Cover Lipsus Pemilu Presiden 2019

Big Data, Senjata Andalan Jokowi

22 April 2019 14:53 WIB
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi dan Big Data. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Big Data. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Jokowi bergegas beranjak usai menggelar pertemuan tertutup di Istana Merdeka dengan ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, dan putrinya, Puan Maharani. Ia langsung menuju Djakarta Theater untuk memantau hitung cepat Pemilu Presiden 2019. Megawati dan Puan juga bertolak ke lokasi yang sama.
Rabu sore itu (17/4) di Djakarta Theater, pengurus Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf sudah berkumpul, lengkap dengan ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Kerja. Mereka, termasuk Megawati, duduk semeja dengan Jokowi, Ma’ruf Amin, Jusuf Kalla, dan Luhut Binsar Panjaitan. Semua konsentrasi mencermati pergerakan suara perhitungan cepat.
Menjelang pukul 17.00, sejumlah petinggi TKN mengusulkan kepada Jokowi untuk menyampaikan sesuatu ke publik karena quick count berbagai lembaga survei menunjukkan ia dan Ma’ruf telah mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Namun saran tersebut ditolak Jokowi, sebab jumlah suara masuk saat itu belum mencapai 70 persen. Ia baru menggelar konferensi pers saat perhitungan suara quick count mencapai lebih dari 70 persen. Itu pun tanpa menyinggung soal keunggulannya pada proses hitung cepat.
“Dari indikasi exit poll dan quick count tadi, sudah kita lihat semuanya. Tetapi kita harus bersabar menunggu penghitungan dari KPU secara resmi,” ujarnya ringkas.
Jokowi dan parpol koalisinya di Plataran Menteng. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Baru keesokannya, Kamis (18/4), Jokowi mengumumkan keunggulannya. Didampingi para ketua umum parpol pengusungnya, ia menyatakan, “Kemarin saya belum menyampaikan angka karena masih di bawah 70 persen. Tetapi karena hari ini sudah hampir 100 persen, kami menyampaikan bahwa hasil quick count 12 lembaga survei menyatakan Jokowi-Kiai Haji Ma’ruf Amin mendapatkan prosentase 54,5 persen, dan Prabowo-Sandi mendapatkan prosentase 45,5 persen,” ujar Jokowi di Plataran Menteng, Kamis (18/4).
Jokowi, sembari menekankan pentingnya bersabar menunggu hasil penghitungan resmi KPU, menegaskan kepercayaannya kepada hasil hitung cepat. Menurutnya, “Quick count adalah penghitungan yang ilmiah, yang dari pengalaman-pengalaman pemilu yang lalu akurasinya 99 persen, hampir sama dengan real count.”
Unggul di quick count bukan berarti hasil Pilpres memuaskan kubu Jokowi. Sebab, perolehan suara di sejumlah provinsi meleset dari target. Jokowi antara lain kalah di Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, dan sejumlah wilayah di Sumatera serta Kalimantan.
Hasil hitung cepat CSIS & Cyrus Network menunjukkan Jokowi-Ma’ruf menang di 20 provinsi, namun kalah telak di Jawa Barat dengan hanya mengantongi 38,76 persen suara, jauh tertinggal dari Prabowo-Sandi yang meraup 61,24 persen suara di wilayah itu. Padahal, Tim Sukses Jokowi menargetkan perolehan suara 60 persen di Jawa Barat.
“Ada semacam bungker besar di Jabar sejak kasus (propaganda negatif terkait Jokowi oleh) Obor Rakyat di Pilpres 2014, lalu ditambah Aksi 411, 212, #GantiPresiden. Bungker ini sulit dijebol karena sudah begitu dalam tertanam,” kata Aria Bima, Direktur Program TKN Jokowi-Ma’ruf, di Posko Cemara, Jumat (19/4).
Berbagai wilayah di Jawa Barat seperti Bekasi, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, hingga Tasikmalaya tak dapat ditembus Timses 01. Sejak Pemilu 2014, Jawa Barat memang menjadi lumbung suara Prabowo. Ia juga menang di provinsi itu pada 2014.
Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding, menyatakan politik identitas yang kental memperberat upaya mereka mendekati masyarakat Jawa Barat. Padahal, tingkat kepuasan warga Jawa Barat terhadap kinerja Jokowi terbilang tinggi.
“Tapi apakah mereka memilih Jokowi? Ternyata jawabannya tidak, tetap ke 02,” ujar Bima.
Penghitungan suara. Foto: ANTARA
Di Banten, kekalahan Jokowi lebih karena faktor ekonomi. Di ujung barat Pulau Jawa itu, Jokowi-Ma’ruf meraih 44,77 persen suara, sedangkan Prabowo-Sandi 55,23 persen. Faktor ekonomi dinilai jadi penyumbang terbesar kekalahan Jokowi di sini.
“Di Banten terjadi semacam deindustrialisasi. Pembangunan jalan tol Jakarta-Surabaya (yang ke timur) juga berpengaruh kepada mereka. Belum lagi relokasi sejumlah pabrik. Kasus (suap direktur) Krakatau Steel juga membuat prospek ekonomi daerah itu turun. Jadi sulit bicara soal ekonomi di Banten,” kata Aria Bima.
Jokowi juga kehilangan banyak suara di Sumatera. Data quick count CSIS & Cyrus menunjukkan ia kalah di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambu, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Dua faktor diperkirakan menjadi faktor kekalahan Jokowi di Sumatera: kuatnya pengaruh kubu Prabowo, dan variabel ekonomi berupa kemerosotan harga komoditas kelapa sawit serta karet yang melemahkan industri-industri utama di pulau itu.
“(Pendekatan 01 ke Sumatera) nggak berpengaruh, harus corrective action. (Suara Jokowi di) wilayah perkebunan sawit itu jeblok semua. Karena harga sawit, harga karet, sedang hancur-hancurnya,” ujar Bima.
Kampanye terbuka Jokowi di Solo, Jawa Tengah. Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Dua provinsi yang jadi penyelamat Jokowi ialah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kedua provinsi ini, perolehan suara petahana melebihi target. Hitung cepat CSIS & Cyrus menunjukkan Jokowi-Ma’ruf mengantongi 77,23 persen suara di Jawa Tengah, berbeda jauh dengan Prabowo-Sandi yang hanya 22,7 persen. Sementara di Jawa Timur, Jokowi memperoleh 65,95 persen suara, dan Prabowo 34,1 persen saja.
Tingginya suara Jokowi di Jawa Tengah disumbang terbesar oleh soliditas mesin NU dan PDIP. Faktor Iriana Widodo, ibu negara, juga menentukan, khususnya di Solo. Sebab Iriana dikenal dekat dengan kalangan Muhammadiyah Solo, dan aktif mengikuti pengajian Muhammadiyah sejak lama.
“(Di Jateng-Jatim) NU solid sekali. Jaringan dan massanya Saifullah Yusuf, Puti Guntur, Khofifah, Emil Dardak, semua gerak. PDIP, PKB, dan Golkar kan partai pemenang di Jatim, jadi semua maksimal,” jelas Aria Bima.
Tambah lagi, Demokrat Jawa Timur di bawah komando Soekarwo, mantan gubernur Jatim, secara efektif ikut memenangkan Jokowi di Magetan, Madiun, Trenggalek, Pacitan, hingga Ponorogo.
Konser Putih Bersatu di Stadion Utama GBK, Jakarta. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Di Jakarta, Jokowi unggul tipis atas Prabowo berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga, termasuk CSIS & Cyrus. Ia mendapat 51,7 persen suara, sedangkan Prabowo 48,3 persen.
Keunggulan Jokowi itu dipengaruhi antara lain oleh Konser Putih Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 13 April, bertepatan dengan hari penutupan kampanye terbuka. Menurut Karding, kampanye akbar yang dihadiri ratusan ribu pendukung Jokowi di GBK itu mampu mempengaruhi undecided voters di ibu kota.
Selain itu, Aria Bima menilai pendekatan Ma’ruf Amin ke kalangan Islam ibu kota cukup membantu. Cawapres yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia itu rajin mengundang para takmir atau pengurus masjid ke rumahnya di Menteng. Ia juga beberapa kali sowan ke sejumlah ulama alumni Aksi 411 dan 212.
Real Count's War Room TKN Jokowi-Ma'ruf di Gran Melia, Jakarta. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Di luar itu semua, ada satu hal yang berperan besar dalam menyelamatkan suara Jokowi: empat mesin big data sebagai bank data yang menjadi referensi Timses Jokowi dalam menentukan strategi.
Keempat mesin big data tersebut mampu menganalisis titik-titik kampanye strategis bagi Jokowi-Ma’ruf, sekaligus dapat membaca sentimen masyarakat terhadap pasangan capres-cawapres. Mesin-mesin ini menjadi kekuatan signifikan Jokowi pada Pemilu 2019. Sementara pada Pemilu 2014, ia belum memiliki pijakan data kuat dalam menentukan strategi.
“(Mesin big data) ini terobosan baru dan membantu sekali dalam kerja pemenangan di darat dan udara,” ujar Andi Widjajanto, Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi pada Pemilu 2014 yang kini menjadi Ketua Cakra 19—salah satu tim pemenangan Jokowi yang berisi para purnawirawan TNI.
Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir, membenarkan krusialnya big data bagi mereka. “Sangat penting, karena big data digunakan untuk melihat dua hal. Satu, preferensi pemilih. Dua, apa yang bisa kami berikan ke mereka sehingga (Jokowi) jadi pilihan mereka.”
Andi Widjajanto, Ketua Cakra 19. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Empat mesin big data milik Tim Jokowi dikelola oleh empat tim berbeda—Tim Awan di tangan Andi Widjajanto yang fokus di media sosial; TKN Jokowi-Ma’ruf di bawah komando bendaharanya, Wahyu Sakti Trenggono; Tim Corona yang terdiri dari para alumni ITB; dan PoliticaWave pimpinan Yose Rizal.
“Kami saling compare satu sama lain untuk mencari algoritma yang pas untuk proyeksikan elektabilitas dan strategi di 2019,” tutur Andi kepada kumparan di Menteng, Jakarta Pusat.
Hal itu dimungkinkan karena big data merekam semua sentimen terhadap Jokowi di setiap momen penting. Semisal, sentimen positif atas Jokowi sempat turun saat Aksi Alumni 212, tertangkapnya Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang juga anggota Dewan Penasihat TKN oleh KPK, dan kampanye akbar Prabowo-Sandi di GBK pada 7 April.
Di ketiga momen itu, Tim Jokowi langsung meramu kontrastrategi. Contohnya, usai kampanye akbar Prabowo di GBK, kubu Jokowi langsung menghujani jagat maya dengan konten receh berupa puluhan meme jenaka jelang Konser Putih Bersatu yang digelar sepekan setelah kampanye akbar Prabowo.
Salah satu meme receh kubu Jokowi. Konten jenaka semacam ini meraup sentimen positif. Foto: Dok. Istimewa
“Biasanya kalau (sentimen positif ke Jokowi) turun, kasih yang receh-receh begitu langsung naik,” kata Andi.
Big data juga membantu menentukan apakah suatu aksi Jokowi harus diviralkan atau tidak. Semisal saat Jokowi mengeluarkan imbauan mengenakan baju putih saat nyoblos, atau saat Jokowi bertanya soal unicorn ke Prabowo pada debat capres.
“Ini positif menurut big data, lalu kami mainkan untuk meraih sentimen pemilih dan ternyata positif sekali ke Pak Jokowi,” ujar Andi.
Di samping itu, big data membantu menginformasikan jika ada aksi Jokowi yang merugikan. Misalnya, Jokowi mendapat sentimen negatif jika ia marah atau agresif, seperti saat ia menyebut “genderuwo” dan “sontoloyo”.
Kata “genderuwo” terlontar dari mulut Jokowi saat acara pembagian sertifikat tanah di Tegal, Jawa Tengah, 9 November 2018. “Masa masyarakat dibuat ketakutan? Enggak benar, kan? Itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti,” ujar Jokowi.
Sementara ucapan “sontoloyo” ia lemparkan kala pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 23 Oktober 2018. “Hati-hati, banyak politik yang baik-baik, tapi juga banyak sekali politik sontoloyo.”
Kedua kata itu menghasilkan sentimen negatif sehingga Tim Jokowi langsung mengingatkan sang petahana untuk kembali kalem.
Prabowo-Sandi saat kampanye akbar di Sidoarjo, Jawa Timur. Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Big data membaca pergerakan lawan untuk Jokowi, dan membantu menentukan wilayah tempur bersama masukan dari mesin partai dan jaringan relawan.
Lewat big data, misal, terlihat dampak kunjungan Sandiaga ke sejumlah wilayah dapat diketahui. Sandi, menurut analisis big data itu, ternyata lebih banyak menyambangi daerah yang sudah dikuasai kubu Prabowo, bukan basis Jokowi atau kawasan yang memiliki banyak undecided voters.
“Kami tahu 02 sering datang (ke masyarakat) tanpa berinteraksi dengan sasaran yang tepat. Jadi simpul yang ditangkap meleset. Lalu kami (kubu Jokowi) tinggal tangkap simpul yang benar, datang ke titik yang benar, dan itu menjadi tambahan suara kami,” kata Andi.
Untuk menentukan titik yang tepat, big data memasok analisis pemetaan wilayah serta isu-isu strategis. Informasi itu kemudian disinkronisasi dengan kekuatan jaring relawan Jokowi, perolehan suara Jokowi di 2014, perolehan suara parpol pengusung, komposisi caleg parpol koalisi, hingga perolehan suara di pilkada, untuk menentukan titik-titik kampanye.
Setelah titik ditentukan, ada rumus dasar yang berlaku. Untuk wilayah yang sudah dianggap aman dan memiliki simpul relawan kuat, ia satu kali saja disambangi Jokowi. Namun pada daerah yang belum aman, Jokowi minimal berkunjung tiga kali. Sementara di zona lawan, ia idealnya bertandang hingga 11 kali.
Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf. Berdiri di tengah, baris depan, adalah Erick Thohir, Ketua TKN. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Tim Jokowi mengategorikan seluruh wilayah di Indonesia dalam skala 1-8. Skala 8 ialah daerah dengan suara aman bagi Jokowi-Ma’ruf, sedangkan skala 1 dianggap lemah sehingga akan digarap bersama oleh relawan, mesin partai, beserta caleg.
Selain skala, daerah juga diklasifikasikan berdasarkan warna. Biru untuk wilayah aman, merah muda untuk zona dengan banyak swing voters, dan merah tua untuk menandai area yang tak bakal disentuh karena telah dikuasai penuh oleh kubu Prabowo.
“Di 21 hari kampanye terbuka, Pak Jokowi banyak mengunjungi daerah lawan yang swing voters-nya tinggi. Itu sasaran utama. Sementara Kiai Ma’ruf Amin cenderung menebalkan elektabilitas di pemilih Islam,” tutur Andi.
Biasanya, sebelum Jokowi menghadiri kampanye terbuka di satu titik, ada tim darat yang mengunjungi warga di daerah itu secara door to door untuk menyampaikan isu lokal yang menjadi perhatian kubu 01.
Pada akhirnya, analisis big data ditopang kuat oleh kinerja timses dan relawan di lapangan. Ia bukan menjadi penentu keputusan akhir, namun menjadi senjata andalan Jokowi dalam merancang taktik pemenangan.
“Panglima saat kampanye ya tetap Pak Jokowi,” ujar Andi.
Erick Thohir berpendapat, ada tiga momen yang berkontribusi menggenjot suara Jokowi-Ma’ruf pada dua pekan sebelum hari pencoblosan. Pertama, kampanye terbuka yang hampir selalu ramai sehingga menebalkan perolehan suara.
Kedua, secara khusus kampanye terbuka di GBK 13 April. Ketiga, keputusan Jokowi untuk umrah di masa tenang. “Niat Pak Jokowi umrah itu diapresiasi. Itu realita,” tutup Erick.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten