Duka Jurnalis Liputan Demo, Dilarang Merekam dan Alami Kekerasan

25 September 2019 19:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gambar penis di di Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) di depan Gedung DPR usai demo mahasiswa. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gambar penis di di Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) di depan Gedung DPR usai demo mahasiswa. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak RKUHP, RUU KPK dan mendukung RUU PKS menyisakan duka bagi para pewarta. Demo yang diwarnai gesekan dengan aparat itu kian menambah catatan bagi kebebasan pers di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, beberapa pewarta dari media lokal dilarang meliput. Mereka juga dilarang merekam sejumlah momen saat kericuhan di depan Gedung DPR, Selasa (24/9), terjadi.
“Wartawan Kompas.com, IDN Times, Katadata, mereka mengalami kekerasan oleh polisi karena merekam kekerasan yang terjadi. Semalam juga mobil Metro TV dirusak oleh massa,” kata Joni Aswira, ketua divisi Advokasi Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), saat konferensi pers di LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat (25/9).
Tak hanya di ibu kota, laporan kekerasan juga dialami pewarta di Makassar. Wartawan Antara, inikata.com, dan Makassar Today mengalami kekerasan saat mengabadikan momen polisi mengamankan mahasiswa.
Kejadian ini sebenarnya bukan sekali terjadi. Pada demo 21-22 Mei lalu, laporan kekerasan dan tindak represif aparat terhadap wartawan saat merekam pemukulan terhadap massa juga terjadi. Sayangnya, Aliasi Jurnalis Indonesia (AJI) mengaku kekurangan barang bukti.
ADVERTISEMENT
“Hari ini juga masih berlangsung aksi, kami juga terus memantau. Kekerasan yang terjadi, sama seperti di kejadian 21-22 mei di mana polisi tidak mau direkam saat melakukan kekerasan,” kata Joni.
Seorang mahasiswa bertahan usai ricuh dengan polisi saat unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Senada, kepala Tim Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, menyebut, tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terkesan tak masuk akal karena tidak sesuai dengan aturan yang ada.
"Apa ukuran dari Polres Jakarta Pusat sebagai komandan kompi dengan mengambil status warna merah sehingga dilakukan penyemprotan water canon hingga penembakan gas air mata," kata Puri.
Aparat sepertinya lupa, profesi wartawan dilindungi oleh UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Sejumlah massa bertahan usai ricuh dengan polisi saat unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pers nasional juga tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran. Dan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.