Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Bertemu Kakek Goyong, Seniman Tehyan 'Terakhir' di Tangerang
4 Mei 2018 12:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah rumah sederhana yang terletak di Kelurahan Mekarsari, Neglasari, Tangerang jadi tempat tinggal seorang seniman gambang kromong legendaris. Ialah Oin Sin Yang alias Goyong, pria yang hampir seumur hidupnya menggeluti musik tradisional gambang kromong dan tehyan.
ADVERTISEMENT
Di rumah seluas 20x5 meter itu, Goyong tinggal bersama istri, 8 anak, 3 cucu, dan 2 menantunya. Di antara timbunan karung-karung botol plastik di halaman rumahnya, beberapa alat musik tehyan tergantung di dinding teras rumah Goyong.
Mengenakan kemeja kusut dan celana pendek, Goyong lihai mengatur suara senar tehyan sebelum memainkannya.
"Hafal lagu kincir-kincir?" tanya Goyong.
"Mainnya harus pakai feeling," tambahnya.
Raut wajahnya berubah saat senar tehyannya bergesekan melantunkan lagu-lagu yang biasa ia bawakan. Senyumnya semringah, kakinya yang tak mengenakan alas ikut bergoyang sesuai irama. Sesekali bibir Goyong ikut bergerak merapalkan syair lagu.
Pria berusia 66 tahun itu bercerita, kedua orang tuanya merupakan seniman gambang kromong yang terkenal di tahun 1960-an. Ia sering melihat ayah ibunya bermain musik tradisional khas Betawi itu. Tak butuh waktu lama bagi Goyong untuk menguasai tehyan dan beragam alat musik lainnya.
ADVERTISEMENT
"Dulu awalnya, saya sering lihat orang tua main. Lalu saya coba-coba sendiri terus bisa sampai lancar. Terompet, tehyan, musik gambang kromong lainnya itu saya bisa semua," ujar
Goyong mengenang, meski kerap melihat ayah-ibunya tampil di beberapa kota di Indonesia, Goyong tak pernah serius mendalami musik tehyan.
"Saya itu dulu pemalu, enggak mau tampil kecuali ada anak buah orang tua saya yang sakit. Saya terpaksa tampil. Tapi jadi kebiasaan dan berani tampil sampai sekarang," kata Goyong sembari menggesekan senar tehyan miliknya.
Namun semua berubah saat ayahnya, Oen Hoek meninggal dunia. Goyong merasa perlu mempertahankan warisan keluarganya sekaligus melestarikan budaya. Mengemban nama besar ayahnya, hingga kini Goyong setia memainkan tehyan bahkan jadi pengrajin musik tehyan satu-satunya yang tersisa di Tangerang.
Selama hampir 45 tahun ia menjadi seniman tehyan, Goyong mengaku sudah beberapa kali diundang ke acara-acara festival dalam negeri dan luar negeri.
ADVERTISEMENT
"Saya kan main jauh-jauh ke Bangka, Ambon, ke Aceh ke Dumai sama anak saya, di televisi juga sama anak saya. Saya juga main ke Australi sekali, yang manggil Pak Wali Kota (Tangerang)," kata Goyong.
Meski panggilan untuk bermusik tehyan tak selaris dulu, Goyong tak tergoda untuk mencari uang dengan cara mengamen menggunakan tehyan. Baginya, musik tehyan adalah peninggalan leluhur yang nilainya tinggi dan sudah jadi keharusan untuk menjaga nilai-nilai tersebut.
"Enggak (ngamen). Saya enggak mau ngamen pakai musik tehyan. Karena kan memang nilainya banyak. Enggak boleh ngamen-ngamen sembarangan. Kalau ada acara saja saya main musik tehyan," kata Goyong.
Goyong berharap, musik trasional akan terus terjaga dan dilestarikan terutama oleh para generasi muda Indonesia.
ADVERTISEMENT