Garuda Wisnu Kencana: Ambisi Nyoman Nuarta untuk Peradaban

31 Januari 2018 9:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Indonesia segera memiliki patung terbesar dan termegah di dunia. Berdiri setinggi 121 meter di Taman Budaya Desa Ungasan, Kuta Selatan, Bali, patung gagah itu ialah Garuda Wisnu Kencana (GWK).
ADVERTISEMENT
Jika anda sudah sering mendengar nama “GWK” disebutkan, tunggu dulu. Ini bukan patung yang sama. GWK baru ini akan berdiri di timur laut GWK lama. Jika tak ada aral melintang, patung GWK yang akan menjadi landmark baru Indonesia itu ditargetkan rampung Agustus 2018.
Garuda Wisnu Kencana menggambarkan sosok Dewa Wisnu yang sedang mengendarai Garuda. Patung tersebut dibuat dari campuran tembaga dan kuningan seberat 3.000 ton. Emas murni akan melapisi gelungan pada kepala Wisnu yang duduk di pundak Garuda.
Patung GWK bukan hanya menjulang tinggi 121 meter, tapi juga besar. Sayap Garuda pada GWK memiliki lebar 64 meter. Maka, dengan wujud sebesar itu, GWK akan mudah terlihat oleh para wisatawan di Kuta, Sanur, Nusa Dua,Tanah Lot, hingga Bandara Ngurah Rai.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, ketinggian GWK akan mengungguli patung kebanggaan Amerika Serikat, Liberty, yang “hanya” 93 meter.
Nyoman Nuarta di depan model GWK berskala kecil. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
I Nyoman Nuarta adalah sang maestro di balik mahakarya Garuda Wisnu Kencana. Ia memulai proyek raksasa ini sejak 1989 atau 29 tahun lalu. Jalan berliku ia tempuh untuk mewujudkan GWK. Sama sekali tak mulus. GWK sempat belasan tahun mangkrak karena--terutama--ketiadaan dana dan dukungan pemerintah.
“Saya bertepuk sebelah tangan, dicurigai, disangka menjalankan proyek pemerintah diam-diam,” kata Nuarta saat berbincang dengan kumparan di galeri patung miliknya, NuArt Sculpture Park, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/1).
ADVERTISEMENT
Kenapa harus proyek “mercusuar” Garuda Wisnu Kencana?
Nuarta berpendapat, Indonesia harus memiliki satu ikon seni yang membanggakan di mata dunia. Saat GWK digagas tahun 1989, Nuarta meniatkannya sebagai objek wisata yang bisa menjadi magnet kuat bagi turis mancanegara untuk datang ke Indonesia.
Gagasan GWK bermula dari permintaan Dirjen Pariwisata saat itu, Joop Ave, kepada Nuarta untuk membuat patung setinggi lima meter guna ditempatkan di Bandara Ngurah Rai. Namun Nuarta berpendapat, patung lima meter saja amat tanggung.
Menurut Nuarta, Bali mestinya memiliki ikon pariwisata besar, sebab pariwisata adalah penyumbang devisa yang besar bagi negara. Lagi pula, Nuarta merasa miris melihat banyak tempat ibadah (pura) di Bali yang menjadi lokasi wisata. Tak jarang, peribadatan pun menjadi tontotan turis.
ADVERTISEMENT
“Memang tidak apa-apa, tapi mungkin kurang konsentrasi. Akhirnya ada yang memilih sembahyang malam untuk menghindari turis,” ujar Nuarta.
Oleh sebab itu, lanjut Nuarta, Bali seharusnya memiliki destinasi wisata yang lepas sepenuhnya dari soal agama. Ia melihat GWK sebagai jawaban. Patung Garuda Wisnu Kencana jelas bukan tempat ibadah, namun tidak bertentangan dengan budaya setempat.
Untuk mewujudkan rencana itu, Nuarta merogoh kocek hasil penjualan sejumlah karyanya guna membeli lahan tandus bekas lokasi penambangan kapur liar seluas puluhan hektare di Desa Ungasan. Lahan itu berada pada ketinggian 276 meter di atas permukaan laut.
Nuarta sengaja memiliki dataran tandus untuk meminimalkan kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi selama proses pengerjaan proyek GWK.
ADVERTISEMENT
Satu tahun setelah gagasan GWK digulirkan, Nuarta bersama Joop Ave yang saat itu telah menjadi Menteri Pariwisata, Gubernur Bali Ida Bagus Oka, serta Menteri Pertambangan dan Energi Ida Bagus Sudjana, mengembangkan ide pembangunan GWK.
Jalan kian terang. Proyek GWK direstui Presiden Soeharto pada 1993. Ia menjanjikan negara akan ikut membantu pengerjaannya. Empat tahun kemudian, 9 Juni 1997, dilakukanlah peletakan batu pertama, menandai dimulainya proses pembangunan GWK.
Pengerjaan GWK terhenti ketika Indonesia dihantam krisis moneter pada 1998. Bantuan dana untuk proyek GWK pun tak kunjung tiba seiring lengsernya Soeharto.
Pembangunan GWK ditangguhkan saat patung baru selesai tiga potong--tubuh dan kepala Dewa Wisnu, serta kepala Garuda yang terpisah dari tubuh sang Dewa. GWK lalu mangkrak belasan tahun.
Pengerjaan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)
Nuarta tak berpasrah pada keadaan. Tahun 2000, ia memberanikan diri menggelar GWK Expo. Pada pameran tersebut, Nuarta memperlihatkan potongan patung Dewa Wisnu dan kepala Garuda kepada publik. Melalui expo itu, Nuarta sekaligus menegaskan: patung GWK belum rampung dibuat.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu pula, proyek GWK terkatung-katung. Baru sembilan tahun kemudian, 2009, ketika I Made Mangku Pastika menjabat sebagai Gubernur Bali, restu untuk melanjutkan pembangunan GWK kembali turun.
Sang Gubernur bahkan sempat menggelontorkan dana untuk GWK, namun kandas karena ditolak legislatif--yang curiga dengan motivasi Nuarta membangun GWK. Saat itu, kata Nuarta, “Ada yang bilang ini ambisi pribadi, karena yang akan jadi terkenal Nyoman Nuarta.”
Lalu, apakah omongan itu benar?
Nuarta mengatakan, ia sama sekali tak pernah berpikir untuk memiliki patung GWK. Tak pula berniat mengambil keuntungan dari proyek tersebut. Keinginannya adalah memberikan sesuatu yang bermakna besar bagi bangsa Indonesia.
Garuda Wisnu Kencana, ujar Nuarta, “sebenarnya berhubungan dengan kehidupan. Kehidupan modern dengan simbol-simbol masa lalu.”
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara dengan Putu Fajar Arcana yang dimuat di Kompas, 18 Agustus 2013, Nuarta menyatakan tekadnya untuk memberikan warisan peradaban modern melalui GWK.
Nuarta melanjutkan, “Kita kan juga ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. (Kebetulan) saya bisa membuat patung dengan teknologi skala pembesaran, yang mungkin satu-satunya di dunia. Jadi ada keinginan memberi, jangan cuma bisa mengambil.”
Pengerjaan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)
Tersendatnya pengerjaan Garuda Wisnu Kencana membuat Nuarta memutuskan untuk menghibahkan seluruh aset GWK berupa lahan seluas 80 hektare senilai Rp 1,2 triliun kepada negara. Ia menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memproses hibah tersebut.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, menghibahkan aset pun sulit. Prosesnya tak kunjung selesai, tersandung pergantian presiden disertai naik-turun kondisi sosial politik. Pembahasan soal hibah GWK pun mandek--serupa pembangunannya.
“Jadi, memberi pun di negeri ini sulit. Mungkin lebih gampang kalau kita merampok,” kata Nuarta, melemparkan sindiran.
Namun pematung 66 tahun itu tak berhenti berupaya. Pada 2013, Nuarta akhirnya menjual 82 persen saham Garuda Wisnu Kencana Cultural Park yang ia miliki kepada PT Alam Sutera Realty Tbk dengan harga murah.
Jangan salah, bukan berarti dengan menjual GWK Cultural Park, Nuarta melepas mimpinya. Sebab ia justru baru memulainya kembali. Alam Sutera yang memperoleh GWK Cultural Park dengan harga miring, kemudian menggelontorkan dana Rp 450 miliar untuk pengerjaan patung Garuda Wisnu Kencana.
ADVERTISEMENT
Nuarta pun memperoleh suntikan modal yang selama ini ia butuhkan untuk membangun patung GWK seperti cita-citanya sejak 1989.
Alam Sutera menunjuk PT Siluet Nyoman Nuarta milik Nuarta untuk mengomandoi pengerjaan proyek patung GWK. Nuarta tak lagi risau soal anggaran. Semua sudah diatur oleh Alam Sutera.
Perjalanan GWK (Foto: Muhammad Faisal.N/kumparan)
Setelah anggaran terjamin, Nuarta mulai membangun Garuda Wisnu Kencana dari nol. Tubuh dan kepala Dewa Wisnu, serta kepala Garuda yang sudah jadi 15 tahun sebelumnya, ia biarkan di sisi timur GWK Cultural Park. Tak disambung dengan bagian-bagian baru yang dibuat kemudian.
Alih-alih menggunakan tiga potongan patung lawas itu, Nuarta membuat baru lagi--semua dari awal. Alasannya, biarlah potongan-potongan patung yang tak selesai itu menjadi tanda betapa sulit dan lamanya pengerjaan GWK.
ADVERTISEMENT
Patung baru GWK ditempatkan 300 meter di barat daya lokasi potongan patung lama, tentu masih di area GWK Cultural Park.
Meski dibangun di Bali, bagian-bagian patung GWK dibuat di Bandung, di bengkel seni Nuarta. Potongan-potongan patung itu--yang seluruhnya berjumlah 754-- kemudian diangkut ke Bali melalui jalur darat. Untuk mengangkutnya, butuh 500 lebih truk tronton.
Saat ini, ratusan potongan tubuh patung tersebut telah berada di Bali, dan akan disatukan bertahap--ditempatkan sesuai segmennya masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Yang sulit itu (memasang) kepala Garuda, karena dia harus miring sekian derajat. Mengesetnya sulit sekali,” kata Nuarta.
Penerima penghargaan Padma Shri dari pemerintah India itu memang tak main-main dalam membangun Garuda Wisnu Kencana. Ia menguji kekuatan material patung ke Toronto Kanada dan Melbourne Australia.
Dari hasil pengujian itu, menurut Nuarta, GWK diperkirakan mampu bertahan hingga 100 tahun. Namun, bukan berarti setelah seabad GWK akan runtuh. Sebab--seperti pada karya seni lain--selama rentang waktu itu, renovasi berkala akan dilakukan untuk menjaga kualitas dan kekuatan patung.
“Saya enggak berani (macam-macam), karena patung itu akan menjadi tempat kumpul ribuan orang (wisatawan). Kalau ada apa-apa (roboh), saya yang kena,” ujar Nuarta.
ADVERTISEMENT
Fakta-fakta Garuda Wisnu Kencana (GWK). (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Kenapa Garuda Wisnu Kencana?
Wisnu, dalam kepercayaan Hindu, merupakan satu dari tiga dewa tertinggi (Trimurti). Ia dewa pemelihara dan pelindung.
Manusia hidup, sambungnya, telah memiliki banyak hadiah dari Tuhan, termasuk alam semesta. Oleh sebab itu, alam harus dijaga baik-baik.
Sementara tentang kepala Garuda pada GWK yang menghadap ke kiri, bukan ke kanan atau ke depan, Nuarta mengatakan kehidupan tak melulu melihat hal yang baik-baik.
“Ke kanan itu baik, ke depan juga baik. Kalau ke kiri, di kita kan umumnya (memandang) jelek. Garuda juga harus memperhatikan ke kiri. Semua harus dipantau,” kata dia.
Kepala Garuda karya Nyoman Nuarta. (Foto: Wikimedia)
Garuda, dalam agama Hindu, merupakan wahana atau kendaraan Dewa Wisnu. Ia memiliki paruh dan sayap serupa elang, namun dengan tubuh seperti manusia.
ADVERTISEMENT
Kitab Mahabharata mengisahkan tentang kegigihan Garuda berjuang menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Ia rela menempuh perjalanan panjang mencari tirta suci amertha sari (air minum keabadian). Air itu hendak ia serahkan kepada para naga untuk menebus ibunya.
Air itu rupanya dimiliki oleh Dewa Wisnu. Sang Dewa bersedia memberikan air keabadian kepada Garuda dengan syarat: Garuda harus menjadi tunggangannya. Garuda menyanggupi. Ia pun memikul kehidupan bersama Dewa Wisnu.
Maka, bagi seorang Nyoman Nuarta, Garuda Wisnu Kencana yang megah itu tak lain dari cerminan kehidupan--masa lalu yang terhubung dengan masa kini, dan dengan demikian mewariskan zaman kepada generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Deretan Patung Tertinggi di Dunia. (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)