Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Mei 1998, menjadi sejarah Indonesia. Pergerakan masif mahasiswa menyuarakan demokrasi menggema, tak terkecuali Yogyakarta. Jalan Gejayan sekarang Jalan Affandi di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta jadi saksi.
ADVERTISEMENT
Tak salah memang jalan tersebut jadi pusat pergerakan. Di situ bercokol kampus-kampus dengan basis mahasiswa yang banyak, seperti Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Gadjah Mada (UGM), hingga Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Gejayan yang lokasinya strategis jadi tempat mahasiswa pada tahun 1998 menyampaikan aspirasinya. Demo menuntut Presiden Soeharto turun meletus pada 8 Mei 1998. Bisa dibilang, Gejayan membidani reformasi dari Yogyakarta.
Dalam peristiwa itu, ada hal yang pahit. Bentrokan pecah dan satu orang mahasiswa MIPA USD yang bernama Moses Gatutkaca tewas. Kelak nama Moses menjadi nama jalan tak jauh dari Jalan Gejayan.
Waktu terus berjalan, reformasi di negeri ini kemudian tercederai. Mahasiswa bukannya diam, lebih jauh civitas kampus seperti dosen hingga dekan pun bergerak menyampaikan aspirasi soal Revisi UU KPK dan terkini RKUHP.
ADVERTISEMENT
Tugu Pal Putih Yogyakarta, Titik Nol KM, hingga DPRD Provinsi jadi tempat mahasiswa dan akademisi menyampaikan aspirasi.
Skala demonstrasi yang tidak terlampau masif itu tampaknya tak sampai di telinga pemerintah dan legislatif. Hingga akhirnya, tagar Gejayan Memanggil menggema di jagat media sosial. Respons publik begitu luar biasa meski muncul dugaan aksi itu ditunggangi kepentingan politik--belakangan terbantahkan saat deklarasi sikap bahwa gerakan ini bebas kepentingan politik.
Belum habis isu ditunggangi kepentingan politik, sejumlah kampus di Yogyakarta mengeluarkan surat edaran yang isinya rata-rata tidak terlibat dan tidak merekomendasikan mahasiswanya untuk menyampaikan aspirasi di Jalan Gejayan.
“Itu bukan persoalan, kami tidak membawa nama kampus, kami membawa nama mahasiswa sebagai individu, mahasiswa sebagai warga negara, mahasiswa sebagai masyarakat,” kata Obed Kresna, mantan Ketua BEM UGM.
ADVERTISEMENT
Pukul 13.00 WIB, Senin (23/9) segala halangan itu tak menyurutkan niat mahasiswa. Mahasiswa ini membawa isu yang jauh lebih besar, tak hanya soal RKUHP dan Revisi UU KPK, mereka membawa sikap soal RUU Ketenagakerjaan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kriminalisasi aktivis Papua, hingga karhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Mereka datang dari dua penjuru, tadinya tiga penjuru dengan titik tengah di USD. Dari barat, mahasiswa berkumpul di UGM dan dari timur mahasiswa berkumpul di UIN Sunan Kalijaga. Jumlah mereka diperkirakan belasan ribu bahkan puluhan ribu, demo kali ini bisa dibilang demo terbesar usai 1998.
Kordinator umum Aliansi Rakyat Bergerak, Rico Tude mengatakan nilai historis Gejayan mampu membangkitkan kembali semangat mahasiswa, tidak hanya Yogyakarta, mahasiswa dari Magelang Jawa Tengah pun turut datang.
“Tentunya kami semacam flashback ke belakang, bahwa ini tempat bersejarah dan bisa menggerakkan semua elemen masyarakat dan buktinya ini sekitar 20 ribu orang. Dari semua kampus di Yogya, bahkan ada dari Magelang,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Nilai historis sebagai faktor berkumpulnya teman-teman. Dari semua jalur utara, timur, selatan bisa tersentral di sini,” katanya.
Rico menilai, Gejayan dipilih lantaran kondisi saat ini dianggap mirip dengan tahun 1998. Dia menyebut, banyak tindakan 1998 yang muncul akhir-akhir ini, seperti represifnya pemerintah.
“Kondisi objektifnya kurang lebih sama, semakin represif dan itu tempat ini sebagai sejarah yang mungkin bisa membangkitkan kita,” katanya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Tommy Apriando menjelaskan institusinya turut bergabung dengan Aliansi Rakyat Bergerak. Dia mengatakan ada 10 pasal dari RKUHP yang mengancam kebebasan pers.
Dia menyebut demokrasi telah dikangkangi pemerintahan yang mirip Orde Baru. “Sejauh ini kalau melihat semangat dulu (Gejayan 1998) memang tentu teman-teman mahasiswa dahulu yang merasakan dan waktu itu kekerasan, menjadi pilihan. Dan hari-hari ini mahasiswa ingin mengingatkan kembali bahwa peristiwa Gejayan berkontribusi menumbangkan rezim Orde Baru. Saya rasa ini semangat mahasiswa untuk menolak Orde Baru kembali,” tegasnya.
Tommy menjelaskan aksi Gejayan Memanggil ini turun dan lahir dari kegelisahan bersama. Mahasiswa dan masyarakat berkumpul sepakat dalam satu kata menolak Orde Baru kembali lahir.
ADVERTISEMENT
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zul Fadhli berujar reformasi hari ini sedang dibajak dan dikorupsi oleh sekelompok elite politik yang mementingkan kepentingan sendiri dan abai pada kepentingan masyarakat secara luas. Ini sinyal bahaya, namun dia optimistis suara di Gejayan akan didengar penguasa.
“Kita seolah sedang kembali ke rezim Orde Baru yang penuh pelanggaran HAM. Saya kira ini (Gejayan Memanggil) ikhtiar untuk mengingatkan negara bahwa masih banyak suara-suara kantong perjuangan rakyat untuk kebaikan di level negara,” katanya.
Lantas, jika Gejayan turut membidani reformasi, akankah Gejayan juga akan menyelamatkan reformasi? “Kita akan bergerak terus sampai menang. Ini bukan yang terakhir. Ini keresahan yang sudah membludak dari lapisan masyarakat,” kata Rico.
ADVERTISEMENT