Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tak banyak orang yang memulai hari dengan berdansa. Retno Lestari Priansari Marsudi satu di antara yang tak banyak itu.
ADVERTISEMENT
Pagi-pagi, sebelum seluruh rutinitas pekerjaan dimulai, Retno akan berdansa dengan sang suami, Agus Marsudi. Pasangan perempuan diplomat dan lelaki arsitek itu memang sama-sama hobi dansa.
Buat Retno , dansa lebih dari sekadar menari berpasangan. Ia fondasi utama untuk menjaga mood sehari penuh.
“Sebelum saya ke kantor, pagi-pagi sebelum mandi, malah masih pakai daster, kami dansa dulu. Jadi sudah riang, sudah senang, mandi, ke kantor. Jadi ke kantor bawaannya senang,” kata dia saat berbincang dengan kumparan di kantor Kementerian Luar Negeri , Jakarta Pusat, Rabu (4/4).
Dansa juga salah satu resep Retno untuk menjaga keromantisan dengan Agus. Rutinitas berdansa berdua bersama sang suami telah menjadi tradisi dari tahun ke tahun.
Pagi hari, Retno dan Agus biasanya memilih berdansa cha-cha dengan irama gembira, semacam harapan agar kegembiraan menyertai hari mereka.
ADVERTISEMENT
“Kalau cha-cha itu gembira. Irama-irama yang seperti itu kan riang,” kata Retno, membeberkan alasan kenapa ia suka tarian asal Kuba itu.
Retno sendiri pernah ke Kuba ketika menjabat Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kemlu. Namun saat itu ia belum serius belajar dansa. Ia baru mendalami cha-cha kala ditugaskan di Belanda pada 1997.
Mendengar cerita Retno, tim kumparan jadi penasaran ingin belajar berdansa. “Bu, ajari berdansa dong. Satu, dua, tiga langkah saja.”
Perempuan kelahiran Semarang itu tersenyum. “Saya enggak jago, kalau cha-cha bisalah,” jawab Retno sambil berdiri dan sedikit melakukan gerakan dansa.
Ia lalu memberi arahan. “Saya mundur kanan, (pasangan) laki-laki kiri. Kiri, kanan. Mundur, maju. Itu basic step cha-cha.”
ADVERTISEMENT
Dansa adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Retno. Sejak kecil, ia sudah menari. Retno memulainya dengan tarian Jawa.
Sebagai orang Jawa, belajar menari Jawa juga jadi cara untuk melestarikan budaya. Bahkan dalam keluarga Retno, menari Jawa adalah kewajiban.
“Karena kebetulan orang tua saya Jawa, saya Jawa 100 persen, saya dididik dengan falsafah-falsafah Jawa,” ucap Menteri Luar Negeri perempuan pertama RI itu.
Maka, tak aneh jika ketika remaja, Retno pernah menjadi juara dalam perlombaan tari di kota Semarang, tempat tinggalnya saat itu.
“Waktu itu masih senang ikut lomba,” tutur ibu dua anak ini.
Hingga tumbuh dewasa dan dikepung kesibukan menggunung, Retno bahkan masih menyempatkan diri untuk terus berlatih menari.
ADVERTISEMENT
Saking cintanya dengan tari, Retno sampai mengundang guru khusus dari tanah air untuk merawat kemahirannya menari kala ia ditugasi menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia pada 2005.
Ketika pertama kali ditempatkan di Belanda tahun 1997, Retno menjaga kemampuan menarinya dengan ikut les--dan ujian--dansa. Ia tak belajar dansa sendirian, melainkan bersama sang suami.
“Kami benar-benar belajar (dansa) di Belanda. Baju untuk dansa cha-cha dengan baju untuk dansa jenis lain itu berbeda. Ujian dansa segala, pakai nomor panggung,” kenang Retno.
Retno memang lekat dengan dansa dan diplomasi . Dan keduanya adalah seni yang memerlukan kehangatan sekaligus keteguhan hati.
ADVERTISEMENT
Seperti apa jurus rahasia Retno di panggung diplomasi? Simak kisah berikutnya di In Frame Retno Marsudi: Dansa dan Diplomasi