Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tak satu pun warga RT 20/ RW 17 di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara yang dapat menikmati indahnya laut di muka rumah. Alih-alih terlihat elok dipandang, pantai sejauh dua meter dari tempat tinggal mereka sering membawa ancaman rob―banjir akibat laut pasang .
Itu masih ditambah fakta bahwa permukiman mereka terimpit oleh air laut yang kian terasa tinggi. Kombinasi naiknya air laut dan turunnya permukaan tanah tak pelak membuat warga Muara Baru ketar-ketir.
“Setiap air laut pasang, airnya pasti luber ke sini (jalan), tapi nggak sampai banjir,” ucap Suboneng, seorang warga setempat yang ditemui kumparan, Kamis (25/10).
Hidup di kampung itu bergantung pada dua tanggul. Tanggul pertama berupa tembok yang di atasnya dipasangi karung pasir setinggi dua meter.
Meski begitu, ketinggian air laut sudah mencapai ujung karung pasir itu.
Tanggul tembok itu dibangun pada masa Orde Baru untuk menahan gelombang laut. Tentu saja, penyekat kini sudah kurang ampuh.
Pada 2007, tanggul jebol dan rob merangsek masuk, membuat air laut menggenangi permukiman warga. Sepuluh tahun kemudian, 2017, bencana yang sama terjadi.
“Terakhir kali banjir tinggi itu pas Lebaran tahun 2017. (Banjir) sampai setengah rumah,” kata Suboneng.
Sementara tanggul kedua dibangun melalui proyek Pengembangan Terpadu Kawasan Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).
Tanggul ini memiliki ketinggian 3,5 meter dan membentang sepanjang 2,3 kilometer menyisir pantai. Jaraknya menjorok sekitar 100-400 meter dari tanggul pertama.
Rencananya, seluruh tanggul nantinya akan menyisir garis pantai Jakarta sepanjang 120 km.
Tiap banjir melanda kampung, Suboneng pulang ke desa asalnya di Purwodadi, Jawa Tengah. Rumah kontakan di Muara Baru ia tinggalkan begitu saja sampai air surut kembali.
Di kampung tersebut, laut dan daratan memang susah didamaikan. Seorang warga lain, Maksum (50), seumur hidupnya tinggal di kampung itu dan menyaksikan setiap jengkal tanah yang kian melesak ke bawah. Ia terpaksa meninggikan rumahnya setengah meter tiap dua tahun.
Jalanan di pinggir tanggul pun terasa makin rendah dari yang dulu. Kecipak air laut terdengar sudah tinggi di balik tanggul.
“Jalanan di perbatasan tanggul itu sudah beberapa kali diuruk―satu meter, lalu satu meter lagi. Tak berapa lama (jalanan) sudah hilang lagi (terendam air laut),” ucapnya.
Laju penurunan tanah mengubah semua hal di kampung itu. Dulu, kata Maksum, kampung itu tak ada. Yang ada adalah empang.
Empang tersebut kemudian diuruk untuk membangun wilayah permukiman dan industri.
Dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Restu Gunawan menuliskan bagaimana Pluit menjadi bagian dari pengembangan pantai utara Jakarta sejak banjir 1960-an. Otorita Pluit mengerjakan proyek seluas 1.274 hektare untuk permukiman, industri, dan waduk.
Kala Orde Baru mulai berkuasa, pengembangan Pluit terus dilanjutkan hingga meliputi kawasan lain seperti Pantai Mutiara yang terletak di seberang kampung Muara Baru. Hunian mapan itu tak hanya membangun rumah, tetapi juga menambah daratan.
Pembangunan Pantai Mutiara disusul oleh pendirian Apartemen Green Bay Pluit dan Mitra Bahari, serta kawasan elite Pantai Indah Kapuk.
Aktivitas pembangunan kawasan industri dan energi pada gilirannya membebani tanah di Jakarta Utara. Padahal, menurut Kepala Badan Geologi ESDM Rudy Suhendar, struktur tanah di pantai utara Jakarta belum terkompaksi (melebur dan memadat).
Struktur tanah semacam itu, ditambah kondisi geologi daerah muara yang lalu dipadati bangunan permukiman industri, lantas membuat tanah menjadi turun.
Kampung-kampung lain di pantai Jakarta juga merasakan penurunan tanah. Misalnya Muara Angke yang yang beberapa kali diterjang rob, Kampung Apung di Jakarta Barat yang sudah terendam tanahnya, hingga beberapa kawasan di Jakarta Timur.
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Oswar Muadzin Mungkasa, mengatakan beban bangunan menjadi faktor dominan dalam penurunan muka tanah di Jakarta. Saat ini laju penurunan tanah di Jakarta Barat dan Utara mencapai 25 cm dan 15 cm per tahun.
Penyebab lain berasal dari faktor geologi dan penyedotan air tanah. Ekstraksi air tanah inilah yang mestinya dapat segera dihentikan.
“Kita agak sulit mengurangi banyaknya bangunan gedung. Yang paling mungkin dilakukan adalah mengurangi penyedotan air tanah dalam,” kata Oswar kepada kumparan di Cawang, Jakarta Timur, Rabu (24/10).
Namun mengurangi penyedotan air tanah ini tak mudah. Apalagi jaringan air bersih milik PAM belum mampu menjangkau kebutuhan air seluruh penduduk ibu kota. Baru sekitar 36 persen yang terlayani, sedangkan 64 persen sisanya menyedot air tanah.
Penduduk Kampung Muara Baru sendiri tak mendapatkan akses air bersih, baik PAM atau air tanah. Pemukiman mereka belum terjangkau jaringan pipa PAM, sedangkan air di bawah kampung mereka adalah air asin yang bukan untuk konsumsi dan pemakaian sehari-hari.
Akses air didapat dengan membeli ke penjual air eceran. Air itu untuk mandi dan mencuci. Sementara untuk keperluan konsumsi dan memasak, warga membeli air galon dan air kemasan.
Keluarga Suboneng, misalnya, sehari-hari membutuhkan satu tong berisi 160 liter air bersih. “Harga satu tong Rp 30 ribu. Kalau yang pikulan, satu pikul (dua jeriken isi 20 liter) itu harganya Rp 7 ribu.”
Air itu hanya digunakan untuk mandi dan mencuci. Sedangkan keperluan konsumsi dan memasak, ia mesti membeli air galon dan air kemasan.
Biaya pemenuhan kebutuhan air warga kampung itu terhitung lebih mahal dibanding tagihan PAM penduduk kelas menengah di Jakarta.
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 91 Tahun 2017 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis Air Minum menetapkan biaya air untuk rumah tangga kelas menengah sebesar Rp 6 ribu per meter kubik.
Jadi bila satu keluarga terdiri dari tiga orang, dengan kebutuhan air masing-masing 150 liter per hari, maka kebutuhan air keluarga itu adalah 450 liter. Artinya, setiap bulan kebutuhan air mereka mencapai 13.500 liter atau 13,5 meter kubik. Untuk air sejumlah itu, keluarga kelas menengah membayar Rp 81 ribu per bulan.
Di sisi lain, selama satu bulan, Suboneng mesti merogoh kocek sampai Rp 1 juta hanya untuk membeli air dengan jumlah yang kurang lebih sama.
Biaya serupa dikeluarkan Maksim yang harus menyisihkan ‘dana air’ dari penghasilannya melaut. Lelaki tunadaksa itu berkali-kali beralih profesi, dari buruh bangunan hingga nelayan, untuk menyambung hidup.
Hingga kini, kampung Maksim dan Suboneng selalu penuh pendatang. Mereka buruh-buruh kasar yang mengontrak rumah seng seadanya tanpa peduli banjir rob dan harga air yang mahal.
------------------------
Waspada ancaman Jakarta Tenggelam . Simak Liputan Khusus kumparan.