Boediono Bela Megawati soal Kebijakan SKL BLBI

19 Juli 2018 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Wakil Presiden Boediono bersaksi dalam kasus dugaan korupsi BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Presiden Boediono bersaksi dalam kasus dugaan korupsi BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Keuangan Boediono sepakat dengan keputusan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan hukum kepada debitur yang menyelesaikan kewajibannya membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
ADVERTISEMENT
Menurut Boediono, keputusan tersebut dibuat sebagai respons kemandekan sejumlah perjanjian, salah satunya pola Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
"Inpres (instruksi presiden) tersebut untuk merespons kemandekan ekonomi dan mandeknya proses MSAA, MRNIA (Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement), yang tidak berjalan bagus, karena salah satunya kepastian hukum bagi mereka itu kurang, kemudian diproses menjadi inpres, itu respons dari keadaan," ujar Boediono saat bersaksi untuk Mantan Kepala badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (19/7).
MSAA, merupakan perjanjian pembayaran secara tunai dengan penyerahan aset-aset debitur BLBI. Kesepakatan MSAA dilakukan untuk memulihkan perekonomian Indonesia pascakrisis.
Krisis yang melanda Indonesia pada 1998 mengakibatkan sejumlah bank membutuhkan kucuran dana. Untuk mengantisipasi kerugian, pemerintah mengeluarkan dana BLBI kepada sejumlah obligor, termasuk untuk BDNI.
ADVERTISEMENT
BLBI memberikan bantuan kepada BDNI sebesar Rp 37 triliun. Bantuan itu terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
BDNI juga menerima dana BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 hingga 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun dalam kelanjutannya, BDNI diduga menyalahgunakan dana tersebut.
BPPN, yang ditugaskan untuk kembali menyehatkan perbankan dan aset-aset bermasalah pascakrisis, menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum. Maka, BDNI wajib mengikuti PKPS, dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Akan tetapi, Kepala BPPN saat itu, Syafruddin Arsyad Temenggung, tetap menerbitkan rekomendasi surat keterangan lunas BLBI untuk BDNI. Sementara salah satu jaminan BDNI milik Sjamsul Nursalim yakni piutang ke petani tambak PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira ternyata kredit macet.
ADVERTISEMENT
Boediono menyebut bahwa pemberian SKL harus dilakukan kepada obligor yang telah memenuhi kewajibannya membayar utang.
"Khusus SKL tidak sebagai policy umum penerbitan SKL bagi semua obligor, aturan umumnya ditentukan Keppres itu bahwa obligor yang kooperatif diberikan kepastian hukum, yang tidak (kooperatif) diproses hukum, selanjutnya dijabarkan nanti," kata Boediono.