebelumnya.