Formappi: Kinerja DPR Periode 2014-2019 Terburuk Sejak Reformasi

21 Desember 2018 17:15 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Evaluasi akhir tahun kinerja DPR tahun 2018 oleh Formappi. (Foto: Lutfan Darmawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Evaluasi akhir tahun kinerja DPR tahun 2018 oleh Formappi. (Foto: Lutfan Darmawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis penilaian kinerja DPR RI sepanjang 2018. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, kinerja DPR RI periode 2014-2019 sepanjang tahun ini merupakan kinerja terburuk sejak reformasi.
ADVERTISEMENT
"Catatan kami selama 2018, ada 5 masa sidang yang dilewati DPR tapi nyaris selama masa itu tidak ada DPR bisa menunjukkan tingkat produktivitas," ujar Lucius di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Jumat (21/12).
Menurut Lucius, produktivitas yang buruk ini menunjukan bahwa DPR tidak ada perubahan sejak memulai kinerjanya 3 tahun lalu. Dari hasil legislasi saja, kata Lucius, DPR hanya mampu menyelesaikan 5 undanag-undang dari target 50 rancangan undang-undang prioritas.
"DPR yang malas kerja, yang hasilkan sedikit UU yang mereka berhasil sahkan. Ini berbanding terbalik dengan rencana mereka setiap tahun yang bombastis. Di 2018 ada 50 RUU, hanya ada 5 UU yang disahkan," ungkapnya.
"Saya kira ini semua membenarkan bahwa profil DPR 2014-2019 ini menjadi DPR terburuk semenjak reformasi," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Rapat Paripurna Penutupan masa sidang di DPR RI terlihat sepi. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Paripurna Penutupan masa sidang di DPR RI terlihat sepi. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
Padahal, lanjut Lucius, anggaran pembahasan satu RUU saja mencapai Rp 8 miliar. Namun masih banyak undang-undang yang hanya dibahas dan tidak kunjung disahkan. Sementara dari sisi kehadiran sidang paripurna, absensi DPR periode ini tidak pernah lebih dari 50 persen.
"Kami belum pernah menemukan kehadiran DPR dalam rapat paripurna dalam satu masa sidang itu lebih dari 50 persen. Rata-rata selalu di bawah 50 persen. Saya rasa ini bukan hal baru. Dari 2015 sudah terjadi, tapi tak ada respons untuk berubah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Lucius menilai DPR tidak pernah kritis terhadap usulan anggaran yang diajukan pemerintah. Dalam fungsi pengawasan, DPR juga dinilai tidak mampu dan tidak mau mengkritisi, serta menindaklanjuti temuan kerugian negara yang disampaikan BPK.
ADVERTISEMENT
"Sekali pun DPR pernah menggunakan hak angket, namun kesimpulan dan rekomendasinya ditolak oleh lembaga yang diberi rekomendasi. Fungsi kontrol yang merupkan kunci keberlangsungan mekanisme check and balances antara legislatif dan eksekutif tidak mampu dijalankan oleh DPR secara maksimal," ungkapnya.
Lucius pun mengimbau masyarakat untuk berhati-hati memilih sosok calon wakil rakyat untuk menempati kursi DPR. Sebab, perubahan di DPR bisa terjadi asalkan ada sosok berintegritas yang duduk di kursi DPR.
"Penting untuk ingatkan pemilih untuk pertimbangkan dengan baik ketika memilih nanti kita enggak mau DPR nanti diisi oleh orang-orang yang selama 5 tahun ini menghiasi lembaran kinerja mereka dengan prestasi buruk," pungkasnya.