Cerita Trauma Josuwa Ramos, Penyintas Bom Kuningan 2004

15 September 2019 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Josuwa Ramos (dua kiri) dalam acara peringatan 15 tahun bom kuningan di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Minggu (15/9). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Josuwa Ramos (dua kiri) dalam acara peringatan 15 tahun bom kuningan di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Minggu (15/9). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Puluhan penyintas tragedi bom di Kedutaan Besar Australia pada 2004 lalu kembali berkumpul, Minggu (15/9). Mereka berbagi kisah bagaimana bisa bertahan hidup meski mengalami trauma berat pada peristiwa yang dikenal dengan bom Kuningan itu.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyintas yang berbagi cerita adalah Josuwa Ramos. Pria 35 tahun itu bekerja sebagai tenaga keamanan di Kedubes Australia saat peristiwa terjadi. Josuwa bertugas sebagai car checker yaitu memeriksa setiap mobil yang akan masuk ke kedutaan.
Saat ledakan terjadi, Josuwa tengah bekerja seperti biasa. Namun, tiba-tiba ledakan terjadi dari sebuah mobil van yang berjarak sekitar 6 meter dari tempatnya berdiri.
"Kaki di betis ada plat sebesar ini (sekitar 10 sentimeter), dan di dengkul itu ada yang runcing panjang sekitar 4 milimeter. Dia nancap di tengah-tengah, jadi di engkel," kata Josuwa saat menghadiri peringatan 15 tahun bom kuningan di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat.
Josuwa mengaku mengalami trauma akibat peristiwa yang merenggut 9 korban jiwa itu. Hingga dua bulan setelah kejadian, ia masih tak memiliki keberanian bahkan untuk melintas di depan kantornya. Tapi, trauma itu mau tak mau harus dilawan.
ADVERTISEMENT
Sebab, Josuwa harus bolak balik RS MMC Kuningan untuk penyembuhannya. Diketahui, Josuwa menjalani operasi kakinya di RS MMC.
"Waktu pertama kali itu memang gemetar, itu saya teriak supaya ngebut. Tapi ternyata memang pas kondisi kantor pada saat itu diblok. Memang membuat macet. Saya berlama-lama di situ. Mobil itu pelan dan akhirnya benar-benar berhenti di depan (lokasi) kejadian saya waktu itu. Itu stres berat saya," kata Josuwa.
Untuk menghilangkan traumanya, keluarga Josuwa memintanya mengikuti berbagai kegiatan keagamaan. Tujuannya agar ia bisa menerima peristiwa itu dengan ikhlas dan kembali kuat menjalani hidup.
Para penyintas bom kuningan dalam acara peringatan 15 tahun bom kuningan di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Minggu (15/9). Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Josuwa baru bisa kembali bekerja setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan. Meski begitu ia memilih untuk ditempatkan di lokasi lain. Pasalnya ia masih belum siap kembali bekerja di Kedubes Australia.
ADVERTISEMENT
"Kita balik (menjaga Kedubes Australia) setelah 2 tahun. Kita kembali ke dalam. Itu satu tim yang berjaga di depan dan itu korban semua," kata Josuwa.
Trauma Josuwa memang telah berkurang. Ia mengatakan kini tidak lagi merasa stres saat melewati lokasi kejadian. Namun kondisi lukanya masih perlu pengobatan lebih lanjut.
Menurut Josuwa perhatian pemerintah untuk korban terorisme masih kurang. Ia mengatakan pengobatan yang diterima para korban hanya BPJS. Padahal korban membutuhkan konsultasi ke dokter spesialis karena kebanyakan korban mengalami gangguan syaraf.
"Yang disarankan oleh pemerintah adalah BPJS, tapi kita kan perlu spesialis. Karena yang ditanggung pemerintah dulu atau saat Gubernur Sutiyoso kita dirujuknya ke spesialis dan sekarang seadanya," ujar Josuwa.
ADVERTISEMENT
"Dalam arti BPJS yang kita terima sekarang mungkin dalam dosis obat pun kita berkurang, karena dulu memang di MMC dokternya spesialis. Apalagi dapat obat yang porsinya tepatlah," lanjut Josuwa.
Ilustrasi Teroris. Foto: Shutter Stock
Terlepas dari pengobatan yang masih harus ia jalani, Josuwa mengatakan ia telah memaafkan pelaku bom tersebut. Hatinya tergerak saat bertemu para narapidana terorisme (napiter) pada 2018 lalu. Memang di antara yang ditemuinya bukanlah pelaku atas peristiwa yang ia alami, meski begitu permintaan maaf mereka telah membuka hati Josuwa untuk berdamai.
"Ada salah satu tahanan yang mau dia mengucapkan maaf padahal bukan dia yang melakukan. Salah satu pelaku bom Bali juga. Saya saja belum bertemu tapi mau memaafkan. Di situ saya jadi ada rasa iba," kata Josuwa mengingat momen tersebut.
ADVERTISEMENT
Bom kuningan mengakibatkan 9 orang tewas dan 161 lainnya luka-luka. Pengeboman ini diyakini dilakukan oleh seorang pelaku bom bunuh diri bernama Heri Kurniawan alias Heri Golun dengan menggunakan van mini jenis Daihatsu berwarna hijau.
Pada 5 November 2004, polisi menangkap empat orang yang dianggap sebagai pelaku lain yang terlibat, yaitu Rois, Ahmad Hasan, Apuy, dan Sogir alias Abdul Fatah di Kampung Kaum, Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Polisi mengaitkan peristiwa bom bunuh diri itu dengan beberapa nama aktor intelektual, yakni Doktor Azahari bin Husin dan Noordin M. Top.