Di Balik Kegilaan Kim Jong Un

3 Desember 2017 15:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat sekaligus selebtwit, Donald Trump kembali mengolok-olok Kim Jong Un sebagai “manusia roket kecil” di akun Twitter miliknya, pasca Jong Un melakukan uji coba peluncuran hulu ledak nuklir pada hari Rabu (29/11).
ADVERTISEMENT
Hubungan Trump dan Jong Un memang selalu panas di media sosial. Sebelumnya, Trump sempat diejek sebagai “dotard” dan “old lunatic” (tua renta yang pikun”) oleh Jong Un, setelah Trump mengancam akan menghancurkan Korea Utara.
Olokan tersebut membuat Trump dengan emosional membalas, “Mengapa Kim Jong Un mengejekku dengan sebutan ‘tua’, padahal aku TIDAK PERNAH memanggilnya ‘pendek dan gendut?’ Oh, aku sungguh sudah berusaha untuk menjadi kawannya--dan mungkin suatu hari nanti itu akan terwujud!”
Kemungkinan besar, harapan Trump untuk berkawan dengan Jong Un tidak akan pernah terwujud, setidaknya selama ia menjabat sebagai Presiden Amerika. Lagipula, menjadi kawan seorang Kim Jong Un mungkin bukan sebuah ide menarik. Apalagi jika Trump melacak rekam jejak samg diktator.
ADVERTISEMENT
Konsolidasi Kekuasaan
Enam tahun silam, ketika diangkat menjadi pemimpin baru menggantikan ayahnya, Kim Jong Un mewarisi berbagai persoalan yang membuatnya berada dalam posisi lemah. Saat itu, Jong Un masih berusia 27 tahun. Pada usia yang tergolong muda itu, ia mesti memimpin negara dengan kondisi ekonomi buruk, dengan tiga juta rakyat kelaparan, serta isolasi internasional akibat program nuklir yang diwariskan ayahnya.
Menurut dua orang jurnalis Reuters; Hyoon Hee Shin dan James Pearson, Jong Un menggunakan tiga cara untuk memperkuat posisi politiknya, baik untuk kepentingan politik domestik maupun internsional. Ia mengonsolidasikan kekuatan militer dan nuklir, mulai mengembangkan perekonomian pasar secara rahasia, dan membuat dirinya ditakuti dan dikultuskan seperti dewa.
Kim Jong Un saksikan latihan militer Korut (Foto: KCNA via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un saksikan latihan militer Korut (Foto: KCNA via Reuters)
Politik Nuklir
ADVERTISEMENT
Pada 29 November, Korea Utara berhasil melakukan uji coba misil balistik antar-benua Hwasong 15. Menurut media resmi Korea Utara, misil tersebut adalah misil dengan teknologi tercanggih yang dapat menjangkau seluruh daratan Amerika. Pasca-uji coba tersebut, Presiden Trump segera menghubungi Presiden China Xi Jinping, dan menyatakan Amerika akan menambah sanksi untuk Korea Utara.
Ketika ayah Jong Un, Kim Jong Il, masih berkuasa, politik pelucutan senjata nuklir menjadi alat tawar bagi rezim Korea Utara untuk memperoleh bantuan ekonomi internasional. Startegi itu setidaknya masih dipakai ketika Jong Un mulai berkuasa awal tahun 2012. Bahkan, Februari 2012, Jong Un berjanji untuk membekukan program nuklir di negaranya apabila Amerika bersedia mengirim bantuan pangan ke Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Tapi dasar lidah tak bertulang, sepekan kemudian Jong Un tiba-tiba mengubah pandangannya. Ia mengatakan Korea Utara akan terus mengembangkan program rudal balistik jarak jauh. Sejak saat itu, Jong Un meninggalkan kebijakan strategi politik pelucutan senjata nulir ala mendiang ayahnya. Bahkan, setelah sebulan berkuasa, Jong Un mengubah konstitusi negara dengan mendeklarasikan bahwa Korea Utara adalah negara pemilik senjata nuklir.
Deklarasi itu bukanlah pepesan kosong. Sepanjang 2017, Korea Utara tercatat telah melakukan 27 kali uji coba misil balistik. Sementara sejak Jong Un berkuasa, ia telah melakukan uji coba misil balistik lebih banyak dibanding yang pernah dilakukan oleh ayahnya, Jong Il, maupun kakeknya, Kim Il Sung. Selama enam tahun kekuasaannya, Jong Un telah melakukan 95 kali uji coba misil.
ADVERTISEMENT
Perubahan garis kebijakaan itu bukan tanpa alasan. Menurut dua orang jurnalis Reuters yang menggeluti persoalan Korea Utara; Hyonhee Shin dan James Pearson, Kim berpandangan jatuhnya rezim Saddam Hussein di Irak dan Moammar Qaddafi di Libya adalah karena kedua pemimpin tersebut tidak memiliki senjata nuklir. Dalam sebuah tajuk editorial pada Januari 2016, media resmi pemerintah KCNA menuliskan, “Sejarah membuktikan bahwa kekuatan senjata nuklir berfungsi sebagai pedang terkuat yang dapat menangkal agresi pihak luar”.
Kim Jong Un dan senjata nuklir Korea Utara (Foto: North Korea's Korean Central News Agency (KCNA)/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un dan senjata nuklir Korea Utara (Foto: North Korea's Korean Central News Agency (KCNA)/Reuters)
Ekonomi Pasar
Kenji Fujimoto, mantan juru masak Kim Jong Il ingat bahwa suatu hari ketika sedang menemani ayahnya mengunjungi China, Jong Un pernah berkata, “Aku dengar China tampaknya telah begitu sukses dalam berbagai bidang--keahlian teknik, perdagangan, perhotelan, pertanian, segalanya? Dalam banyak hal, bukankah sebaiknya kita perlu meneladani mereka?” ujar Jong Un muda.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, Jong Un memang sempat berusaha meniru reformasi ekonomi ala China. Pada awal kepemimpinannya, Jong Un sempat mengizinkan para petani untuk menyimpan sebagian besar hasil pertanian mereka. Korporasi milik negara pun diberi keleluasaan untuk memperdagangkan barang dengan mengikuti harga pasar, serta mengangkat dan memecat pekerja mereka. Jong Un bahkan mengizinkan pengusaha-pengusaha swasta untuk berinvestasi bersama dengan partai dan militer di proyek-proyek negara.
Orang yang ditugasi oleh Jong Un untuk memimpin reformasi ekonomi ialah pamannya, Jang Song Thaek. Ia ditugaskan mengunjungi China dan mengembangkan kawasan ekonomi khusus di Korea Utara. Namun, Desember 2013, Song Thaek dituduh berkhianat oleh Partai. Ia dihukum mat--ditembak berkali-kali menggunakan senjata antiserangan udara (anti aircraft gun).
ADVERTISEMENT
Setelah eksekusi Song Thaek, kebijakan reformasi ekonomi tidak pernah lagi terdengar. Yang ada malah pemborosan uang negara secara menakjubkan oleh Jong Un. Berdasarkan laporan yang dirilis National Security Strategy, lembaga think tank asal Korea Selatan yang mempekerjakan pengkhianat-pengkhianat kelas kakap Korea Utara, tercatat bahwa selama lima tahun kepemimpin Jong Un, ia setidaknya telah menghabiskan 300 juta dolar AS untuk 29 kali uji coba nuklir dan misil, 180 juta dolar AS untuk membangun 460 patung anggota keluarganya, dan 1 miliar dolar AS untuk menyelenggarakan kongres partai pada 2016, termasuk 26,8 juta dolar AS untuk kembang api .
Melihat bagaimana Jong Un menghambur-hamburkan uang saat jutaan rakyatnya kelaparan, bisa jadi benar apa yang pernah diucapkan oleh Vladimir Putin, bahwa “Kim Jong Un lebih memilih rakyatnya makan rumput dibanding menghentikan program nuklirnya.”
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
Menulis Ulang Sejarah
ADVERTISEMENT
Februari 1948, pemimpin Partai Komunis Cekoslowakia, Klement Gottwald, berpidato di hadapan ratusan ribu rakyatnya. Di samping dia, berdiri Kamerad Vladimir Clementis, seorang anggota senior partai. Mendadak, ketika Gottwald berpidato, salju turun disertai cuaca yang mendingin. Kepala Gottwald basah. Clementis lantas mencopot topi miliknya dan memasangkannya ke kepala Gottwald.
Biro propaganda partai kemudian mencetak foto tersebut, potret Gottwald berdiri di samping Clementis, lalu membagikan foto itu ke ratusan ribu anggota partai.
Tahun 1952, Clementis yang dituduh berkhianat dihukum mati oleh partai. Biro propaganda partai segera menghapus foto Clementis yang berdiri di samping Gottwald. Tapi mereka tidak menghapus foto Gottwald yang mengenakan topi.
Vladimir Clementis dihapus dari sejarah, namun tidak topinya.
ADVERTISEMENT
Sepenggal kisah itu disadur dari cerita pendek Milan Kundera yang berjudul Surat-Surat yang Hilang. Kisah itu secara tersirat ingin mengatakan kalau di bawah kekuasaan rezim otoriter, membunuh orang saja tidak cukup. Mereka juga harus menghapus sejarah dari orang itu.
Kisah yang sama terjadi di Korea Utara. Pada 2013, 35.000 artikel dihapus dari situs resmi pemerintah Korea Utara, KCNA, dan sekitar 20.000 artikel dari situs resmi Partai Buruh Korea Utara, Rodong Sinmun. Media-media itu hanya menyisakan sedikit artikel untuk memberitakan aktivitas pemimpin baru mereka, Kim Jong Un. Seperti dalam kisah Kundera, Korea Utara sedang mengubah sejarah.
Penghapusan arsip-arsip sejarah itu sejalan dengan kebijakan pembersihan yang dilakukan Jong Un. Setidaknya 340 tokoh berpengaruh di Korea Utara telah dibunuh. Di antara orang-orang itu terdapat beberapa nama yang telah menduduki jabatan strategis sejak kepemimpinan Kim Jong Il seperti Jang Song Thaek, paman sekaligus Wakil Pemimpin Komisi Pertahanan Nasional, dan Ri Yoh Ho, pemimpin militer tentara rakyat Korea.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, Jong Un juga memerintahkan buku-buku sekolah direvisi, dengan tujuan untuk menempatkan dirinya sebagai figur yang dikultuskan, disertai gambar-gambar nuklir dan misil. Di bidang kebudayaan, Jong Un memerintahkan kelompok vokal wanita, Moranbong Band, untuk menampilkan pertunjukan musik yang berisi ajakan untuk tetap loyal pada dirinya. Selain itu, kelompok pemuda Korea Utara, Shock Brigade, juga diperintahkan untuk memproduksi 1.200 puisi yang berisi pujian untuk dirinya. Oh, wow.
Seperti yang diungkapkan peneliti National Security Strategy, Lee Su-seok, Kim Jong Un sedang membangun rezim kediktatorannya sendiri dengan cara yang canggih.