Berbagi Cerita Menikah dengan Bule

14 Januari 2019 12:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nawangsari, Novita dan Rekannya.  (Foto: Denita BR Matondang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nawangsari, Novita dan Rekannya. (Foto: Denita BR Matondang/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sebagian masyarakat tak jarang memandang negatif perempuan Indonesia yang menikahi bule. Stigma menikahi bule demi harta dan hidup glamor sering terdengar telinga kita. Nyatanya, stigma ini tidak selalu benar adanya.
ADVERTISEMENT
Nawangsari, 50, misalnya, perempuan asal DKI Jakarta ini menikah dengan pria asal Tyrol, Austria, bernama Wolfgang, 53, karena cinta. Sekitar 10 tahun lalu, keduanya saling jatuh cinta dalam sebuah pertemuan dengan para sahabatnya.
Pun, telah menikah, perempuan yang akrab disapa Sari ini memutuskan untuk tetap bekerja. Bahkan, akhirnya ia mendirikan PT Arum Dalu Mekar, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang interior. Perusahaan ini telah merambah dunia internasional. Biasanya perempuan berkulit sawo matang ini melakukan pameran interior di Italia, Prancis, dan Amerika Serikat, termasuk di Jakarta.
"Tidak semua perempuan lokal itu menikahi bule karena materi. Banyak loh perempuan di Indonesia yang telah bekerja dan sukses. Memang tergantung orangnya, tetapi bagi saya bukan itu tujuan utama, " kata Sari, perempuan yang berparas ayu ini di acara perayaan tahun baru Mixed Marriage Community (MMC) di Bali, Sabtu (12/1).
ADVERTISEMENT
MMC adalah sebuah komunitas para perempuan lokal yang menikah dengan lelaki bule. Komunitas ini hadir sebagai ajang bersilaturahmi demi saling jaga dan bantu antar teman senasib.
Hal yang sama dengan suami Sari, si bule, bekerja sebagai penyelam lepas. Jasa si bule biasanya digunakan perusahaan minyak dunia untuk mencari sumber minyak atau mengecek keamanan perusahan minyak di laut.
Nawangsari, Novita dan Rekannya.  (Foto: Denita BR Matondang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nawangsari, Novita dan Rekannya. (Foto: Denita BR Matondang/kumparan)
Berbeda dengan Novita Anantasari, 41, perempuan yang bekerja sebagai pengacara ini justru memiliki suami yang sudah pensiun bernama John Elkjaer Nielsen, 62, asal Denmark. Novita adalah salah satu pendiri yang mendirikan komunitas MMC bersama beberapa rekannya.
"Kasus hukum yang paling sering ditemui dari perkawinan campur ini adalah perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bagi teman yang mengalami KDRT yang tidak menemukan jalan keluar, di komunitas inilah kami dengan saling membantu, " ucap pemilik kantor KOLINDO Law Firm di Denpasar ini.
ADVERTISEMENT
Novita juga tengah mendirikan pusat bantuan hukum perkawinan campuran. Melalui kantor hukum ini ia menawarkan jasa pengurusan administrasi perkawinan antarnegara, urusan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap, perceraian, kematian hingga permasalahan KDRT.
Perempuan yang telah menikahi Nielsen selama tujuh tahun ini juga menampik bila pernikahan perkawinan campuran penuh keglamoran. Menurutnya, tradisi hidup yang berbedalah yang memicu stigma itu.
"Ada yang bilang kalau menikahi bule itu hidup hanya hura-hura, jual diri dan lain sebagainya. Enggaklah, kenalilah mereka, karena saya tahu kehidupan perkawinan campur itu seperti apa, "ucap dia.
Sari dan Novita, kompak mengatakan, perempuan harus berani mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Begitu juga bila menikahi bule. Sikap ini dinilai mampu memberi kebahagiaan bagi keduanya.
ADVERTISEMENT
Di akhir perbincangan, keduanya memberi sedikit pengalaman awal menikahi bule. Awalnya, kedua perempuan yang kariernya sukses ini mengaku kesulitan bertemu keluarga si bule. Syukur, keluarga yang terbuka melanggengkan pernikahan kedua pasangan ini.
"Saya ini pengacara sekaligus ibu rumah tangga, malah saya yang nyari duit ya buat dia. Hahaha, kalau dulu awal menikah di kendala soal makanan ya, dia (Nielsen) tak suka makanan Indonesia. Dia ajarin saya memasak khas Denmark yang suka makan pakai saus-saus. Sekarang, semuanya lancar, " ujar dia.