Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Geger 5.000 Senjata, Angkatan Kelima, dan Miskomunikasi Gawat
26 September 2017 10:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dari ucapan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo semua bermula. Kalimat-kalimat itu terlontar dalam silaturahmi keluarga besar TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat 22 September 2017--dan sejak itu bergulir liar bagai bola salju, menggemparkan seantero negeri.
Soal pembelian 5.000 pucuk senjata, yang dikemukakan di bulan September membara yang penuh pro-kontra soal “kebangkitan komunis” sudah barang tentu bak menyiram bensin ke api, dan disambar dengan antusias oleh warga jagat maya Indonesia yang amat aktif (dan reaktif).
Bagaimana tidak, di tengah keributan soal komunis dan PKI--yang seperti masih hidup meski sudah mati lewat Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966, soal ribuan senjata itu melemparkan memori kolektif masyarakat kepada Angkatan Kelima.
ADVERTISEMENT
Bicara soal Angkatan Kelima akan panjang ceritanya dan menghabiskan satu bab sendiri. Singkatnya, ini ide Partai Komunis Indonesia pimpinan Dipa Nusantara Aidit di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno untuk mempersenjatai massa buruh dan tani menjadi Angkatan Kelima, setelah empat angkatan yang sudah ada, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.
Apa perlunya Angkatan Kelima--paramiliter buruh dan tani itu--dibentuk? Aidit, seperti termuat dalam buku Julius Pour, G30S: Fakta atau Rekayasa, menjawab, “Agar mereka bisa membantu ABRI menghadapi ancaman Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.”
Masa itu, 1965, memang berbarengan dengan kemelut “Ganyang Malaysia” yang juga dikenal dengan Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1962-1966). Saat itu, Presiden Sukarno menganggap Federasi Malaysia boneka Inggris dan karenanya menganggapnya sebagai kolonialisme dan imperialisme bentuk baru yang mengancam keamanan dalam negeri Indonesia yang berbatasan dengannya.
Kembali ke usul Angkatan Kelima yang dilontarkan Aidit pada pidatonya awal 1965, bahwa sekitar 15 juta massa buruh dan petani di seluruh Indonesia siap melaksanakan komando Sukarno mengganyang Malaysia jika dipersenjatai, hal tersebut jelas ditentang ABRI. Karena itu artinya pula, PKI akan memiliki kekuatan bersenjata sendiri. Angkatan Darat terutama cemas PKI akan merebut kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Konflik antara Angkatan Darat dan PKI sama sekali bukan rahasia, dan bukan soal politik semata. Agraria misal, jadi bara lain yang membuat keduanya berhadapan. Banyaknya perwira militer yang memimpin dan mengontrol perusahaan dan tanah negara amat tak disukai PKI yang pendukung utama reforma agraria.
Itu memang periode penuh gejolak. Aidit menyerukan perang terhadap tuan tanah, lintah darat, pengijon, tengkulak, bandit, pejabat korup, dan kapitalis birokrat. PKI dan Barisan Tani Indonesia bertempur dengan tuan tanah, yang di dalamnya termasuk pemimpin agama.
Tak pelak, masalah agraria merembet ke konflik bernuansa agama, terutama di Jawa Timur--wilayah di mana kaum ulama memiliki tanah luas.
Dan pada titik inilah narasi dikuatkan Orde Baru, bahwa PKI yang komunis merupakan musuh kalangan agamawan religius. Peristiwa sejarah sebelumnya, Pemberontakan PKI Madiun 1948, makin menambah ketidakuntungan bagi partai yang kini mati itu.
Maka, ketika soal “5.000 pucuk senjata” terlontar dari mulut Panglima TNI--yang berasal dari Angkatan Darat, ketakutan bisa jadi menyebar cepat ke sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ucapan Jenderal Gatot sesungguhnya tidak untuk konsumsi publik. Apapun, tuturan yang disampaikan pada acara silaturahmi yang dihadiri deretan pensiunan ABRI--Try Sutrisno, Wakil Presiden RI era Soeharto dan mantan Panglima ABRI; Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga mantan Komandan Jenderal Kopassus; mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang juga mantan Kepala BIN dan mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus; dan lain-lain--kadung beredar luas sebelum Sang Panglima melaporkannya kepada Presiden.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, yang juga hadir di Mabes TNI saat itu, melaporkan informasi itu kepada Presiden. Dan selang dua hari kemudian, Minggu 24 September 2017, ia menggelar konferensi pers untuk menjernihkan masalah.
ADVERTISEMENT
Wiranto sadar betul gaduh terlanjur menjalar. “Informasi dari Panglima TNI tentang adanya institusi di luar TNI-Polri yang akan membeli 5.000 pucuk senjata sekarang bergulir di masyarakat dan menimbulkan spekulasi: apakah ini karena keadaan Indonesia genting, ada kekuatan yang seperti tahun dulu ingin melakukan aksi mengganggu keamanan?”
Tidak demikian, ujar Wiranto tersirat. Ia mengatakan, geger soal senjata ini karena masalah miskomunikasi, dan untuk menyelesaikannya, ia telah memanggil Panglima TNI Jenderal Gatot, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan.
“Setelah saya cek, ini berhubungan dengan pembelian 500 pucuk senjata laras pendek buatan Pindad yang diperuntukkan sekolah intelijen BIN,” kata Wiranto.
Pembelian senjata yang bukan standar TNI, menurutnya, tidak perlu izin Mabes TNI dan Presiden, cukup dari Mabes Polri.
ADVERTISEMENT
“Setiap tahun ada kebutuhan, kami beli dari Pindad, diproduksi Pindad, enggak ada masalah. Sejak saya Panglima bahkan sebelumnya, tidak pernah beli senjata dipolemikkan seperti sekarang ini. Kecuali senjata selundupan dari luar masuk ke Indonesia, itu barangkali perlu kita waspadai. Tapi ini pengadaan senjata lewat APBN nonstandar TNI untuk kepentingan yang jelas,” ujar Wiranto lagi.
Hari berikutnya, Senin (25/9), giliran Mabes Polri memberi penjelasan. Pembelian tepatnya 517 pucuk senjata, kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto, sudah mengantongi izin institusinya.
“Aturannya adalah BIN mengajukan dan minta rekomendasi dulu kepada Polri, lalu Polri memproses, memberikan rekomendasi ke Pindad bahwa BIN boleh membeli senjata jenisnya ini. Kemudian dibeli oleh BIN dari Pindad. Begitu dapat senjatanya, nanti diserahkan ke Polri dulu untuk diidentifikasi,” ujar Setyo.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, rekomendasi atau izin pembelian senjata tak hanya diberikan Polri kepada BIN, tapi juga Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Ditjen Imigrasi, Ditjen Perhubungan Laut, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Senjata yang dibeli BIN dari Pindad selaku produsen peralatan pertahanan dan keamanan yang berbasis di Bandung, ialah nonmilitary laras pendek kaliber 9 milimeter. “Bukan senjata otomatis. Kalau otomatis itu pasti militer.”
Apakah artinya tidak ada instansi yang memesan 5.000 senjata? Tidak juga, namun itu, sejauh yang terungkap sampai saat ini, tidak di luar TNI dan Polri seperti diucapkan Gatot.
Pemesan ribuan senjata itu, menurut Pindad, tak lain adalah Polri, dan hal itu diamini Polri.
Setyo mengatakan, institusinya memesan 15.000 senjata untuk petugas polisi di lapangan. “Namun Pindad hanya sanggup memproduksi 5.000 pucuk.”
ADVERTISEMENT
Sisa 10.000 senjata yang tak mampu dipenuhi Pindad, lanjut Setyo, akan didatangkan dari luar negeri, dan kini masih dalam proses mencari.
Geger soal senjata ini setidaknya membenarkan satu hal yang diucapkan Wiranto: komunikasi yang tak berjalan baik antara para petinggi institusi keamanan--Polri, TNI, dan BIN.
Dalam jangka panjang, miskomunikasi macam ini sudah pasti merugikan. Kabar keruh tersiar membuat waswas masyarakat yang kian terbelah dan curiga satu sama lain sepanjang September.
September 1965 seakan menghentikan waktu di negeri ini. Kita tak pernah jauh beranjak darinya, entah hingga berapa tahun ke depan.
Dan kelindan 1965 dengan 1948 bak lingkaran setan, seolah semua orang yang mati dibantai pada periode 1965-1966 menjadi sah karenanya.
ADVERTISEMENT