Filipina Cabut Izin Rappler, Media yang Kerap Mengkritik Duterte

15 Januari 2018 18:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rappler (Foto: AFP/Ted  Aljibe)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rappler (Foto: AFP/Ted Aljibe)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Filipina mencabut izin operasi media Rappler karena dinilai melanggar aturan kepemilikan saham. Rappler adalah salah satu media Filipina yang kerap mengkritik kebijakan Presiden Rodrigo Duterte, terutama soal pembunuhan orang-orang yang diduga bandar narkotika.
ADVERTISEMENT
Komisi Saham dan Sekuritas Filipina (SEC) mencabut sertifikat izin operasi Rappler dan Rappler Holding Corp karena dianggap melanggar konstitusi. Media yang didirikan pada 2011 tersebut dalam surat SEC tertanggal 11 Januari dan dipublikasi Senin (15/1) dianggap mengandung kepemilikan asing.
Berdasarkan peraturan Filipina, pihak asing dilarang memiliki saham di perusahaan media. "Perusahaan ini didirikan tidak lain dengan tujuan menipu dan menelikung konstitusi," ujar pernyataan NEC yang dikutip AFP.
Redaktur pelaksana Rappler Chay Hofilena mengatakan kepada AFP perusahaannya akan mengajukan banding sebelum keputusan itu berlaku 15 hari setelah surat dikeluarkan.
Polisi di Manila, Filipina (Foto: REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Polisi di Manila, Filipina (Foto: REUTERS)
Dalam keterangan di situsnya, Rappler mengatakan keputusan itu adalah satu lagi serangan terhadap mereka dari pemerintah Duterte. "Ini adalah murni pelecehan, dari pembunuhan perlahan hingga serangan keji dan tanpa ampun terhadap kami sejak 2016," kata Rappler.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara Rappler dengan pemerintah Duterte memang tidak harmonis. Media ini kerap memberitakan kritik terhadap upaya pemberantasan narkoba Duterte yang menewaskan sekitar 4.000 orang.
Duterte melayangkan ancaman langsung kepada Rappler dalam pidatonya pada Juli tahun lalu. Saat itu Duterte mengancam akan menyelidiki kepemilikan Rappler yang menurut dia terdapat tangan Amerika di dalamnya.
Pihak Rappler membantah tudingan ini, mengatakan media tersebut 100 persen dimiliki oleh warga Filipina.
Serikat Nasional Jurnalis Filipina mengecam keputusan NEC terhadap Rappler. Menurut mereka, ini ancaman yang diberikan Duterte terhadap semua media yang mengkritik pemerintahannya.
"Kami menyerukan seluruh jurnalis Filipina bersatu dan menentang semua upaya untuk membungkam kita," kata organisasi tersebut.
Sementara itu senator oposisi, Risa Hontiveros, mengatakan ini adalah "penyerangan terhadap kebebasan pers."
Rodrigo Duterte (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Rodrigo Duterte (Foto: Reuters)
Tidak hanya Rappler yang dianggap musuh oleh Duterte. Maret tahun lalu, Duterte menyebut koran Philippine Daily Inquirer dan stasiun televisi ABS-CBN "anak-anak sundal". Duterte mengatakan media-media itu akan menerima karma karena pemberitaan miring soal kebijakannya.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak mengancam, tapi suatu saat karma akan menimpa mereka. Mereka tidak tahu malu, para jurnalis anak-anak sundal itu," kata Duterte ketika itu.
Duterte kemudian mengancam akan menjegal perpanjangan izin ABS-CBN, disetujui oleh Kongres. Sementara Inquirer sudah diincar akan dibeli oleh pengusaha pendukung Duterte.
Juru bicara Duterte, Harry Roque, mengatakan pemerintah menghormati keputusan SEC mencabut izin operasi Rappler. "NEC diberi mandat untuk menentukan legalitas perusahaan," kata Roque.
Dia mempersilakan Rappler melakukan segala cara hukum untuk melawan keputusan itu hingga keputusan final diberlakukan.