Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dahnil Anzar soal Revisi UU MD3: DPR Ingin Kebal Hukum dan Antikritik
13 Februari 2018 9:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Pengesahan revisi UU MD3 menuai kritik. Hal itu lantaran pasal-pasal yang termuat di dalamnya, membuat anggota DPR memiliki tiga kuasa tambahan, yakni pemanggilan paksa seseorang dalam rapat DPR, hak imunitas, dan bisa mengkriminalisasi pengkritik anggota Dewan.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengatakan, pengesahan revisi UU MD3 telah menyeret Indonesia ke era kegelapan demokrasi.
"Ternyata politisi kita ingin berkuasa tanpa batas. Bahkan mau mempersulit proses hukum dan memperoleh kekebalan hukum, dan antikritik," ucap Dahnil dalam keterangannya, Selasa (13/2).
Menurut dia, saat ini DPR dan partai politik telah kehilangan otoritas moral untuk berbicara soal demokrasi. Padahal, demokrasi dengan susah payah telah dibangun para pendahulu sejak era reformasi.
"Publik tidak boleh berdiam diri. Hak-hak dasar kita akan dengan mudah dirampas mereka yang ingin memiliki kekuasaan tanpa batas, dan ingin memperoleh kekebalan hukum serta mengendalikan hukum tersebut," lanjutnya.
Sebagai sikap penolakan revisi UU MD3, Dahnil juga telah memerintahkan kader-kadernya untuk tak memilih partai politik yang menyetujui revisi UU MD3.
ADVERTISEMENT
"Saya akan memerintahkan seluruh kader Pemuda Muhammadiyah untuk tidak memilih partai politik yang telah menyeret Indonesia ke era kegelapan demokrasi dan hukum tersebut," tutupnya.
Beberapa pasal kontroversial yang tercantum dalam revisi UU MD3 di antaranya pasal 73, pasal 122, dan pasal 245. Pasal 73 i memberikan kewenangan kepada para anggota DPR untuk memeriksa objek yang disasar. Jika dalam pemeriksaan tersebut tidak ditanggapi oleh pihak-pihak atau lembaga yang dituju, maka DPR berhak meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa. Bahkan, kepolisian diberikan kewenangan untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari.
Pasal 245 secara tidak langsung memberikan perlindungan pada para anggota. Sebab, jika ada lembaga yang ingin memeriksa para anggota DPR harus lewat pertimbangan MKD. Setelah itu MKD mengeluarkan pertimbangan tersebut pada presiden untuk ditindaklanjuti. Sedangkan pasal 122, dalam poin k. disebutkan, jika ada pihak atau lembaga yang merendahkan kehormatan anggota DPR bisa ditindak oleh MKD dengan mengambil langkah hukum. Sehingga pihak yang mengkritik anggota DPR bisa diproses secara hukum dengan dilaporkan ke kepolisian.
ADVERTISEMENT